Pada
periode 2011-2012, Karina Keuskupan Surabaya melalui Pos pelayanan Paroki St.
Mateus, Pare, telah menginisiasi pendampingan bagi warga di kawasan rawan
bencana Gunung Kelud. Peristiwa banjir lahar dan tanggap darurat yang terjadi
pada 2009, mendorong pengurus dan relawan merancang program agar warga mampu
mengatasi masalah mereka. Saat itu, ada pendampingan untuk 3 komunitas ialah
warga Dusun Sumbersuko, Desa Asmoro Bangun; Dusun Kapasan, Desa Gadungan,
keduannya berada di Kecamatan Pare serta Dusun Sumberdono, Desa Pare, Kecamatan
Pare.
Wilayah
dampingan tersebut berada di lokasi yang mengalami dampak aktivitas Gunung
Kelud. Gunung Kelud memang dikelilingi oleh beberapa gunung, ialah: Gunung
Gajah Mungkur dan Gunung Umbuk yang lebih tinggi dan besar. Di bagian Selatan
ada Gunung Sumbing yang menyerupai alat gamelan. Pasca terjadi letusan, ancaman
yang potensial ialah banjir lahar. Ketika tahun 2007 Gunung Kelud mengalami
erupsi kecil, dampak aliran lahar pada tahun 2009 melumpuhkan daerah di kawasan
aliran lahar, mengalirkan lumpur dan aneka material seperti kayu dan batu,
serta memporak-porandakan pipa air bersih.
Pasca
erupsi, ancaman sekunder yang perlu diantisipasi ialah banjir lahar. Banjir
lahar dalam sejarah, meluap hingga ke pemukiman warga di sekitar Kabupaten
Kediri dan Blitar. Luapan aliran lahar atau letusan abu vulkanik, memang
terhalang oleh Gunung Gajah Mungkur dan Sumbing, sehingga derasnya sedikit tertahan. Namun perlu dicermati
karakter aliran lahar Gunung Kelud mengarah ke arah Barat Laut melewati Dusun
Pulo, lalu ke Trisulo, Dermo, Sidorejo sampai ke Sungai Brantas. Sedangkan di
arah Utara berawal dari Dusun Laharpang mengarah ke Puncu, Parang Agung,
Lestari, Sumbersuko, Kapasan dan Sumberdono. Tetapi bila volume lahar meluber,
aliran lahar berlanjut ke Sungai Mangli mengarah ke Dusun Satak. Aliran lain
mengarah ke Timur Laut menuju Dusun Besowo, Siman, Damarwulan sampai Kandangan.
Aliran lahar yang mengarah ke Selatan ada dua jalur ialah ke arah Dusun Kali
kuning, Kali badak menuju Nglegok dan Ponggok. Sementara yang lain mengalir ke
Dusun Kali Putih berlanjut ke arah kota Blitar.
Berdasarkan
pengalaman masyarakat yang terekam dalam dokumentasi Karina Surabaya, sejak
masa pendampingan Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Masyarakat (PRBOM) serta
Masa Tanggap Darurat dan Pemulihan pasca erupsi, ada beberapa fakta sebagaimana
tersaji di bawah ini:
Dusun
Satak
Warga
Satak berjumlah 1.100 jiwa yang terdiri dari sekitar 700 kk. Ada 4 RW yakni
Sumber, Pulo, Nobo, Yani I dan Yani II. Dusun Yani I terletak paling dekat
dengan perkebunan. Wilayah ini merupakan wilayah paling parah diterjang kerikil
dan abu vulkanik ketika erupsi Februari 2014 lalu. Dusun ini terletak dalam
radius 11 km dari Kelud. Di Yani I terdapat 10 RT, dengan rata-rata 40 kk.
Semua
anggota masyarakat Satak adalah pekerja di perkebunan milik negara. Sesuai perjanjian, warga diberi kesempatan untuk menempati rumah di atas
tanah milik perkebunan. Tetapi warga hanya memiliki hak guna pakai, bukan hak
milik. Warga diberi wewenang untuk
mengelola lahan perkebunan lewat tumpang sari. Tanah tetap milik perkebunan.
Tanaman kopi tetap menjadi milik perkebunan, namun tanaman di sela-sela kopi
dapat dimiliki warga. Selama ini mereka
menanam cabe. Mereka harus
mengeluarkan dana sendiri untuk mengolah lahan, membeli bibit dan pupuk. Namun
ketika panen, hasil 20% untuk perkebunan
dan 80% untuk petani penggarap.
Dalam
perkembangan, cukup banyak warga yang tidak memiliki dana untuk mengolah lahan,
membeli bibit dan pupuk. Mereka terpaksa menjual lahan garapan kepada orang
lain. Mereka justru bekerja sebagai buruh tani dan mendapatkan
pendapatan dari pihak pengelola lahan perkebunan. Perkebunan juga
mengalokasikan lahan bagi warga untuk kandang ternak. Satak identik dengan
kampung ternak. Semua ternak ditempatkan dalam satu lokasi di dekat pemukiman
warga. Kondisi ini membuka peluang bagi warga yang tidak mempunyai ternak.
Mereka menjadi buruh peternak, mencari makan ternak dengan sistem bagi hasil.
Ketika
terjadi letusan Gunung Kelud, seluruh lahan perkebunan di Satak, tertutup pasir
dan kerikil vulkanik. Berdasarkan pengakuan beberapa pengurus RT yang mengalami
bencana, mereka kurang memahami manajemen bencana. Selain itu, tidak ada
koordinasi dengan Desa atau Kecamatan berkenaan dengan pendataan anggota
masyarakat. Pengalaman masa tanggap darurat, tidak ada koordinasi untuk
melakukan evakuasi warga. Dalam waktu
sekitar 8 bulan pasca erupsi, mereka memperkirakan kesulitan mendapatkan penghasilan
memadai karena lahan tidak bisa ditanam. Tak heran, ada warga yang terpaksa
menjual ternak untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Dalam waktu 4 bulan setelah erupsi, diperkirakan memasuki musim kemarau. Mereka akan kesulitan mendapatkan makan ternak. Sesuai pengalaman selama ini, warga akan lebih banyak menghabiskan waktu di hutan untuk
mencari rumput bagi ternak.
Dusun
Sumbersuko
Masyarakat
Sumbersuko menggantungkan hidup pada pertanian cabe memakai lahan
milik perkebunan. Hasil panen juga dibagikan dengan perkebunan dengan pembagian
20 % untuk perkebunan dan 80 % untuk petani penggarap. Mereka juga
menggantungkan hidup pada ternak sapi dan kambing. Ketika terjadi bencana,
lahan garapan memang tertumpuk pasir,
namun tidak terlalu parah. Setelah
hujan, lahan pertanian segera pulih. Kondisi ternak mereka sudah tertangani. Sebelum bencana, ternak yang ada di Sumbersuko sudah diungsikan ke
tempat yang aman, sehingga tidak terlalu masalah.
Dusun
Sumbersuko sebenarnya memiliki Organisasi Masyarakat (OM) yang diinisiasi oleh
relawan Karina. Penduduk Sukomoro terdiri 1 RW dengan 4 RT dengan
jumlah sekitar 300 kk atau 267 rumah. Namun ketika terjadi bencana, OM tidak
bisa bekerja maksimal. Karena peringatan bencana hanya dalam waktu satu jam. Mereka pun terdampak erupsi, sehingga tidak ada yang
mengkoordinir. Memang kehidupan di dusun ini sudah lebih baik, namun kehadiran OM akan membantu masyarakat menghadapi bencana
sekunder yang masih mungkin terjadi.
Pasca
erupsi, kesulitan yang dirasakan menonjol ialah modal untuk mengolah lahan,
membeli pupuk dan membeli pestisida untuk memulihkan tanaman cabe. Mereka sebenarnya merindukan kehadiran lembaga
keuangan mikro, sehingga memberikan dukungan keuangan pada saat musim
tanam. Saat ini, ketika musim tanam tiba, mereka tidak memiliki modal cukup
untuk mengolah lahan. Karena dana diprioritaskan untuk memperbaiki
rumah dan membeli kebutuhan setiap hari. Kehadiran lembaga keuangan mikro
diharapkan menjadi tempat untuk menabung dan mengusahakan dana cadangan
ketika menghadapi bencana.
Dusun
Sukomoro
Dusun
ini berada di radius sekitar 4–5 km dari Gunung Kelud. Dusun Sukomoro memiliki
3 RT. Jumlah penduduknya, RT 1 berjumlah 54 kk, RT 2 berjumlah 60 kk, RT 3 sebanyak 56 kk. Kondisi
sosial ekonomi masyarakat Sukomoro pasca erupsi terhitung sangat sulit. Ladang
belum bisa diolah karena tertumpuk pasir yang tebal. Kondisi seperti ini
membutuhkan pengolahan secara manual. Memang mayoritas warga menggarap lahan
milik perkebunan. Mereka menanam cabe dengan sistem tumpang sari di antara
kebun kopi. Dalam kondisi demikian, mereka mengandalkan usaha ternak. Pasca erupsi memang
ada sebagaian ternak yang dijual karena tidak tersedia pakan ternak yang
memadai. Rumput sebagai pakan belum tumbuh baik karena tumpukan
pasir. Hasil penjualan ternak, digunakan
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Mereka belum memiliki kemampuan untuk mengolah pangan ternak alternatif
pasca bencana sekitar 3–5 bulan ke depan. Sebagai upaya untuk memenuhi
kebutuhan hidup, mereka menjual ternak dan menunggu waktu yang tepat untuk
mengolah lahan lagi.
Salah
satu bagian dari Sukomoro ialah Dusun Laharpang. Dusun ini memiliki 46 kk
dengan 153 jiwa. Di Laharpang ada tokoh sentral, ialah Bp. Barkah. Ia setiap
hari keluar masuk hutan sebagai petani yang menggarap lahan milik
perkebunan. Ia merupakan orang kunci
yang pemberi informasi ketika Gunung Kelud aktif. Pengalaman selama tinggal di dekat gunung
membuatnya memiliki kemampuan mendeteksi perkembangan aktifitas Gunung Kelud.
Beberapa saat setelah terjadi erupsi, ia berperan memberikan informasi kepada
warga, bahkan menginstruksikan untuk segera meninggalkan Laharpang. Dusun
Sukomoro dan Laharpang merupakan lokasi paling parah ketika terjadi bencana.
Pasca erupsi, warga perlu difasilitasi sehingga mampu mengelola
pengalaman dan menjadikan peristiwa erupsi sebagai pelajaran di masa mendatang.
Kehadiran OM akan menjadi sarana yang memperkuat masyarakat dalam merumuskan
aneka aksi nyata yang perlu, dalam mengantisipasi dan menghadapi bencana di
masa yang akan datang.
Dalam
catatan pelaksanaan PRBOM di Sukomoro pada tahun 2012 lalu, telah terbentuk OM
Sumber Alam. Tanggapan warga begitu besar sehingga terpilih pengurus yang
diketuai Bp. Subur. Hal ini karena warga menyadari daerah mereka rawan
bencana, berada di lereng Gunung Kelud
kawasan ring I-III. Pada pengalaman bencana lahar dingin tahun 2008 lalu, banyak
bantuan mengalir dari organisasi atau LSM melalui pemerintah tetapi tidak
sampai kepada masyarakat dan tidak merata. Inilah yang menjadi pelajaran
sehingga mereka terlibat dalam menangani bencana. Selain
itu, di masa lalu di Sukomoro pernah ada pos pantau Gunung Kelud dan aliran
lahar hasil swadaya masyarakat, tetapi pos tersebut dirobohkan karena seorang anak kecil pernah
jatuh.(bersambung)