31 Maret 2009

Situ Gintung Sekedar "Force Majeure"


Jebolnya tanggul Situ Gintung di Tangerang Selatan, Banten, 27 Maret 2009 dini hari yang menewaskan puluhan penduduk di sekitarnya, dipahami seorang pemimpin daerah di wilayah tersebut sebagai musibah.

Ketika ditanya siapa yang harus bertanggung jawab atas peristiwa tragis pada Jumat subuh itu, dia balik bertanya, siapa pula yang bertanggung jawab atas peristiwa tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias pada akhir 2004?

Perbincangan yang disiarkan secara langsung oleh sebuah stasiun televisi swasta pada Sabtu petang, 28 Maret 2009, itu kemudian menyodorkan simpulan kedua bahwa kita tak terbiasa mengayun langkah antisipatif atas suatu peristiwa yang disebut ”bencana alam”. Yang sering terjadi adalah langkah reaktif setelah bencana alam terjadi dan memakan korban.

Padahal, dalam konteks jebolnya tanggul Situ Gintung, dua tahun sebelum peristiwa, misalnya, warga pernah meminta perbaikan tanggul tersebut (Kompas, 28/3). Apalagi, Pasal 33 Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana mengamanatkan bahwa tahapan penanggulangan bencana meliputi prabencana, saat tanggap darurat, dan pascabencana. Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada tahapan prabencana, menurut Pasal 34, meliputi situasi tidak terjadi bencana dan dalam situasi terdapat potensi terjadinya bencana.

Kalau kita meminjam paradigma Johan Galtung, sosiolog kelahiran Oslo, Norwegia, 24 Oktober 1930, bila upaya mengantisipasi itu tak dilakukan secara sungguh-sungguh—apalagi tanpa upaya antisipasi—kekerasan terhadap masyarakat telah terjadi.

Galtung memang menerjemahkan kekerasan secara sangat luas. Baginya, kekerasan juga bisa muncul jika manusia dipengaruhi sedemikian rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi potensialnya. Bila wawasan, sumber daya, dan hasil kemajuan disalahgunakan untuk tujuan lain atau dimonopoli segelintir orang saja, ada kekerasan dalam sistem itu. Artinya, Galtung menegaskan adanya kekerasan bila potensi untuk menepis terjadinya kekerasan itu tak dilakukan.

Kelalaian Negara
Pandangan Galtung dapat diterapkan untuk bencana alam, seperti banjir, badai, gempa bumi, dan gunung meletus. Bencana alam memang tak dapat dipasti- kan datangnya, tapi dapat dipre- diksi dengan memanfaatkan tek- nologi. Kalau kondisi-kondisi yang secara langsung atau tidak langsung dapat memicu terjadi- nya bencana alam kurang atau ti- dak diantisipasi atau bahkan di- biarkan, kekerasan pun dimulai.

Karena itu, Galtung menekankan pentingnya memelihara keseimbangan alam. Eksploitasi alam tetap harus mempertimbangkan keseimbangan ekologis. Korupsi menjadi salah satu hal yang disebut Galtung dapat merecoki upaya menjaga keseimbangan ekologis. Sarana dan prasarana untuk mengantisipasi bencana alam, misalnya, menjadi tak memadai atau bahkan tak tersedia hanya karena korupsi.

Perspektif Galtung dalam melihat bencana alam itu menjadi sangat relevan untuk Indonesia karena negeri ini memang rawan bencana alam. Tapi, sayangnya, cara pandang kita tentang bencana alam sangat sederhana. Bencana alam adalah musibah yang berada di luar kehendak manusia. Force majeure. Titik. Sejak zaman baheula hingga jebolnya tanggul Situ Gintung, semuanya cenderung hanya dilihat sebagai force majeure. Ketika Pemerintah Indonesia seperti tak pernah mampu belajar dari pelbagai bencana alam itu, termasuk dalam menyiapkan sistem peringatan dini yang efektif, kita seperti tak melihat ada yang salah dengan semua itu.

Fenomena seperti itu mencerminkan bahwa kita tak terbiasa memahami kekerasan secara luas. Kekerasan cenderung dipahami secara tradisional: kekerasan orang terhadap orang secara langsung. Kelalaian negara, kekerasan kebudayaan atau alam yang sebenarnya dapat diantisipasi atau dikendalikan orang seperti tak disadari sebagai kekerasan.

Karena itu, peristiwa mengenaskan akibat jebolnya tanggul Situ Gintung selayaknya dijadikan momentum untuk membiasakan langkah antisipatif ketimbang langkah reaktif, apalagi langkah reaktif yang temporal dan spasial. Class action selayaknya diupayakan untuk menekan penguasa supaya membiasakan diri dengan langkah antisipatif tersebut. Sebab, selama ini, ketika bencana alam hanya dipahami sebagai musibah, upaya menggugat penguasa secara hukum seperti tertutup.

Dari delapan hak yang diberikan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007, tak satu pun yang berbicara tentang hak class action. Undang-undang tersebut memang tak memberikan ruang bahwa bencana alam bisa saja terjadi karena kelalaian penguasa (baca: pemerintah), termasuk aparatnya. Masyarakat pun pasrah saja bila bencana alam terjadi karena kelalaian pemerintah. (Iwan Gunadi Peminat Sosial-Budaya yang Tinggal di Tangerang, Kompas, 31/3/2009)