27 Agustus 2009

Pasca SP3, Jangan Lupakan Lumpur Lapindo


Dari Lapindo Ke Pemerintah

Memang benar bahwa kasus Lapindo ini menyesakkan. Kasus yang tidak bisa dianggap remeh karena menenggelamkan wilayah seluas 894 ha, meliputi 10 desa dari 3 kecamatan di Kabupaten Sidoarjo plus tergenangnya 1,5 km ruas jalan tol dan berbagai fasilitas umum, seperti, listrik, pipa gas, telepon dan PDAM, serta berbagai fasilitas umum dan sosial lainnya.Sudah lama kita tahu, bahwa persoalan ini ditangani oleh Pemerintah. Ketika kasus ini muncul Presiden SBY membentuk Timnas. Namun kinerja Timnas ini dicurigai sebagai pengalihan perkara, dari Lapindo Brantas, Inc ke tangan pemerintah. Banyak keberatan dengan Tim Nasional (Timnas) penanggulangan lumpur panas Sidoarjo, yang disahkan dengan Kepres No.13 tahun 2006. Mulai dari pengabaian tanggung jawab Lapindo, keterlambatan pembentukan hingga Kepres yang tidak menjabarkan secara rinci tugas Timnas.

Belum tampak hasil kerja Timnas, muncul Kepres No. 14 tahun 2007 tentang pembentukan Badan Penanggulangan Lumpur Panas Sidoarjo (BPLS). Pendek kata, BPLS harus bisa bekerja maksimal dengan prestasi yang lebih baik dari pada Timnas dan berkonsentrasi penuh terhadap dua hal yaitu, masalah penanggulangan, pembuangan Lumpur dan penyelesaian persoalan sosial serta infrastruktur yang rusak. BPLS diberi kewenangan dan dukungan tim ahli untuk bekerja maksimal. Namun banyak pihak pesimis, tentang menangani semburan dan persoalan ini.

Kinerja BPLS sejauh ini mengupayakan perbaikan infastruktur pengganti, jalan tol, perumahan warga atau ganti rugi, selain kerja penyelamatan terhadap temuan baru perkembangan kasus lumpur: munculnya semburan gas liar, menyiapkan mensosialisasikan keberadaan dan kondisi struktur tanah serta menyiapkan early warning system. Memang benar, sebagaimana ditanyakan oleh Pansus dari DPRD I Jatim, hampir semua pakar, baik itu geologi, geofisika, geopitelium dan mudvulcano, menyebutkan bahwa di daerah Porong dan sekitarnya (area semburan lumpur) rawan terjadi subsidence atau rawan terjadi gempa akibat semburan yang tidak terkendali itu.

Ironisnya meski banyak pakar yg menyampaikan itu, tapi tidak ada langkah apapaun yang dilakukan pemerintah untuk mensosialisaikan dan menjelaskan tentang masalah itu. Ingat kasus meledaknya pipa gas karena efek beban tekanan tanah akibat penimbunan tanggul dan tanah bergeser sehingga pipa gas melengkung hingga patah lalu menimbulkan percikan api, sudah lama diperingatkan. Ingat pula beberapa peringatan yang tidak mendapat tindakan serius, rel kereta yang rawan melengkung dan patah, jembatan Porong rawan ambrol terbebani kendaraan yang lewat, pipa-pipa air minum berulang kali patah disekitar Porong dan menyebabkan banjir, tanggul penhan yang masih sering ambrol (masih terjadi Agustus ini), semburan gas liar yang diduga beracun dalam kadar tertentu, rumah yang rawan subsidence di 3 desa, Siring Barat, Jatirejo dan Ketapang, bahkan pasca ambrol dan tersedotnya rumah Oki Adrianto, sebelumnya sudah diduga para ahli.

Memoria Pengungsian

Berkaca pada kasus tenggelamnya ribuan rumah, beberapa saat setelah lumpur menyembur, spontan warga mencari tempat aman meninggalkan rumahnya. Gelombang pengungsian memuncak, pasca ledakan pipa gas. Mereka menerima ganti rugi 20 % untuk mengontrak rumah,masih saya ingat ganti rugi itu diberikan sekitar pertengahan tahun 2007, setahun setelah semburan gas. Sementara warga dengan berbagai macam tuntutan yang bertentangan dengan Kepres, dengan perjuangan khasnya ngotot mendesak pemerintah dan Lapindo dengan cara tinggal di pengungsian Pasar Baru bersama dengan mereka yang surat tanahnya non sertifikat.

Kita ingat, saat itu ada gerakan yang disebut satu perjuangan tujuh kelompok, yaitu Kelompok Choirul Huda, mengatasnamakan Gabungan Korban Lumpur Lapindo beranggota sekitar 1.500 orang dengan tuntutan cash and resettlement, Kelompok Fathurozi atau Ny Mahmudah, mengatasnamakan Gerakan Pendukung Perpres dengan anggota sekitar 1.000 orang dengan tuntutan cash and carry, Kelompok Soenarto, mengatasnamakan Paguyuban Warga Renokenongo Menolak Kontrak dengan anggota sekitar 1.500 warga menuntut percepatan ganti rugi maksimal Desember 2008, Kelompok Perumtas pimpinan Imam Agustinus, dengan anggota lebih dari separuh warga perumtas dengan tuntutan resettlement murni, Kelompok Perumtas pimpinan Sumitro, dengan anggota kurang dari separuh warga perumtas dengan tuntutan cash and carry, Kelompok di luar peta dampak pimpinan Bambang Kuswanto dengan anggota warga Siring Barat, Jatirejo Barat, dan Mindi, menuntut ganti rugi dan Kelompok Abdurrohim dengan anggota warga Desa Besuki, Pejarakan, dan Kedungcangkring dengan tuntutan revisi Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang Peta Dampak.

Agaknya, jangka waktu yang lama membuat kekuatan perlawanan kian melemah. Iming-iming satu-dua di antara para korban yang menerima skema Kepres ternyata sudah mendapat realisasi, membuat mereka makin tak tahan dengan perlawanan ngotot mereka. Hingga akhirnya pilihan yang dinjanjikan pemerintah mereka ikuti, yaitu dengan menerima uang kontrak rumah 5 jt, uang jatah hidup per bulan 300 rb dan uang pindah 500 rb. Sampai akhirnya mereka semakin tunduk dan menerima ikatan perjanjian 20 % di awal, sementara 80 % dijanjikan akan dicicil pihak Lapindo. Demikian pula yang menerima skema relokasi dijanjikan dibuatkan rumah, entah sampai kapan terpenuhi. Kini pengungsian di Pasar Baru dikosongkan sejak 15 Mei 2009. Warga yang menunggu realisasi dengan aneka keterbatasan bertahan di pengungsian bekas lahan tebu di Kedung Solo, arah barat Porong.

Dari Pasar Baru Ke Kebun Tebu, Kedung Solo

Kesaksian Sunarto dari Renokenongo, tiga tahun pasca semburan lumpur, nasib warga yang sebelumnya tinggal di pengungsian Pasar Porong Baru belum juga membaik. Meski sudah menerima uang muka ganti rugi 20 %, namun uang habis untuk belanja kebutuhan sehari-hari, untuk mengontrak rumah, membeli tanah dan mendirikan rumah di lahan relokasi kami yang baru didaerah Kedungsolo, Porong. Mereka membeli lahan relokasi seluas 10 hektar dari Pabrik Gula Krembung, namun sekarang ini warga masih tinggal di barak darurat yang berdinding tripleks dan beratapkan asbes. Mimpi mereka sebenarnya membeli lahan di Kedung Solo itu menunggu realisasi sisa ganti rugi 80 persen secara utuh, namun kini tinggal harapan. Demikian pula pelunasan 80 % untuk warga Renokenongo dijanjikan baru akan dicicil oleh MLJ senilai Rp 5 juta per bulan, pada 2010 nanti. Padahal pengungsi pindahan Pasar Baru ke Kedung Solo itu hampir 2000 jiwa jumlahnya.

Kisah di atas baru kisah warga yang masuk dalam peta tenggelam. Kisah penanganan dampak lumpur di luar peta oleh pemerintah melalui Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) juga belum seluruhnya beres. Permintaan warga di tiga desa, yaitu Jatirejo, Siring Barat dan Mindi untuk masuk peta terdampak lumpur juga belum ditanggapi. Sebagaimana diberitakan di media masa, di daerah itulah beberapa dampak lumpur terjadi seperti, muncul semburan gas liar, subsidence melalui retakan tanah dan tembok, serta rekahan tanah yang menyebabkan rumah warga amblas. Memang wilayah tiga desa itu oleh tim independen juga diamini BPLS telah dinyatakan tidak layak huni. BPLS pernah menawarkan bantuan sosial tanpa membeli rumah warga tiga desa. Warga tiga desa diberikan uang kontrak rumah selama dua tahun senilai Rp 5 juta, uang relokasi Rp 500 ribu / kk serta uang jatah hidup perbulannya Rp 300 ribu per jiwa selama enam bulan, namun ditanggapi dingin. Warga ingin ada kejelasan nasib aset tanah dan bangunan bila mereka tinggalkan setelah menerima bantuan sosial tersebut dan tidak ingin nasibnya terkatung-katung tidak jelas, seperti warga yang rumahnya tenggelam. Hingga April 2009, dari 12.886 pemilik berkas korban lumpur, seluruhnya telah menerima pembayaran uang muka 20 %. Adapun sisa pembayaran 80 %, 10.263 berkas sudah direalisasikan meski belum seluruhnya lunas. Sedangkan 2.623 berkas lainnya sama sekali belum menerima pembayaran 80 %.

Kerawanan Kini

Sampai saat ini, ada temuan kerawanan baru, antara lain gelembung gas (buble) di sungai Pamotan, retakan tanah yang mengarah ke Barat, kearah jalan tol baru. Namun kesadaran warga untuk pindah nanti dulu. Mereka akan bertanya, pindah kemana ? Lalu bagaimana dengan ganti ruginya ? Warga enggan menentukan pindah karena tidak ingin nasibnya terkatung-katung. Sebagaimana mereka yang dijanjikan rumah belum mendapat rumah dan yang dijanjikan ganti rugi baru memperoleh 20 % dan belum tuntas cicilannya. Cicilan dijanjikan 30 jt per bulan namun diubah menjadi 15 jt per bulan. Janjinya 15 jt per bulan, namun realisasinya yang diterima kurang dari itu. Dan aneka masalah pelik di tingkat Group Bakrie yang konon berada dalam kesulitan financial saat ditagih dan didemo warga. Atau masalah di tingkat PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ), pelaksana ganti rugi warga atau di soal pendaftaran sertifikat. Inipun belum menyentuh warga yang kepemilikan tanahnya non sertifikat, hanya surat tanah letter c atau d.

Sejauh saya tahu, di Mindi bahkan warga mengalami gesekan antar sesama warga. Para tokoh yang punya ide pindah ditolak dan dicurigai sebagai kaki tangan yang "sudah dibeli". Warga sepakat bersikap demikian karena trauma dengan kasus pelunasan ganti rugi yang serba tak pasti. Pengalaman ini membuat warga yang rumahnya tidak tengelam atau sekarang ada di lokasi terdampak tidak mau menerima tawaran untuk pindah. Sekalipun dibayar harga tinggi. Sekalipun daerah tersebut dinyatakan berbahaya. Mereka khawatir jangan-jangan yang dibayarkan hanya 20 % di awal. Sementara sudah telanjur terikat perjanjian, kucuran dana 80 % tak pasti kapan dilunasi.

Beberapa persoalan lain yang cukup potensial menjadi penghambat, yaitu jenuh dan lelahnya masyarakat terhadap kasus Lumpur Lapindo, yang realitanya terlantar selama hampir 3 tahun ini. Pula berkembangnya opini publik, bahwa kasus Lumpur Lapindo hanyalah urusan pemerintah dan Lapindo. Sementara kenyataannya, korban diterlantarkan. Berdasarkan fakta di atas sudah cukup menjelaskan, bahwa solidaritas dan kepedulian masyarakat terhadap korban Lumpur Lapindo sebenarnya ada, tapi kini berada pada titik nadir. Sementara lumpur masih menyembur, bahkan tanggul cincin pusat semburan yang berkali-kali ambrol dan berusaha ditimbun kini sudah dibiarkan.

Keadilan semakin menjauh, ketika awal Agustus ini berdasarkan fakta-fakta dalam pemeriksaan maksimal terhadap 4 kali pengiriman berkas perkara, tidak dapat memenuhi petunjuk jaksa penuntut umum, sehingga penyidikan kasus ini dihentikan karena bukan perkara pidana. Ada 3 alasan penghentian penyidikan, ialah tidak diperoleh bukti yang cukup, peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana dan penghentian penyidikan demi hukum. SP3 Lapindo termasuk alasan terakhir yang cukup kuat, artinya kasus dugaan tindak pidana Lapindo sudah dianggap selesai dan tidak dapat diganggu lagi.

Dukungan Masyarakat

Beberapa pengalaman yang dibuat masyarakat bersama korban lumpur adalah upaya menekan pihak pemerintah dan pihak Lapindo, melalui kerja lintas agama pernah dibuat Bahtsul Masail (http://www.menkokesra.go.id/content/view/4939/39/). Dukungan sporadis dilakukan oleh kelompok-kelompok LSM, sosial keagamaan saat pengungi bertahan di Pasar Baru. Mereka memberikan aneka bantuan, seperti dana untuk keperluan hidup harian, juga ketika warga korban lumpur hendak demo atau menutup jalan raya Porong, ketika akan ke Jakarta menuntut upaya-upaya penyelesaian ke kantor Bakrie, ke Komnas HAM maupun dukungan in natura berupa makanan, pakaian pantas, pendampingan anak dan lain-lain.

Paroki setempat, membentuk Posko SanMariAnn sejak terjadinya ledakan pipa gas, mengumpulkan dana dari umat, menyediakan pengungsian di aula stasi dan fasilitas mandi-cuci-kakus di kompleks gereja stasi yang jaraknya hanya 200 meter dari pengungsian Pasar Baru, Porong. Dana tersebut dibagikan sebagai bentuk dukungan mendapatkan kontrak rumah, biaya berobat, pengajuan modal usaha kecil. Sejak tahun lalu, menyusul keberadaan 80 kk umat yang rumahnya tenggelam sudah menerima ganti rugi 20 %, perhatian diberikan secara khusus kepada bantuan sosial pendidikan anak dan diulang lagi tahun ini menjelang pendaftaran sekolah. Meskipun demikian, Posko terbuka untuk membantu kepada siapapun yang mengajukan permohonan dana, khususnya bagi korban lumpur. Dan dalam penyalurannya, Posko senantiasa melibatkan orang lokal, mengajak jejaring lintas agama untuk menghindari aneka isu negatif yang kemungkinan muncul. Namun sejauh beberapa kali membantu, yang terjadi sebaliknya, warga korban sangat menerima dan sangat membutuhkan bantuan tersebut.

Saat ini, bersama jaringan peduli anak se-Jatim, sebagai upaya mengaktualisasikan bahwa kasus Lapindo belum seluruhnya beres, ada gerakan untuk mendampingi, menemani, mengajak bermain anak korban lumpur Lapindo dan sekitarnya. Tujuannya, membuka mata banyak orang dan juga korban lumpur Lapindo terhadap persoalan anak, yang selama ini terabaikan. Karena orang tua terbeban banyak hal, kehilangan pekerjaan, sibuk mengurus perjuangan mendapatkan ganti rugi, sementara asap dapur harus terus mengepul. Perhatian kepada anak bukan tanpa alasan, karena anak dan kaum lanjut usia merupakan sosok yang rentan dalam peristiwa ini, selain dari segi pekerjaan, ialah para petani dan buruh.

Kegiatan ini hendak menyadarkan, bahwa anak merupakan aset masa depan yang tak ternilai bagi orang tua, keluarga dan negara. Lewat isu anak kegiatan ini akan terus menggugah kepedulian terhadap kasus lumpur Lapindo yang kian terabaikan. Lewat isu anak pula, sebagai korban yang tak kentara, akan terbuka peluang melanjutkan kerja advokasi bagi korban lumpur. Sekertariat bersama Festival Budaya Anak Pinggiran-Jatim (FBAP-JT) didukung oleh beberapa kelompok yang terlibat ialah: Sanggar Suroboyo, Surabaya, Sanggar Sahabat Anak, Malang, Sanggar Al-Faz, Besuki, Porong , Sanggar Merdeka, SAKA, Jember, Komunitas Samir, Tulungagung, Griya Baca, Lembaga Pemberdayaan Anak Jalanan, Malang, Angsa, Malang, Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Probolinggo, Kampung Seni Pondok Mutiara, Sidoarjo, DIFAA, Muslim Women's Initiatives for Human Rights, Madiun, Koalisi Perempuan Ronggolawe (KPR), Tuban, Jaringan Anak Tertindas (Jerit), Surabaya, Posko Keselamatan Korban Lapindo (PKKL), Sidoarjo, Solidaritas Masyarakat Desa (Sitas Desa), Blitar, Alha-Raka, Jombang, Warga Besuki dan Mindi, Porong, Perkumpulan Desa Mandiri, (Punden), Nganjuk, Komunitas Pacet, Mojokerto, Warga Besuki, Mindi, Porong, Posko SanMariAnn, Sidoarjo, Jaringan Relawan Kemanusiaan (JRK), Jakarta.

Sasaran kerja forum bersama ini melulu kerja sosial kemanusiaan yang lebih bersifat soft advocacy. Karena karena yang sedang dihadapi korban adalah kekuatan besar yang begitu dingin. Sementara aneka masalah tak terjangkau karena pelik, banyak menyangkut ribuan orang, serta tanggung, karena dijanjikan akan beres namun entah sampai kapan. Sementara masalah baru timbul dan kerawanan di depan mata, khususnya warga di kawasan peta terdampak. Dan warga laksana dihadapkan pada buah simalakama, jika tidak pindah berarti terancam bahaya dampak lumpur, sehingga hanya bisa pasrah. Namun jika pindah, justru khawatir masuk dalam lubang ketidakpastian. (A. Luluk Widyawan, Pr)