10 April 2009

Korban Lumpur, Dari Ganti Rugi Sampai Relokasi

Korban lumpur kembali memiliki harapan baru, menyusul disetujuinya berkas letter C dan pethok D bisa diaktajualbelikan seperti layaknya sertifikat. Kabar gembira itu didapat setelah warga bertemu pimpinan pusat Badan Pertanahan Nasional Selasa (7/4) lalu.

Selama ini sebagian warga selalu terganjal masalah berkas mereka yang tidak bersertifikat. Sebab, PT Minarak menjadikan sertifikat sebagai keharusan akta jual beli. Jika tidak (nonsertifikat), warga diberi pilihan cash and resettlement. Yakni, relokasi untuk sawah, pembayaran tunai untuk bangunan.

Pitanto, salah seorang warga yang berangkat ke Jakarta, mengatakan, dalam pertemuan tersebut BPN menyatakan tidak ada masalah. Dijelaskan pada pertemuan tersebut, untuk korban lumpur, berkas letter C, pethok D, dan SK gogol diperlakukan sama dengan sertifikat. Dari penjelasan itu, warga bertahan dan minta penyelesaian dilakukan sesuai Perpres No 14 Tahun 2007. Yaitu, cash and carry atau pembayaran tunai. Cash and resettlement tidak akan dipilih warga.

Saat ini menurut Gubernur Jatim Soekarwo mengatakan, dari sekitar 4.000 berkas nonsertifikat, hanya 500 berkas yang mengalami kendala. Semua sudah dibahas dengan pimpinan BPN. Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Sosial akan menindaklanjuti dengan bertemu PT Minarak. "Dengan demikian, ada titik temu untuk berkas yang mengalami kendala," katanya.

Tiga Desa Terdampak

Hal yang sama dialami tiga desa yang baru April 2008 lalu dimasukkan peta terdampak. Sebagaimana dipaparkan Kepala BPLS, Sunarso berkenaan dengan tiga desa di Kecamatan Jabon, yang terganjal peraturan. Yakni, pada penyelesaian jual beli 80 persen. Tiga desa tersebut adalah Desa Besuki, Kedungcangkring, dan Pejarakan. Penyebabnya adalah revisi Perpres No 14 Tahun 2007 yang menyebutkan penyelesaian 80 persen menunggu penyelesaian yang dilakukan Lapindo Brantas. “Padahal, sistem yang digunakan Lapindo saat ini adalah angsuran Rp 15 juta per bulan," ucap Sunarso. Dia memperkirakan, penyelesaian itu butuh waktu lama. Apalagi nominal yang harus dibayarkan kepada warga sangat banyak. "Jika jumlahnya sampai miliaran, berarti tidak selesai dalam setahun," tambahnya. Meski begitu, Sunarso akan berupaya mencari solusi permasalahan tersebut. Yakni, membahas peraturan dalam revisi Perpres No 14 Tahun 2007 itu.

Tiga desa di Kecamatan Jabon tersebut dimasukkan peta terdampak pada April 2008. Dengan begitu, warga tiga desa itu otomatis mendapat jatah hidup, uang kontrak, dan ganti rugi. Nominal ganti rugi disamakan dengan ganti rugi yang diberikan Lapindo Brantas Inc. Anggarannya diambilkan dari APBN. Uang muka ganti rugi 20 persen dibayarkan BPLS kepada warga Oktober 2008. Bersamaan itu dibayarkan pula uang kontrak dan jatah hidup. Pelunasan 80 persen, menurut revisi Perpres, dibayarkan setelah ganti rugi warga di dalam peta terdampak oleh Lapindo Brantas selesai. Permasalahannya adalah penyelesaian yang dilakukan Lapindo saat ini dengan sistem angsuran Rp 15 juta per bulan. Artinya, penyelesaian ganti rugi akan memakan waktu lama.

Relokasi

Tim Pemantau Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (TP2LS) DPR meminta relokasi tiga wilayah yakni, Kelurahan Siring bagian barat, Jatirejo, dan Mindi. Semuanya berada di Kecamatan Porong. Permintaan itu didasarkan pada kondisi tiga wilayah tersebut yang dinilai sudah tidak layak ditempati.

Rencana relokasi muncul setelah tim independen melakukan survei di wilayah tersebut. Hasilnya, muncul rekomendasi bahwa kawasan itu tidak layak huni. Ada sembilan RT yang masuk dalam rekomendasi tersebut. Rinciannya, Kelurahan Mindi meliputi RT 10, 13, 15. Kelurahan Siring bagian barat meliputi RT 1, 2, 3, dan 12. Sedangkan Kelurahan Jatirejo mencakup RT 1 dan 2. Di sekitar kawasan itu, ditemukan 40 semburan aktif yang disertai gas mudah terbakar.

Rekomendasi tersebut ditindaklanjuti dengan rencana relokasi. Dana untuk itu telah dipersiapkan dari APBN. Namun, Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) belum melaksanakan. Alasannya, belum ada petunjuk teknis (juknis) dan petunjuk pelaksanaan (juklak). Ketua Tim TP2LS Priyo Budi Santoso mengabaikan alasan tersebut. Menurut dia, BPLS tidak perlu menunggu karena kondisi wilayah yang sangat berbahaya. Dia tidak menginginkan relokasi dilaksanakan setelah terjadi korban. Hal ini berbeda dengan pendapat Ketua BPLS, karena relokasi berkenaan dengan anggaran yang dikeluarkan dari APBN yang harus ada pertanggungjawaban dan dasar hukumnya. Antara lain detil tentang lokasi relokasi, status rumah yang ditinggalkan, hingga status rumah yang baru ditempati.

Sementara itu, relokasi jalan tol Porong mengalami perkembangan signifikan. Salah satunya, pembangunan segera dimulai, meski lahan belum terbebaskan sepenuhnya. Padahal, menurut peraturan, pembangunan bisa dimulai jika lahan sudah terbebaskan 70 persen. Berdasar data yang dihimpun di BPLS, persentase lahan yang digunakan untuk relokasi adalah 83 persen lahan sawah dan 17 persen sisanya berupa lahan darat. Sekitar 66 persen dari lahan sawah telah disepakati harganya. Tapi, baru 36 persen yang terbebaskan. Yakni, Rp 120 ribu per meter.

Lahan yang belum terbebaskan menunggu proses pembebasan. Saat ini, upaya tersebut terus dilakukan. Proyek tersebut selesai tahun 2010. Dengan turunnya izin itu, kontraktor harus segera mempersiapkan pembangunan jalan arteri. PT Jasa Marga yang memiliki wewenang penuh atas pembangunan jalan tol tersebut juga harus melakukan hal serupa. (disarikan dari: http://www.jawapos.com/)