02 Mei 2009

Menjual Ide Kreatif Dari Kemiskinan


Sigit Agus Himawan datang ke Sidang Tahunan Bank Pembangunan Asia atau ADB ke-42 di Nusa Dua, Bali, pada 1 Mei 2009 dengan tekad bulat tidak akan menjual produk kreatifnya ke pasar internasional. Padahal, acara yang dihadirinya adalah pameran produk kreatif Indonesia yang dikemas dalam Pekan di Luar Nalar atau Unthinkable Week garapan Kantor Menko Perekonomian. Produk yang dipamerkan Sigit adalah kompos dari bahan dasar sampah organik dengan label Rabog. Produk yang sudah lumrah didengar di Indonesia, tetapi menjadi menarik ketika dipamerkan di sela-sela sidang tahunan sebuah lembaga keuangan internasional yang mengundang 3.500 orang itu.

”Ini berasal dari sampah organik dan Indonesia termasuk kelima terbesar di dunia yang memproduksi sampah organik. Namun, anehnya, petani kita malah menggunakan pupuk kimia. Makanya, saya tidak mau mengekspor produk saya karena itu sama saja dengan menjual kekayaan negara sendiri,” tutur Sigit. Lalu mengapa Direktur PT Komposindo Granular Arendi ini ikut dalam pameran yang dihadiri orang asing? Sigit dengan tegas mengatakan, dia ingin dunia tahu bahwa di Indonesia ada produk kreatif yang jarang ada. Kreativitasnya itu tidak hanya dari produk yang dihasilkan, melainkan juga sistem yang mendukung produksi, mulai dari pengadaan bahan baku sampah hingga pemberdayaan pemulung sampah.

Siklus produksi kompos dari sampah organik itu dimulai dari pengumpulan sampah dari tempat pembuangan akhir, yang saat ini baru terbatas di lima kota, yakni Karawang, Subang, Sragen, Bondowoso, dan Jember. Untuk menghilangkan sampah yang tidak bisa terurai (seperti plastik dan kaleng), sampah yang sudah berwarna coklat itu diayak sehingga menjadi lebih halus. Sigit membeli sampah halus yang kelihatan menyerupai tanah ini Rp 75 per kilogram dari para pemulung. ”Dengan demikian, pemulung mendapatkan tambahan penghasilan. Tadinya, mereka hanya bisa menjual plastik bekas atau kertas bekas. Sekarang dia bisa juga menjual sampah organik. Kalau dalam sehari bisa menghasilkan sampah hasil ayakan 100 kilogram saja, maka penghasilan tambahannya mencapai Rp 7.500 per hari. Tadinya dalam sehari, penghasilan mereka Rp 10.000-Rp 20.000, sekarang menjadi Rp 30.000,” ujar Sigit.

Penghasilan tambahan

Saat ini, setiap TPA bisa menghasilkan sampah hasil ayakan (sortir) sekitar 30-50 ton per hari. Dengan demikian, ada penghasilan tambahan bagi para pemulung sekitar Rp 2,25 juta-Rp 3,75 juta per hari. Itu bisa menambah penghasilan 200-300 pemulung sampah yang ada di setiap TPA. Kini, ada sekitar 500-1.500 petani yang memanfaatkan produk pupuk organik itu, tetapi masih terbatas di Pulau Jawa. Atas dasar ini, peluang pasar di dalam negeri saja masih sangat terbuka. Jadi, buat apa ekspor?

Ketua Kelompok Tani Jawa Timur Jumantoro berujar, jika seluruh petani padi menyadari manfaat pupuk organik, niscaya ketergantungan terhadap pupuk kimia yang cenderung merusak tanah akan menurun. Adapun Heri Arifin, Ketua Forum Pemuda Produktif Jawa Timur, bertutur, program yang dikembangkan Sigit bisa menambah kesejahteraan para pemulung perkotaan. Jumantoro dan Heri sama-sama pemangku kepentingan yang utama dalam skema produksi Rabog. Jumantoro memastikan Rabog digunakan dengan benar oleh petani, sedangkan Heri memastikan pasokan bahan baku sampah aman. Merujuk pada program utama ADB, yakni memberantas kemiskinan di kawasan Asia, sebenarnya ada dana dalam jumlah besar yang diarahkan untuk mengentaskan rakyat dari kemiskinan.

Jumlah pinjaman ADB

Total jumlah pinjaman ADB yang diberikan kepada Indonesia hingga 31 Desember 2008 mencapai 23,52 miliar dollar AS. Dana itu diarahkan sebagian besar pada sektor-sektor yang dianggap bisa menghapuskan kemiskinan. Lihat saja, pinjaman yang diarahkan pada sektor pertanian dan sumber daya alam mencapai 3,86 miliar dollar AS atau menjadi yang terbesar karena mencakup 16,43 persen dari total pinjaman. Setelah itu, pinjaman ADB diarahkan pada sektor pendidikan 2,22 miliar dollar AS atau mencapai 9,45 persen. Begitu juga untuk sektor kesehatan, gizi, dan jaminan sosial mencapai 1,068 miliar dollar AS. Forum Lembaga Swadaya Masyarakat untuk ADB menyatakan bahwa program pengentasan kemiskinan yang didanai ADB tidak mengurangi jumlah kemiskinan karena menyebabkan kemiskinan lain di tempat berbeda.

Menurut Koordinator Jaringan Advokasi, Forum LSM untuk ADB, Tea Soentoro, 70 persen dari total pinjaman ADB telah digunakan pada proyek-proyek yang tidak memerhatikan kondisi sosial dan lingkungan. Akibatnya, program antikemiskinan sekalipun justru menambah kemiskinan. Menanggapi hal itu, Presiden ADB Haruhiko Kuroda mengatakan, semua proyek yang dibiayai ADB selalu memerhatikan prinsip-prinsip pengamanan sosial dan lingkungan.