10 April 2009

Dari Pelatihan Pertanian Organik Kevikepan Madiun-Cepu


Bertempat di desa Randusongo, Kecamatan Widodaren, Kabupaten Ngawi, 15-16 Maret 2009 lalu, para perwakilan petani dari Vikep Madiun dan Cepu mengadakan pelatihan pertanian organik. Pelatihan yang dihadiri sekitar 50 orang ini merupakan kesempatan bagi para petani untuk mendapatkan pencerahan baru agar mengenal dan kelak memulai menanam secara organik. Mengapa? Karena meskipun pertanian organik bukan hal yang baru, namun pertumbuhannya masih tersendat, banyak petani yang masih enggan menanam tanaman secara organik.

Untuk itulah Komisi PSE, khususnya di Vikep Madiun dan Cepu sejak awal Desember 2008 lalu merancang pelatihan ini. Tujuannya tak lain menumbuhkan kembali semangat mencintai menanam organik yang sehat, murah dan demi keutuhan alam ciptaan Tuhan. Selain, sebagai tindak lanjut perayaan Hari Pangan Sedunia, Oktober 2008 lalu di Blitar yang sebagian pesertanya menginginkan diadakan pelatihan sebagai awal merintis jejaring pertanian organik di kalangan petani se-Keuskupan Surabaya.

Rm. Sapta, Pr bersama tim dari Paroki Banyu Temumpang, Muntilan, Magelang mengisahkan bahwa saat ini produk organik mulai diperhitungkan pasar. Ia mengaku saat ini tidak sanggup memenuhi permintaan pasar yang antara lain berasal dari Jawa Tengah, Jakarta dan Surabaya. Padahal, awalnya, mengajak para petani menanam organik tidak mudah. Namun karena motivasi menanam organik sungguh murah daripada memakai pupuk kimia, yang justru membuat tanah tergantung pupuk dan makin rusak, sehat karena semua unsur memakai bahan dasar dari alam serta baik dikonsumsi tubuh manusia, maka kini usahanya mulai membuahkan hasil.

“Yang paling penting ialah mulai menanam tanaman secara organik. Tidak perlu khawatir hasilnya bagaimana. Maka perlu dibuat kelompok yang mengatur penjualan dan mengontrol hasil padi organik. Kelompok ini fungsinya menjadi payung sehingga anggota sama-sama diuntungkan,” demikian imam praja Keuskupan Agung Semarang itu menjelaskan, “Maka harus jujur dengan hasil padinya supaya tidak merusak nama baik kelompok”.
Pada sesi berikutnya para peserta diajak untuk membuat bahan pupuk non organik yang menjadi penyubur tanaman padi. Para fasilitator ialah penyuluh pertanian setempat. Bapak Tamam, menjelaskan pembuatan pupuk dengan bahan campuran stardec, mop (mikroorganisme penggurai), serta semanggi buatan dari pabrik yang dicampurkan dengan bahan-bahan pupuk dari alam sekitar, seperti kotoran hewan, humus tanaman, sisa makanan dan sebagainya. Inilah yang kemudian dicampur dijadikan pengurai atau mikroorganisme lokal sehingga menghasilkan pupuk kompos atau pupuk organik.

Para peserta juga mendapatkan masukan dari Ibu Titik, yang mengajarkan membuat starter pupuk organik, serupa mikroba lokal yang berfungsi mengurai bahan pupuk dari bahan organik seperti sayuran busuk, buah busuk atau bonggol pisang. Inilah yang akan menjadi mikroba lokal sebagaimana campuran bahan pupuk kompos.

Sementara itu Bapak Kamto mengajarkan memilah bibit yang baik mutu tinggi yang layak tanam, dengan cara sederhana. Ialah menyiapkan air campuran garam dalam ember lalu dites dengan memasukkan telor. Jika telor terapung, maka air sudah layak untuk memilah. Lalu bibit padi dimasukkan air garam akan terpilah mana bibit yang terapung dan yang tenggelam. Yang tenggelam itulah yang layak ditanam sebagai bibit padi bermutu bagus. Setelah diselingi dengan istirahat dan makan malam, para peserta kembali berkumpul untuk melakukan tanya jawab berbagai hal yang dijumpai dalam pelatihan.

Keesokan harinya, para petani diajak turun ke sawah untuk mempraktekkan menanam padi dengan metode SRI (system rice of intensification) yang diplesetkan sebagai sistem rodo irit (sistem cukup hemat). Kali ini sebagai fasilitator Bapak Tanam bersama kelompok tani Santosa, Randusongo. Pagi itu yang ditanam benih padi berusia 8-10 hari. Cara menanamnya satu bibit padi saja, memakai cara tanam maju. Semua petani utusan dari paroki turun ke sawah mempraktekkan menanam model yang masih baru bagi mereka.

Ketika kembali berkumpul, Ibu Tutik Suharli, koordinator pertanian Kecamatan Gerih mengatakan terbukti model menanam dengan metode SRI sudah membawa hasil panen dan tidak mengecewakan, meskipun awalnya kelihatan aneh. Di Ngawi kegiatan digabungkan dengan program HIPPA (himpunan petani penghemat air). Saat ini sudah ada 2 ha sawah sebagai tempat penelitian dan dipraktekkan menggunakan demonstrasi, demplot (dibawah 1 ha), demvam, dem area.

Kelebihan metode SRI antara lain: hemat air, hemat bibit, 1 ha cukup dengan dengan 5-7 kg bibit, tidak perlu membajak, hemat tenaga, hemat luas sawah dan hanya membutuhkan nampan tempat bibit, tanpa perlu mencabut bibit, lebih awal panen dan terjadi peningkatan produksi. Metode tanam maju dengan jarak tanam 30-30 cm tergantung kesuburan tanah, bibit yang ditanam cukup seumur 21 hari, tidak perlu dalam, dengan posisi akar horizontal. Dari data hasil, terbukti bahwa padi dengan memakai metode SRI hasilnya lebih panjang, lebih banyak butir per malai dan butir gabahnya, lebih berat, masa panennya seminggu lebih awal dari padi hasil tanam metode konvensional.

Pada sesi selanjutnya, para petani dari Vikep Madiun dan Cepu masing-masing paroki berkumpul untuk membuat rencana. Rencana tindak lanjut yang akan diadakan oleh tiap-tiap paroki yang akan dievaluasi pada peringatan Hari Pangan Sedunia 2009, bulan Oktober nanti di Paroki Regina Pacis, Magetan adalah sebagai berikut:

Paroki Tuban:
1. Menindaklanjuti berlatih ke Rm. Sapta
2. Mempraktekkan pembuatan mol pribadi-kelompok
3. Praktek bokasi dengan stater
4. Membuat demplot pada November

Paroki Ngawi-Kedungalar:
1. Bersama Gapoktan mempraktekkan system SRI 2010
2. Membuat pupuk kompos tradisional (selama ini dari kandang tanpa mol), pupuk cair (selama ini dari kacang bercampur kimia), pestisida organik

Paroki Cepu:
1. Bulan April pada penanaman ketiga, dengan pupuk organik
2. Pembuatan pupuk kompos, pupuk cair dan pestisida organik
3. Pembuatan mol
4. Pembelian benih mentik susu dari Rm. Sapta

Paroki Ponorogo-Slahung:
1. Menyediakan lahan 1 kotak, membuat organik murni SRI, benih 1kg jenis Saodah, kompos 1 ton
2. Membuat pupuk organik
3. Membuat kelompok

Paroki Nganjuk:
1. Membuat pupuk organik, pestisida, mol di lahan pribadi dibimbing PPL setempat

Paroki Madiun-Jenangan:
1. Mempraktekkan semua pelatihan
2. Mencoba di lahan Gereja
3. Ingin program ini berkesinambungan

Paroki Ngawi- Ngrambe / Sine:
1. Membuat mol pribadi
2. Membuat pupuk organik
3. Membuat benih lokal
4. Menanam metode SRI dengan bibit muda
5. Penerapan organik murni dan separo kimia
6. Membuat pestisida nabati

Paroki Rembang:
1. Membuat kompos dan menerapkan kotoran sapi yg tidak kelola
2. Membuat mol buah
3. Membuat pestisida

Mengomentari pelatihan pertanian organik yang baru diadakan di Vikep Madiun dan Cepu tersebut, beberapa petani mengaku sangat menyenangkan karena mendapat ilmu pertanian organik. Antara lain karena petani asal Padangan (Paroki St. Paulus, Bojonegoro) masih langka, saat ini banyak yang bertani dengan pupuk kimia. Petani dari Slahung Paroki St. Maria, Ponorogo, Bapak Lamidi (38 th) mengatakan bahwa, senang berjumpa dengan teman sesama petani, namun menyebut cara duduk kurang komunikatif. Selain itu, menurutnya materi spiritualitas atau Roh bertani dengan pertanian organik dirasa kurang. Padahal para petani membutuhkan semangat dan dorongan unsur spiritual yang menggerakkan dari dalam agar petani mau memulai bertani organik.

Pak Taman, mewakili kelompok tani Santosa dan Pak Iin mengaku terkesan dengan peserta yang sangat antusias. Ia berharap agar materi yang diberikan pelatih ada realisasinya, “Mencobalah maka akan merasakan hasilnya”, lanjutnya. (A. Luluk Widyawan, Pr)