07 Juli 2008

Gelombang Baru Pemiskinan

Berapa banyak orang miskin di negara kita? Badan Pusat Statistik (BPS) menyodorkan angka 37 juta pada tahun 2007 atau 16,5 persen dari populasi. Sebelumnya, dengan standar berbeda, Bank Dunia menyodorkan angka lebih dari 100 juta jiwa atau hampir 50 persen populasi. Apakah standar Bank Dunia terlalu tinggi? Apakah standar BPS sudah layak untuk memanusiakan manusia Indonesia?

Kita lupakan dulu polemik ini. Yang pasti, pada saat ini masa depan memang sedang sangat suram bagi semua orang miskin di Indonesia. Gelombang kekelaman baru sedang menghampiri semua kaum papa di dunia, tak terkecuali di Indonesia.

Sialnya bagi kaum miskin di Indonesia, mereka sudah terkoyak-koyak selama 10 tahun terakhir oleh krisis ekonomi berkepanjangan. Sekarang, gelombang krisis panjang kedua sedang tiba. Jutaan warga bangsa segera menyongsong hilangnya harapan terakhir kehidupannya.

Tak terbayangkan kelompok yang paling miskin akan mampu menanggung beban tambahan demikian berat yang sedang terjadi. Dalam tiga tahun terakhir, khususnya pada satu tahun ini, harga beras melonjak luar biasa. Satu kilogram beras kualitas biasa harganya sekarang sekitar Rp 5.500-7.000, naik hampir dua kali lipat. Kedelai naik jauh lebih tinggi dan memaksa banyak produsen tahu dan tempe gulung tikar.

Harga gandum, jagung, gula, minyak goreng, telur, susu dan bahan makanan pokok lainnya terus meningkat. Kenaikan rata-rata bahan pangan pokok di dunia dalam tiga tahun terakhir mencapai 80 persen.

Kekacauan harga-harga pangan ini masih belum akan berakhir. Harga-harga pangan diproyeksikan terus melonjak pada tahun depan, antara lain akibat terus membubungnya harga minyak. Harga-harga kebutuhan sekunder yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari, seperti sabun, pasta gigi, kopi, kecap, listrik, air bersih, kebutuhan sekolah, dan obat-obatan juga melonjak dengan cepat.

Pada akhir bulan ini, harga bahan bakar minyak akan naik sekitar 30 persen. Tak terhindarkan lagi, gelombang baru lonjakan harga-harga akan terjadi lagi pada bulan-bulan mendatang. Apa dampaknya bagi mereka yang berada di kelompok bawah kehidupan?

Pemerintah sedang menyiapkan penyaluran bantuan langsung tunai (BLT) plus bagi mereka yang paling miskin. Sekitar Rp 20 triliun dari Rp 35 triliun yang akan dihemat dari berkurangnya subsidi BBM akan digelontorkan bagi 19,1 juta keluarga miskin agar mereka dapat bertahan. Tambahan Rp 100.000 per bulan dikalkulasi akan menutup tambahan biaya transportasi bulanan. Tambahan lima kilogram beras untuk orang miskin (raskin) dan minyak goreng diharapkan meringankan pengeluaran.

Hari-hari Kelam
Tetapi, bagaimana dengan beban pengeluaran akibat kenaikan semua barang dan jasa lainnya? Apa yang segera akan dikorbankan lebih dulu?

Pilihan bagi keluarga miskin tak akan jauh dari menurunkan kuantitas dan kualitas makanan keluarga yang sudah sangat sederhana, dan memotong pengeluaran untuk pendidikan anak. Yang pasti, para bapak di keluarga paling miskin sekali pun masih sulit diajak memotong anggaran konsumsi rokok atau kenikmatan pribadi lainnya.

Bagi keluarga sangat miskin, makin tak terbayangkan menyediakan susu untuk anak-anak balitanya. Bagaimana mereka dapat mengeluarkan Rp 100-200 ribu sebulan hanya untuk susu? Bagi ibu-ibu yang kesulitan memberi air susu ibu (ASI) bagi bayinya, hari-hari kelam ada di depan mata, karena harga susu untuk anak di bawah dua tahun tak terjangkau lagi.

Dengan turunnya kuantitas dan kualitas asupan pangan bagi keluarga miskin, khususnya bagi anak-anak, dapat dipastikan tingkat nutrisi jutaan anak Indonesia akan segera merosot. Satu gelombang generasi yang hilang akan kembali terjadi, seperti apa yang telah terjadi akibat krisis ekonomi 10 tahun lalu.

Biaya transportasi anak sekolah juga merupakan pos pengeluaran yang sangat memberatkan keluarga miskin, apalagi bagi anak remaja yang sekolahnya makin jauh dari rumah. Banyak orangtua akan segera menyerah dan terpaksa menghentikan sekolah anak-anaknya. Banyak anak-anak akan terpaksa bekerja untuk meringankan beban keluarga.

Biaya kuliah di perguruan tinggi, bahkan perguruan tinggi (PT) negeri sekalipun telah melonjak menjadi puluhan juta rupiah bahkan lebih Rp 100 juta. Mana ada lagi keluarga miskin yang akan dapat mengantar anak-anaknya menjadi sarjana?

Pada minggu-minggu terakhir, kita mulai membaca kasus ibu-ibu yang bunuh diri bersama anaknya, karena tidak mampu lagi menghidupi anaknya secara minimal sekalipun. Pada bulan-bulan mendatang, kisah-kisah tragis seperti ini akan makin banyak bermunculan.

Pemerintah telah mencanangkan tiga kluster upaya mengurangi kemiskinan, yaitu perlindungan sosial (termasuk penyaluran BLT dan raskin), pemberdayaan masyarakat dan penguatan usaha kecil-menengah. Di atas kertas, dengan tambahan penghematan subsidi akibat kenaikan BBM, tahun ini saja ada sekitar Rp 80 triliun yang akan dikucurkan untuk tiga upaya besar ini.

Persoalannya, apakah semua upaya ini dapat dilaksanakan secara tepat sasaran dan tanpa kebocoran? Terus terang, dengan semangat korupsi yang masih tak kunjung padam dan tingkat kesungguhan yang masih rendah pada tataran pelaksana, sulit berharap terjadi terobosan bagi kaum miskin. Tampaknya, mereka - entah 37 atau 100 juta lebih - akan masih terus dirundung kemalangan tak berujung. Alih-alih berkurang, jumlah orang miskin justru bisa melonjak tak terkendali. (Prihadi Saptohadi, Direktur Nasional Organisasi Kemanusiaan World Vision International-Indonesia)