21 Maret 2013

Dialog Pencegahan Terorisme


Pemerintah Propinsi Jawa Timur didukung oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengadakan Dialog Pencegahan Terorisme. Kegiatan bersamaan dengan Rapat Koordinasi Pencegahan Terorisme dalam rangka pembentukan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme diadakan  di Garden Palace Hotel pada 20-21 Maret 2013. Kegiatan tersebut rangkaian kunjungan BNPT ke propinsi di seluruh Indonesia sebagai bagian dari strategi nasional pencegahan terorisme dan implementasi pencegahan terorisme di daerah. Hadir dalam acara itu unsur terkait pemerintah Propinsi Jawa Timur, kepala BNPT, deputi dan direktur bidang BNPT, para tokoh agama, organisasi sosial kemasyarakatan, perguruan tinggi dan media masa.

Mayjend Agus Surya Bakti, Deputi I bidang pencegahan, perlindungan dan diredikalisasi BNPT dalam paparan tentang strategi nasional pencegahan terorisme menjelaskan bahwa terorisme bukan suatu pemahaman terhadap ajaran tertentu. Undang-Undang No. 15 tahun 2003 menyebutkan bahwa terorisme adalah setiap orang atau kelompok yang sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban masal atau kehancuran terhadap obyek vitas, lingkungan hidup, fasilitas publik atau internasional.

Anggota Kopasus itu menyebutkan fakta serangkaian aksi teror dalam 2 tahun terakhir sangat mencemaskan. Fakta empiris tersebut menunjukkan eksistensi jaringan kelompok radikal terorisme. Mereka telah menjadikan kepentingan nasional dan aparat negara sebagai musuh. Kelompok teroris telah menjadikan anak muda sebagai target pelaku teror. Peningkatan pemanfaatan dunia maya dalam rangka propaganda, perekrutan, komunikasi informasi dan pendanaan terus berkembang. Perekrutan pemuda melalui rumah ibadah, lembaga pendidikan kegamaan, kampus dan sekolah menjadi salah satu modus. Semangat kebangsaan yang semakin melemah, modernisasi dan merosotnya nilai kearifan lokal, pencegahan radikal terorisme yang belum terintegrasi membuat ideologi radikal terorisme menjadi ancaman serius bagi masa depan bangsa.

Pemerintah berusaha bertindak tegas dengan mengedepankan penegakkan hukum kepada pihak yang terlibat dalam aksi teror. Sejak tahun 2000 sampai November 2012 tercatat menangkap 810 tersangka teror, sementara 77 terduga teroris meninggal di tempat kejadian perkara. Namun pendekatan ini lemah karena belum menyelesaikan akar masalah ialah ideologi radikal terorisme.

BNPT sesuai dengan Perpres No. 12 tahun 2012 memiliki kewenangan untuk menyusun, kebijakan, strategi dan menjadi koordinator pencegahan perlindungan, deradikalisasi dan penindakan serta penyiapan kesiapsiagaan nasional. Strategi pencegahan ialah deradikalisasi kepada kelompok inti dengan melakukan sinergi para tokoh agama dan akademisi serta kontra radikalisasi kepada seluruh elemen masyarakat, organisasi masyarakat dan lembaga pendidikan keagamaan. Sementara impelementasi program pencegahan dilakukan dengan membentuk Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme. Forum tersebut mensinergikan unsur pemerintah, tokoh masyarakat, agama, pemuda dalam mencegah penyebaran ideologi dan berkembangnya kelompok radikal terorisme.

Dr Ahmad Syafii Mufid dalam paparan tentang Perkembangan jaringan radikal di Indonesia memaparkan data demografi, pola dan motivasi responden teroris. Kota Jakarta, Luwuk dan Ambon merupakan lokasi perekrutan anggota teroris paling tinggi. Sementara Kota Surabaya berada di urutan kesembilan. Dari segi umur, sebagian besar teroris berusia antara 21-30 tahun. Dari segi pendidikan, mereka kebanyakan lulusan sekolah menengah tingkat atas, disusul alumnus perguruan tinggi. Justru yang paling sedikit adalah lulusan sekolah atau perguruan tinggi keagamaan. Berkenaan dengan motivasi mereka bergabung dengan kelompok teroris secara berurutan yang paling dominan karena motivasi ideologi keagamaan, persaudaraan, mentalitas gerombolan, balas dendam, situasional dan separatis.

Prof. Dr. Abd. A’la, MA dalam tinjauan agama dan pendidikan menjelaskan bahwa agama telah dijadikan justifikasi melakukan aksi yang menghancurkan. Ancaman, pengrusakan atau pembunuhan dikonstruksi sebagai implementasi ajaran agama yang akan diganjar dengan pahal berlipat ganda. Hal semacam ini ditanamkan secara kuat sehingga menjadi suatu bara api yang sulit mati. Dalam situasi tersebut, agama perlu dikembalikan kepada ajaran yang otentik sebagai sumber moralitas luhur. Agama perlu dilepaskan dari tarikan kepentingan sempit kelompok, apalagi sebagai justifikasi melakukan kekerasan. Agama perlu dilabuhkan ke dalam misi kesejehteraan hidup, ke dalam realitas konkret melalui substansi ajaran yang hakiki dan tidak sepotong-sepotong.

Penguatan dan pembumian ajaran agama akan mempersempit perkembangan terorisme. Pendidikan tidak bisa lagi sebagai proses pembelajaran, tetapi menjadi proses yang mengantarkan manusia untuk to have dan to be, membentuk jati diri manusia yang bersumber dari moralitas luhur agama, nilai kemanusiaan universal dan kearifan lokal. Selain itu pemerintah perlu menguatkan komitmen menegakkan keadilan dan kesejahteraan. Mengutip Dom Helder Camara, Guru besar bidang Ilmu sejarah pemikiran politik Islam, IAIN Sunan Ampel Surabaya itu mengatakan ketidakadilan dan keterbelakangan merupakan pemicu terjadinya kekerasan yang dapat berkembang menjadi aksi teroris.

Semetara itu, Irjen Pol (Pur) Ansyaad Mbai, Kepala BNPT menilai hampir semua daerah terancam aksi teror. Namun, di Jawa Timur lebih aman dan kondusif dari pengaruh terorisme. "Mungkin tradisi dan agamanya sangat kuat. Serta tokoh agama atau ulamanya banyak yang moderat," jelasnya. (RUB/ALW)