09 Januari 2011

Bersahabat Dengan Bencana

Tak hanya terhadap angin, hawa dingin yang mengalir dari tanah basah, dan serpihan air hujan, warga Desa Bosua, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, pun harus bertarung terhadap rasa lapar dan ancaman penyakit di dalam tenda-tenda pengungsian di zona hijau.

Beberapa korban juga harus bertahan dengan luka yang mulai terinfeksi. Kondisi tim penolong dari Kepolisian Resor Kabupaten Kepulauan Mentawai pun tak jauh berbeda. Mereka bahkan harus bertahan dengan minum air dan makan daging kelapa.

Laut dengan gelombang setinggi 3-4 meter menjadi kendala. Kapal dan perahu dari kayu pengangkut bantuan dari pos penanggulangan bencana di Tua Pejat, ibu kota kabupaten, terpaksa mengurungkan rencana pelayaran mereka.

Di Sikakap, proses pengiriman bantuan dan relawan relatif lebih baik. TNI Angkatan Laut mengirimkan sebuah kapal perang untuk mengangkut bantuan dan relawan dari Padang. TNI Angkatan Udara dan TNI Angkatan Darat mengirimkan armada helikopter untuk memasok bantuan ke beberapa desa yang hancur.

Seandainya Indonesia negara maju, persoalan itu tentu dapat dieliminasi. Sebagai contoh, ketika tsunami menghajar Aceh pada pengujung 2004, beberapa negara yang terlibat dalam misi penanggulangan bencana, seperti Amerika Serikat, Australia, dan Singapura, menunjukkan pentingnya investasi peralatan penanggulangan bencana yang terintegrasi dalam misi-misi lain, seperti pertahanan dan keamanan.

Amerika tidak hanya menyiagakan kapal perang, tetapi juga kapal amfibi yang mampu mendarat di pesisir barat Aceh untuk mengirim kendaraan berat dan pasukan penolong. Australia mengirimkan armada helikopter untuk mengirim bantuan dan mengevakuasi korban dari pedalaman Aceh dan Nias. Bahkan, dalam operasi itu, sebuah heli Sea King milik Angkatan Bersenjata Australia jatuh dan menewaskan 11 tentara mereka.

Dalam hal teknologi, Indonesia sendiri bukannya tidak memiliki kemampuan itu. PT PAL dan PT Dirgantara Indonesia (DI) memiliki kapasitas membangun peralatan tempur yang dapat difungsikan untuk berbagai kebutuhan. Pesawat CN-235, ikon PT DI, tidak hanya memiliki kemampuan sebagai pesawat angkut sedang dan pengintai amfibi, tetapi juga dapat difungsikan sebagai ambulans terbang.

PT PAL telah menguasai teknologi pembuatan kapal jenis landing platform dock yang mampu mengangkut tiga helikopter sekelas NBO-105 dan Nbell-412 yang teknologinya juga dikuasai teknisi dalam negeri. Kapasitas dan kapabilitas alat utama sistem persenjataan milik TNI itu dapat difungsikan sebagai rumah sakit terapung ketika bencana mengempas wilayah Indonesia.

Dengan tingkat kesiapan personel yang tinggi dan dapat segera digerakkan dalam segala kondisi ke berbagai wilayah, kemampuan teknologi tersebut tentu makin optimal. Ketika kekuatan itu dipadukan dengan sistem peringatan dini Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, dapat dibayangkan betapa hebat, tentunya, kemampuan Indonesia dalam tanggap darurat, lebih-lebih jika dukungan berupa ketentuan dan perundang-undangan juga memadai.

Dalam operasi penanggulangan bencana di Mentawai lalu, Direktur Pengurangan Risiko Bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, BNPB mendapat dukungan dua C-130 Hercules, satu kapal perang, dan beberapa helikopter TNI AD. Berdasarkan catatan Kompas, dalam proses penanggulangan bencana di beberapa wilayah, seperti gempa bumi di Nabire, Papua, tahun 2004, hingga letusan Merapi di Yogyakarta, peran serta berbagai kesatuan dalam tubuh TNI mengambil peran penting. PMI juga mengirimkan kapal pengangkut bantuan.

Di Nabire, TNI mendirikan dua rumah sakit lapangan lengkap dengan ruang operasi dan di Yogyakarta mereka mengoperasikan Hagglunds, kendaraan ringan multiguna, sumbangan PMI yang mampu menjejaki berbagai medan untuk mengevakuasi korban.

Peluang

Hanya saja, untuk meningkatkan kapabilitas tanggap darurat itu, perlu dana luar biasa besar. Sebagai negara berkembang, ada prioritas lain yang lebih membutuhkan dukungan dana. Sutopo mengatakan, BNPB memiliki dukungan dana untuk mengoperasikan perangkat keras milik TNI, tetapi lembaga tersebut tidak memiliki dana untuk pengadaan alat seperti itu. Menurut dia, pengadaan alat berat ada pada instansi masing-masing dan pemerintah setempat, yang sewaktu-waktu dapat dioperasikan untuk penanggulangan bencana.

Kepala Pusat Instrumentasi, Rekayasa, dan Kalibrasi BMKG Masturyono menjelaskan, peran teknologi dalam proses tanggap darurat di Indonesia sifatnya membantu. Ia menuturkan, meski BMKG memiliki kemampuan dalam sistem peringatan dini yang memadai, yaitu kemampuan menginformasikan adanya bencana dan potensi ancamannya dalam hitungan bahkan dua menit, dalam beberapa kasus, seperti tsunami di Mentawai, kemampuan teknologi tidak dapat meminimalkan dampak bencana.

Jarak waktu antara gempa dan empasan tsunami yang menerjang pesisir barat Mentawai hanya lima menit karena titik gempa berada dekat kawasan berpenghuni. Sama sekali tak ada waktu bagi masyarakat untuk mengungsi, apalagi jaringan komunikasi di wilayah tersebut sama sekali tidak memadai.

Satu-satunya pilihan investasi yang menurut Masturyono dan Sutopo harus dikembangkan ke depan adalah penguatan kultur setempat, terutama di daerah rawan bencana, untuk meminimalkan dampak bencana.

Penguatan masyarakat oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat di Mentawai sangat membantu. Meski separuh Desa Bosua hancur oleh tsunami, tidak seorang pun dari desa itu menjadi korban. "Kami segera melarikan diri ke bukit begitu gempa berhenti meski awalnya kami ragu-ragu karena gempanya terasa pelan," kata Kepala Desa Bosua Maralus Sagari.

Dengan posisi geologis yang berada pada pertemuan tiga lempeng aktif, yaitu lempeng Indo-Australia di bagian selatan, lempeng Euro-Asia di bagian utara, dan lempeng Pasifik di bagian timur, potensi bencana di Indonesia besar sekali. Bersahabat dengan bencana, mengenali tanda-tandanya, adalah peluang terbaik untuk menghindari dampaknya. (Kompas, 20 Desember 2010)