28 Januari 2013

Berbelarasa dan Berpola

 
Karina Keuskupan Surabaya atau Kariyo kembali mengadakan pelatihan peningkatan kapasitas relawan. Bertempat di Ubaya Training Center, Trawas, Mojokerto, 35 peserta dari 15 paroki rawan bencana mengikuti pelatihan yang berlangsung selama 3 hari. Peserta yang hadir dalam pelatihan ini merupakan perwakilan Seksi Sosial paroki dan relawan muda paroki di Keuskupan Surabaya. Pelatihan yang berlangsung dari tanggal 18-20 Januari 2013 dilaksanakan dalam rangka peningkatan kapasitas para  relawan yang selama ini terlibat dalam aktivitas kebencanaan.

Beberapa paroki di luar Kevikepan Surabaya (kota) merupakan wilayah dengan tingkat ancaman bencana cukup tinggi. Bencana yang kerap muncul adalah banjir, tanah longsor dan gunung berapi. Beberapa titik wilayah Keuskupan Surabaya merupakan daerah terdampak banjir atau Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo. Daerah dengan tingkat ancaman cukup tinggi meliputi Bojonegoro, Cepu dan Lamongan. Sedangkan titik ancaman gunung berapi ada di Kevikepan Kediri dan Blitar. Sedangkan lokasi dengan ancaman rawan longsor di Kawasan Madiun, Ponorogo, Pacitan, Trengalek dan sekitarnya.

Didampingi fasilitator dari Karina KWI dan Kariyo, pelatihan ini menjadi kesempatan berbagi pengalaman antar para relawan. Pengalaman respon tanggap darurat yang terjadi di tingkat paroki dibagikan di antara para relawan. Salah satu pengalaman menarik ialah respon tanggap darurat. Pada saat tanggap darurat, relawan kerap menghadapi pembajakan bantuan serta klaim bantuan oleh pihak lain. “Bantuan yang telah disiapkan di paroki untuk wilayah tertentu, ketika dikirim tidak sampai lokasi yang dimaksud karena  “dibajak” di tengah jalan oleh kelompok pengungsi lainya” begitu pengakuan Bp. Aris dari Paroki St. Wilibrordus, Cepu. Ada pula pengalaman lain, "Ketika kami sudah menyiapkan bantuan, ternyata sudah banyak posko dengan bendera aneka kelompok yang menghadang. Mereka meminta bantuan untuk diserahkan kepada mereka" kata Bp. Bambang dari Paroki St. Maria dengan Tidak Bernoda Asal, Tulungagung.
 
Kasus “pembajakan” bantuan ini  memang kerap terjadi dalam situasi darurat. Untuk meminimalisir situasi seperti ini diperlukan treatment khusus, sehingga bantuan tepat sasaran. Treatment ini dipelajari bersama dalam sesi Kajian Tanggap Darurat (assesment) , di mana setiap relawan perlu melakukan kajian tentang situasi bencana untuk memastikan kondisi, kebutuhan, sumberdaya, bantuan serta informasi terkait penyaluran bantuan. Hasil kajian inilah yang menjadi tahap awal respon tanggap darurat.  Hasil kajian ini juga menjadi bahan penyusunan Sitrep (Situation Report) yang akan menjadi informasi  pengambilan keputusan  go or not go, serta  panduan bagi pihak lain yang akan terlibat membantu.

Selain mempelajari  Kajian Tanggap Darurat dan Sitrep, peserta juga dikenalkan dengan  materi Sphere, Manajeman Keuangan Tanggap Darurat, Distribusi dan Logistik serta Kode Etik Pekerja Kemanusiaan.  Sphere atau Standar Minimum Respon Kemanusiaan merupakan pegangan yang berisikan pertimbangan dalam mengawal kualitas dan akuntabilitas dalam respon kemanusiaan.  Standar Sphere merupakan kitab yang diakui dan dipakai oleh semua lembaga kemanusiaan berstandard internasional.  Dengan mengenal  Sphere relawan diharapkan mampu memahami standar minimum bantuan, misalnya dalam hal pasokan air, sanitasi, ketahanan pangan dan gizi, pada saat melayani masyarakat terdampak bencana.
 
Semua materi pembelajaran dalam pelatihan ini, kemudian diujicobakan dalam proses simulasi. Proses simulasi, selain melihat daya serap materi pembelajaran peserta juga untuk mendekatkan relawan dengan situasi darurat. Dengan memakai skenario situasi banjir Bengawan Solo, peserta dibagi dalam berberapa paroki. Peserta mempraktekan hasil pembelajaran yang telah didapat. Proses yang berlangsung selama 3 jam ini dijalankan dengan penuh kesungguhan dan bersemangat oleh peserta. Rangkuman materi dalam simulasi, menjadi pembelajaran bersama, bahwa dalam respon tanggap darurat membutuhkan pola dan tindakan yang sistematis. Hal itu demi meminimalisir resiko dan menjaga mutu serta akuntabilitas kerja kemanusiaan.

Selain mengirimkan perwakilan Seksi Sosial paroki, ada beberapa orang muda. Sebagian besar paroki mengirimkan relawan muda yang pernah dan akan dilibatkan dalam respon kebencanaan di tingkat paroki.  Kehadiran relawan muda dalam respon tanggap darurat bencana adalah sebuah kemajuan yang patut ditumbuhkembangkan. Jiwa kerelawanan yang tumbuh dikalangan orang muda perlu diberi perhatian khusus dengan peningkatan kapasitas serta spriritualitas. Di tengah suasana apatis orang muda, munculnya kelompok relawan merupakan tanda baik bagi karya pelayanan Gereja di masa depan. Salam belarasa. (ANY).