06 Juni 2014

Masyarakat di Sekitar Gunung Kelud Pasca Erupsi 2014 (1)




 
Pada periode 2011-2012, Karina Keuskupan Surabaya melalui Pos pelayanan Paroki St. Mateus, Pare, telah menginisiasi pendampingan bagi warga di kawasan rawan bencana Gunung Kelud. Peristiwa banjir lahar dan tanggap darurat yang terjadi pada 2009, mendorong pengurus dan relawan merancang program agar warga mampu mengatasi masalah mereka. Saat itu, ada pendampingan untuk 3 komunitas ialah warga Dusun Sumbersuko, Desa Asmoro Bangun; Dusun Kapasan, Desa Gadungan, keduannya berada di Kecamatan Pare serta Dusun Sumberdono, Desa Pare, Kecamatan Pare. 
 
Wilayah dampingan tersebut berada di lokasi yang mengalami dampak aktivitas Gunung Kelud. Gunung Kelud memang dikelilingi oleh beberapa gunung, ialah: Gunung Gajah Mungkur dan Gunung Umbuk yang lebih tinggi dan besar. Di bagian Selatan ada Gunung Sumbing yang menyerupai alat gamelan. Pasca terjadi letusan, ancaman yang potensial ialah banjir lahar. Ketika tahun 2007 Gunung Kelud mengalami erupsi kecil, dampak aliran lahar pada tahun 2009 melumpuhkan daerah di kawasan aliran lahar, mengalirkan lumpur dan aneka material seperti kayu dan batu, serta memporak-porandakan pipa air bersih.
 
Pasca erupsi, ancaman sekunder yang perlu diantisipasi ialah banjir lahar. Banjir lahar dalam sejarah, meluap hingga ke pemukiman warga di sekitar Kabupaten Kediri dan Blitar. Luapan aliran lahar atau letusan abu vulkanik, memang terhalang oleh Gunung Gajah Mungkur dan Sumbing, sehingga derasnya  sedikit tertahan. Namun perlu dicermati karakter aliran lahar Gunung Kelud mengarah ke arah Barat Laut melewati Dusun Pulo, lalu ke Trisulo, Dermo, Sidorejo sampai ke Sungai Brantas. Sedangkan di arah Utara berawal dari Dusun Laharpang mengarah ke Puncu, Parang Agung, Lestari, Sumbersuko, Kapasan dan Sumberdono. Tetapi bila volume lahar meluber, aliran lahar berlanjut ke Sungai Mangli mengarah ke Dusun Satak. Aliran lain mengarah ke Timur Laut menuju Dusun Besowo, Siman, Damarwulan sampai Kandangan. Aliran lahar yang mengarah ke Selatan ada dua jalur ialah ke arah Dusun Kali kuning, Kali badak menuju Nglegok dan Ponggok. Sementara yang lain mengalir ke Dusun Kali Putih berlanjut ke arah kota Blitar.
 
Berdasarkan pengalaman masyarakat yang terekam dalam dokumentasi Karina Surabaya, sejak masa pendampingan Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Masyarakat (PRBOM) serta Masa Tanggap Darurat dan Pemulihan pasca erupsi, ada beberapa fakta sebagaimana tersaji di bawah ini:
 
Dusun Satak
 
Warga Satak berjumlah 1.100 jiwa yang terdiri dari sekitar 700 kk. Ada 4 RW yakni Sumber, Pulo, Nobo, Yani I dan Yani II. Dusun Yani I terletak paling dekat dengan perkebunan. Wilayah ini merupakan wilayah paling parah diterjang kerikil dan abu vulkanik ketika erupsi Februari 2014 lalu. Dusun ini terletak dalam radius 11 km dari Kelud. Di Yani I terdapat 10 RT, dengan rata-rata 40 kk.
 
Semua anggota masyarakat Satak adalah pekerja di perkebunan milik negara. Sesuai perjanjian, warga diberi kesempatan untuk menempati rumah di atas tanah milik perkebunan. Tetapi warga hanya memiliki hak guna pakai, bukan hak milik.  Warga diberi wewenang untuk mengelola lahan perkebunan lewat tumpang sari. Tanah tetap milik perkebunan. Tanaman kopi tetap menjadi milik perkebunan, namun tanaman di sela-sela kopi dapat dimiliki warga. Selama ini mereka  menanam cabe.  Mereka harus mengeluarkan dana sendiri untuk mengolah lahan, membeli bibit dan pupuk. Namun ketika panen,  hasil 20% untuk perkebunan dan 80% untuk petani penggarap.
 
Dalam perkembangan, cukup banyak warga yang tidak memiliki dana untuk mengolah lahan, membeli bibit dan pupuk. Mereka terpaksa menjual lahan garapan kepada orang lain. Mereka justru bekerja sebagai buruh tani dan mendapatkan pendapatan dari pihak pengelola lahan perkebunan. Perkebunan juga mengalokasikan lahan bagi warga untuk kandang ternak. Satak identik dengan kampung ternak. Semua ternak ditempatkan dalam satu lokasi di dekat pemukiman warga. Kondisi ini membuka peluang bagi warga yang tidak mempunyai ternak. Mereka menjadi buruh peternak, mencari makan ternak dengan sistem bagi hasil.
 
Ketika terjadi letusan Gunung Kelud, seluruh lahan perkebunan di Satak, tertutup pasir dan kerikil vulkanik. Berdasarkan pengakuan beberapa pengurus RT yang mengalami bencana, mereka kurang memahami manajemen bencana. Selain itu, tidak ada koordinasi dengan Desa atau Kecamatan berkenaan dengan pendataan anggota masyarakat. Pengalaman masa tanggap darurat, tidak ada koordinasi untuk melakukan evakuasi warga.  Dalam waktu sekitar 8 bulan pasca erupsi, mereka memperkirakan kesulitan mendapatkan penghasilan memadai karena lahan tidak bisa ditanam. Tak heran, ada warga yang terpaksa menjual ternak untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.  Dalam waktu 4 bulan setelah erupsi, diperkirakan memasuki musim kemarau. Mereka akan kesulitan mendapatkan makan ternak. Sesuai pengalaman selama ini, warga akan lebih banyak menghabiskan waktu di hutan untuk mencari rumput bagi ternak.
 
Dusun Sumbersuko
 
Masyarakat Sumbersuko menggantungkan hidup pada  pertanian cabe memakai lahan milik perkebunan. Hasil panen juga dibagikan dengan perkebunan dengan pembagian 20 % untuk perkebunan dan 80 % untuk petani penggarap. Mereka juga menggantungkan hidup pada ternak sapi dan kambing. Ketika terjadi bencana, lahan garapan  memang tertumpuk pasir, namun tidak terlalu parah.  Setelah hujan, lahan pertanian segera pulih. Kondisi ternak mereka sudah tertangani. Sebelum bencana, ternak yang ada di Sumbersuko sudah diungsikan ke tempat yang aman, sehingga tidak terlalu masalah.
 
Dusun Sumbersuko sebenarnya memiliki Organisasi Masyarakat (OM) yang diinisiasi oleh relawan Karina. Penduduk Sukomoro terdiri 1 RW dengan 4 RT dengan jumlah sekitar 300 kk atau 267 rumah. Namun ketika terjadi bencana, OM tidak bisa bekerja maksimal. Karena peringatan bencana hanya dalam waktu satu jam. Mereka pun terdampak erupsi, sehingga tidak ada yang mengkoordinir. Memang kehidupan di dusun ini sudah lebih baik, namun kehadiran OM akan membantu masyarakat menghadapi bencana sekunder yang masih mungkin terjadi.
 
Pasca erupsi, kesulitan yang dirasakan menonjol ialah modal untuk mengolah lahan, membeli pupuk dan membeli pestisida untuk memulihkan tanaman cabe.  Mereka sebenarnya merindukan kehadiran lembaga keuangan mikro, sehingga memberikan dukungan keuangan pada saat musim tanam. Saat ini, ketika musim tanam tiba, mereka tidak memiliki modal cukup untuk mengolah lahan. Karena dana diprioritaskan untuk memperbaiki rumah dan membeli kebutuhan setiap hari. Kehadiran lembaga keuangan mikro diharapkan menjadi tempat untuk menabung dan mengusahakan dana cadangan ketika menghadapi bencana. 
 
Dusun Sukomoro
 
Dusun ini berada di radius sekitar 4–5 km dari Gunung Kelud. Dusun Sukomoro memiliki 3 RT. Jumlah penduduknya, RT 1 berjumlah 54 kk, RT 2 berjumlah 60 kk, RT 3 sebanyak 56 kk. Kondisi sosial ekonomi masyarakat Sukomoro pasca erupsi terhitung sangat sulit. Ladang belum bisa diolah karena tertumpuk pasir yang tebal. Kondisi seperti ini membutuhkan pengolahan secara manual. Memang mayoritas warga menggarap lahan milik perkebunan. Mereka menanam cabe dengan sistem tumpang sari di antara kebun kopi. Dalam kondisi demikian, mereka mengandalkan usaha ternak. Pasca erupsi memang ada sebagaian ternak yang dijual karena tidak tersedia pakan ternak yang memadai. Rumput sebagai pakan belum tumbuh baik karena tumpukan pasir.  Hasil penjualan ternak, digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.  Mereka belum memiliki kemampuan untuk mengolah pangan ternak alternatif pasca bencana sekitar 3–5 bulan ke depan. Sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka menjual ternak dan menunggu waktu yang tepat untuk mengolah lahan lagi.
 
Salah satu bagian dari Sukomoro ialah Dusun Laharpang. Dusun ini memiliki 46 kk dengan 153 jiwa. Di Laharpang ada tokoh sentral, ialah Bp. Barkah. Ia setiap hari keluar masuk hutan sebagai petani yang menggarap lahan milik perkebunan.  Ia merupakan orang kunci yang pemberi informasi ketika Gunung Kelud aktif.  Pengalaman selama tinggal di dekat gunung membuatnya memiliki kemampuan mendeteksi perkembangan aktifitas Gunung Kelud. Beberapa saat setelah terjadi erupsi, ia berperan memberikan informasi kepada warga, bahkan menginstruksikan untuk segera meninggalkan Laharpang. Dusun Sukomoro dan Laharpang merupakan lokasi paling parah ketika terjadi bencana. Pasca erupsi, warga perlu difasilitasi sehingga mampu mengelola pengalaman dan menjadikan peristiwa erupsi sebagai pelajaran di masa mendatang. Kehadiran OM akan menjadi sarana yang memperkuat masyarakat dalam merumuskan aneka aksi nyata yang perlu, dalam mengantisipasi dan menghadapi bencana di masa yang akan datang.
 
Dalam catatan pelaksanaan PRBOM di Sukomoro pada tahun 2012 lalu, telah terbentuk OM Sumber Alam. Tanggapan warga begitu besar sehingga terpilih pengurus yang diketuai Bp. Subur. Hal ini karena warga menyadari daerah mereka rawan bencana, berada di  lereng Gunung Kelud kawasan ring I-III. Pada pengalaman bencana lahar dingin tahun 2008 lalu, banyak bantuan mengalir dari organisasi atau LSM melalui pemerintah tetapi tidak sampai kepada masyarakat dan tidak merata. Inilah yang menjadi pelajaran sehingga mereka terlibat dalam menangani bencana. Selain itu, di masa lalu di Sukomoro pernah ada pos pantau Gunung Kelud dan aliran lahar hasil swadaya masyarakat, tetapi pos tersebut dirobohkan karena seorang anak kecil pernah jatuh.(bersambung)