09 Januari 2011

Mendorong Mitigasi Berbasis Resiko

Kebanyakan dari kita mungkin menganggap penanganan bencana yang ditayangkan di televisi ketika Gunung Merapi meletus dan Kepulauan Mentawai diterjang tsunami adalah manajemen bencana. Padahal, penanggulangan bencana bukan hanya berbentuk respons tanggap darurat, tetapi juga dilakukan pra dan pascabencana.

Ketua Pusat Studi Bencana Alam Universitas Gadjah Mada Junun Sartohadi mengatakan, meskipun ada perbaikan dalam penanganan bencana, belum ada perubahan besar terkait manajemen bencana. "Pengelolaan bencana masih berbasis tanggap darurat, bukan mitigasi," ujarnya.

Basis tanggap darurat itu pula yang menyebabkan penanganan bencana masih compang-camping karena unsur perencanaan menjadi urutan kesekian.

Manajemen bencana dimulai dari perencanaan pembangunan yang bersandar pada analisis penanganan risiko. Absennya analisis penanganan risiko tecermin pada penanganan bencana Merapi.

Tidak ada perencanaan jelas bentuk aktivitas ekonomi seperti apa yang menjadi tumpuan hidup masyarakat, apakah peternakan, pertanian, atau pertambangan. "Karena tidak ada perencanaan, setelah bencana, kita bingung bagaimana membangun kembali," ujar Junun.

Padahal, pola aktivitas Merapi sudah bisa dibaca dan diprediksi akan masuk ke fase erupsi besar setiap 4-9 tahun sehingga dipilih aktivitas perekonomian warga yang dari sisi bisnis sudah menguntungkan sebelum siklus berakhir.

Bentuk perencanaan berbasis mitigasi lainnya juga perlu diterapkan pada penataan permukiman. Menurut Junun, sepanjang daerah aliran sungai yang berhulu di Merapi seharusnya tidak lagi dihuni.

Mitigasi juga terkait dengan pendidikan bencana. Junun mengatakan, selama ini pendidikan bencana lebih banyak dilakukan masyarakat yang sering kali tidak menggunakan basis keilmuan dan teknologi. Menurut Junun, pemerintah bisa membuat perencanaan dengan kombinasi arahan dari atas maupun menggali partisipasi masyarakat.

"Ini diperlukan agar ikatan-ikatan emosional di masyarakat bisa didekati, masyarakat juga bisa mengerti pendekatan birokrasi yang dilakukan pemerintah. Apabila hal ini dilakukan, kita tidak akan dengar pernyataan saling menyalahkan seperti ketika masyarakat Merapi menolak mengungsi," papar Junun.

Berbasis Risiko

Perencanaan yang komprehensif terdiri dari perencanaan bersifat regional dan detail. Perencanaan regional mencakup pemetaan potensi bencana di wilayah masing-masing. Pemahaman atas potensi ancaman menjadi strategi mitigasi. Dalam perencanaan strategi mitigasi ini, pendekatan ilmiah bisa bertemu dengan usulan dari masyarakat.

Perencanaan regional dirinci lagi dalam perencanaan detail. Sebagai contoh, mitigasi daerah rawan gempa membutuhkan perencanaan detail terkait standar desain bangunan. Mengingat luasnya wilayah Indonesia dan bervariasinya potensi rawan bencana masing-masing, penanganan bencana tidak bisa bergantung pada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

Direktur Kesiapsiagaan Bencana BNPB Wisnu Wijaya sepakat bahwa penanggulangan bencana harus berbasis pada risiko. Untuk daerah yang potensi rawan bencananya tinggi, penjabaran mitigasi risiko ke dalam bentuk perencanaan bahkan harus sangat detail. Jika perlu, sampai ke skenario terburuk yang bisa terjadi. Dari skenario itu bisa dikembangkan identifikasi sumber daya yang tersedia. Sumber daya menyangkut orang, biaya, dan peralatan. "Dari pemetaan bisa terlihat kekurangan atau kelemahan yang perlu ditutup, diambil dari mana," ujar Wisnu.

Perencanaan regional dan detail itu kemudian diintegrasikan ke rencana pembangunan jangka menengah maupun rencana jangka panjang. "Perencanaan regional penting dimasukkan ke dalam rencana pembangunan supaya ada anggarannya. Kalau tidak diintegrasikan, akan percuma, hanya di awang-awang dan tidak jadi prioritas pembangunan nasional," kata Wisnu.

Soal pendanaan pun menjadi kendala. BNPB memperkirakan, dibutuhkan anggaran Rp 64,475 triliun untuk program penanggulangan bencana nasional selama lima tahun. Anggaran itu dibutuhkan untuk penguatan peraturan dan perundangan dan kapasitas kelembagaan, tanggap darurat, hingga rehabilitasi dan rekonstruksi. Apabila melihat besaran anggaran indikatif dalam rencana nasional, porsi terbesar ada pada penguatan kapasitas kelembagaan, mitigasi, dan kesiapsiagaan.

Mengatasi Kelemahan

Menurut Wisnu, secara sporadis, sejumlah undang-undang sudah saling mendukung diterapkannya pembangunan yang berbasis mitigasi risiko. Sebagai contoh, Undang-Undang Tata Ruang yang mengharuskan ada peta rawan bencana untuk analisis risiko. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana sudah mengharuskan semua daerah membentuk Badan Penanganan Bencana Daerah (BPBD).
Ia mengeluhkan, sering kali BPBD kurang berdaya karena lemah dari sisi jumlah personel maupun kualitas sumber daya manusia. "Pemerintah daerah sering kali hanya asal menempatkan orang, padahal seharusnya yang ahli dan profesional," kata Wisnu. BPBD perlu berkoordinasi dengan lembaga-lembaga terkait mitigasi bencana. Peningkatan kapasitas yang sifatnya formal maupun nonformal perlu dilakukan.

"Bahkan perlu sampai ke table top exercise, semua pelaku di satu ruangan, diberi kasus, lalu dilihat bagaimana responsnya, dinilai berdasarkan protap, benar atau tidak, siapa yang bikin posko, siapa memimpin," kata Wisnu.

Ia yakin, jika regulasi dan fungsi lembaga dijalankan, mitigasi akan lebih baik. Soal mendorong pemerintah daerah lebih responsif terhadap perencanaan mitigasi bencana, diakui Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi. Ia mencontohkan, pihaknya selalu aktif mengirimkan informasi iklim dan cuaca kepada semua pemerintah daerah.

"Saya bikin surat kepada gubernur, bupati, dan wali kota. Saya sudah perintahkan untuk segera bentuk BPBD, minta mereka bikin anggaran yang memadai. Tetapi, apakah itu dijalankan di daerah, ini kan era otonomi," ujarnya. (Kompas, 20 Desember 2010)