02 Juni 2009

Refleksi, Mengapa Menjadi Relawan ?

Stefanus, menceritakan saat akhir tahun2007, gunung Kelud akan meletus, ia terkena dampak susah air. Maka ia ikut terlibat, iklas dan tulus. Walau akhirnya tidak meletus. Lalu mendapat kabar dari Bojonegoro yang banjir, relawan Kelud dipindah ke Bojonegoro. Sebulan merasakan penderitaan korban, berbaur dengan mereka. Ada rasa capek, jenuh dan merasa enjoy. Lalu ditawari ada pelatihan relawan di Madiun bergabung. Di atas semuanya pertama-tama niat dan ketulusan untuk menolong. Sekarang jelas pergerakannya dan ada koordinasi sehingga bisa membantu.

Ia menjadi relawan Karina pertama-tama karena sebagai tempat orang melapor dan memohon bantuan atas bencana yang terjadi. Lucu, kalau hanya sebatas menyuruh orang membantu tetapi tidak ikut serta membantu. Keterlibatannya pertama kali ke Ponorogo sehari setelah kabar banjir saya terima dari Ponorogo, dengan bantuan hanya satu pick up Panther tidak banyak, mobil yang tua dan tidak nyaman, berangkat malam hari jam 11 dan sampai di Ponorogo jam 4 dinihari. Di antara harus menjadi pionir, tapi perlu hadir berbela rasa, sehingga kalau menyuruh orang lain, paling tidak sudah melakukan. Yang penting menjadi pionir memberi kesaksian kondisi sebenarnya. Sangat aneh, jika tidak melakukan apa-apa. Keterlibatan kedua, di Bojonegoro bersama di Posko paroki setempat, melakukan distribusi makanan dan evakuasi warga ke tempat aman. Keterlibatannya tidak pernah full time, tapi berusaha merata, hadir bersama dan melakukan koordinasi-koordinasi seperlunya, sehingga sebanyak mungkin wilayah tersapa.

Sari, mengaku semua karena seorang Romo. Sejak awal kondisi lingkungan keluarga mempengaruhi keaktifannya menggereja. Jika nganggur malah ia nggak nyaman dan nggak jelas. Apalagi dalam pelayanan sosial Gereja. Keaktifan itu makin berkembang saat kuliah. Menurutnya keterlibatan itu yang penting melakukan sekecil apapun, meskipun bukan harta benda. Apalagi untuk karya belarasa kemanusiaan. Ia selalu open bekerja bersama, berproses bersama, tidak ada pengelompokan. Yang terpenting bagaimana semua berbaur menjadi satu, merasa in dan enjoy, ada solidaritas yang kuat dan tidak merasa ada yang di-plekotho.

Budi, awalnya prihatin dengan banyak bencana, maka ia tergugah memberi bantuan bergabung bersama teman lain. Tak berlebihan, maksudnya meringankan beban korban, dengan tenaga, pemikiran dan menambah persaudaraan.

Adi, merasa iba karena ada warga Katolik jadi korban. Ia memutuskan membantu dan tergerak bersama teman-teman. Di Posko juga baru, pada tahun 2007 lebih fokus hanya di Pucangsawit mendistribusikan paket dari Posko Purbowardayan. Tahun 2009 ini ia langsung turun ke lokasi bencana. Jam 11 malam pergi ke lokasi banjir dan menyaksikan sejak air rendah sampai tinggi. Lalu berkoordinasi, meminta bantuan ke Yogyakarta dan Karanganyar. Semua itu lebih karena dorongan dari hati, sehingga ia tidak terpaksa, melainkan lebih enjoy dan tidak capek.

Dian, ikut relawan tanggal 23 Februari 2009, jam 17.00, saat terjadi musibah latar dingin yang menimpa di wilayah lereng gunung Kelud khususnya di kecamatan Puncu dan Pare. Ketika lahar dingin tersebut turun membawa material berupa pasir dan pohon-pohon yang tumbang juga air keruh, lahar dingin tidak hanya melalui sungai lahar tapi juga melanda perkampungan dan persawahan. Banyak rumah penduduk rusak karna tertimbun lumpur dan pasir dan banyak area persawahan yang rusak. Adapun data kerusakan akibat lahar dinginada 25 rumah rusak yang terdiri dari 5 rumah rusak berat, belum dapat dihuni dan sisanya rusak ringan. Ada sekitar 5 hektar sawah siap panen gagal total karna menjadi padang pasir. Pula 5 ekor kambing mati, 550 meter pipa-pipa aliran air bersih rusak berat. Untuk data kependudukan yang terdiri dari dua kecamatan, yaitu kecamatan Puncu dan Pare, terutama yang terkena musibah lahar dingin di kecamatan Puncu itu ada di Desa Gadungan, dusun Kapasan yang berjumlah 250 KK, sedangkan di kecamatan Pare dusun Sumberdono terdapat 75 KK.

Anton, ikut menjadi relawan saat hari Minggu, 12 Januari 2008 ketika masih berada di Posko St. Fransiskus, Solo. Tepat dua minggu setelah banjir dahsyat melanda sebagian besar kota Semarang dan sekitarnya. Sejak dua minggu sebelumnya ia memang bersama dengan teman-teman Mudika mendistribusikan bantuan berupa barang-barang kebutuhan pokok bagi para korban. Ia pernah mengalami bahwa gudang di posko telah kosong dan tidak ada barang yang harus di distribusikan lagi. Ia ingat hanya ada 20 orang relawan tergabung dalam posko. Suka dukanya karena sudah dua hari kami tidak beraktivitas mulai muncul rasa jenuh. Ada yang berpasangan dan main catur, ada pula yang ngobrol dan saling bertukar cerita tentang aktivitas yang dilakukannya pada waktu mendistribusikan bantuan. Mau menjadi relawan...? (Tim notulensi Java Flood Learning Review)