18 September 2011

Kunjungan Caritas Belgia Ke Pare Dan Madiun



Kegiatan Pengurangan Resiko Bencana yang menjadi program kegiatan Karina Keuskupan Surabaya ternyata memiliki nilai strategis. Inti kegiatan tersebut ialah agar masyarakat yang hidup di kawasan rawan bencana, membekali diri untuk mampu mengurangi resiko, apabila menghadapi bencana. Kegiatan tersebut selain bentuk kegiatan di luar masa tanggap darurat, turut meningkatkan kapasitas relawan Karina dan memberi dampak yang baik bagi warga dampingan. Kegiatan itu mendapat kunjungan dari perwakilan Caritas Belgia selama berada di wilayah Keuskupan Surabaya, 7-8 September 2011. Kunjungan juga digabung dengan pertemuan bersama Caritas Maumere. 

Setiba di Bandara Juanda, Mr. Dominic Verhoeven, staf kantor pusat Caritas Belgia dan Mr. Joeri Leysen, perwakilan Caritas Belgia di Asia, tampak antusias. Mereka ingin mendengar secara langsung kegiatan yang dilakukan oleh Karina Surabaya. Rm. A. Luluk Widyawan, Pr didampingi staf dan relawan Karina, Bp. Edi Locke, Ibu Emilia Susan, Fina UP dan Heri Risdianto, membeberkan situasi Jawa Timur di mana Keuskupan Surabaya berada. Selain itu disampaikan pula informasi seputar kegiatan sosio-pastoral Gereja,  program dan kegiatan, khususnya tentang Pengurangan Resiko Bencana. Karina Surabaya sebagai bagian dari Komisi PSE Keuskupan Surabaya dalam program dan kegiatannya selalu mengarusutamakan prioritas program Ardas ialah, pemberdayaan lembaga keuangan mikro / Credit Union dan pemberdayaan kewirausahaan petani dan kaum muda.

Sementara itu, Pater Klaus Naumann, SVD dari Caritas Maumere memperkenalkan program penguatan kapasitas masyarakat dalam bidang pertanian. Mereka hendak mengadakan program pendampingan komunitas petani coklat yang selama ini tidak memiliki pengetahuan dan ketrampilan dalam mengelola kebun. Harapannya, setelah ini ada program pendampingan atas kerjasama Caritas Belgia dan VECO, sehingga hasil panen meningkat. Petani diharapkan pula menggarap pasar agar hasil petani tidak dipermainkan oleh tengkulak. Pertemuan tersebut diakhiri dengan santap siang bersama.

Di Pare

Sesudah itu, rombongan menuju ke Pare. Setelah singgah beberapa menit di Pastoran St. Mateus, Pare bersama relawan dari Posko Paroki yang dikoordinir FA. Yunianto, rombongan langsung menemui warga di Desa Sumbersuko. Ketika bertemu dengan tokoh masyarakat di sana, Joeri dan Dominic menanyakan pengalaman warga tentang situasi yang dialami ketika terjadi bencana. Ternyata ada early warning system warga dengan cara memukul kenthongan (alat musik bambu) untuk memberi tanda agar mencari tempat yang aman.

Mereka pun memiliki kearifan lokal berupa kisah yang diyakini secara turun temurun. Mereka menunjuk tempat di seberang sungai kering nan lebar, yang disebut berada di wilayah Kerajaan Majapahit sebagai tempat yang aman jika terjadi letusan dan aliran lahar Gunung Kelud. Warga juga memilki referensi dari alam untuk mengetahui akan terjadi letusan atau tidak. Apabila berbagai jenis binatang liar dari gunung turun ke kebun warga, ini merupakan tanda alamiah agar warga segera mencari tempat yang aman. Kedatangan binatang liar tersebut menjadi tanda akan terjadi bencana. Joeri dan Dominic langsung melihat lokasi aman yang hanya dipisahkan oleh sebuah sungai kering. Sungai kering ini merupakan jalan mengalirnya lahar. Warga mengisahkan bahwa saat lahar dingin menerpa pada tahun 2008 lalu, mereka mengalami kesulitan air bersih, karena sumber air dan pipa penampungan diterpa lahar. Mereka mendapat bantuan dari Karina Posko Pare, karena bantuan yang ada tidak menjangkau tempat tinggal mereka.

Rombongan melanjutkan kunjungan ke Desa Gadungan. Desa ini posisinya ada di antara aliran lahar yang mengalir dari lokasi atas, dengan lokasi yang lebih bawah. Warga mengalami dampak aliran lahar dingin berupa aneka material dari gunung yang menumpuk, mengakibatkan endapan lumpur dan mengisolasi jalan serta menghancurkan rumah. Seorang ibu tokoh masyarakat Gadungan, mengakui peran Karina Posko Pare yang saat itu membantu. Relasi inilah yang mengantar mereka menyambut baik, ketika ada tawaran pelatihan. Masyarakat mendapatkan pengenalan tentang menghadapi bencana, termasuk pengetahuan dan ketrampilan mengorganisasi warga, bantuan maupun dukungan dari lembaga pemerintah. Dengan demikian mereka kelak lebih siap jika menghadapi bencana sehingga resiko dapat dikurangi. Namun hal itu ditanggapi Joeri secara kritis dengan pertanyaan, apakah yakin jika suatu ketika terjadi bencana besar, masyarakat mampu meminimalkan korban ? Ibu tersebut hanya tersenyum sambil mengucapkan "Pasrah, berserah kepada Allah"

Perjalanan di Pare berakhir dengan kunjungan ke Desa Sumberdono. Desa Sumberdono merupakan tempat paling bawah dan akhir dari aliran lahar Gunung Kelud. Bp. Kuncoro menjelaskan kondisi mereka ketika terjadi bencana. Lumpur menggunung, menutup jalan, sungai dan rumah warga. Saat itu, relawan Posko Pare memberikan bantuan sak dan bahu-membahu bersama warga membuat tanggul dari sak yang untuk diisi pasir sebagai penahan. Pada kesempatan lain, relawan membantu bibit tanaman untuk menguatkan tanggul tepi sungai. Memang, dari tahun ke tahun kedalaman sungai semakin dangkal, karena timbunan aneka material yang dibawa aliran lahar. Bahkan ada lokasi yang tadinya lebih bawah sekarang menjadi lapangan yang rata akibat timbunan. Selain itu, ia mengatakan bahwa jaringan informasi antara teman-teman di Desa Sumbersuko, wilayah atas yang paling dekat dengan Gunung Kelud, lalu Desa Gadungan yang terdampak aliran lahar, serta Desa Sumberdono sebagai lokasi akhir aliran lahar, menjadi hal yang sangat penting. Maka, pelatihan yang melibatkan masyarakat dari Desa Sumbersuko, Gadungan dan Sumberdono, penting sekali dalam rangka koordinasi. Setelah itu rombongan menuju Pastoran St, Mateus, Pare untuk makan malam bersama relawan dan Pastor Paroki, Rm. Kusnugroho, Pr.

Di Madiun

Rombongan meneruskan perjalanan dan akhirnya tiba untuk bermalam di Madiun. Joeri dan Dominic sempat bertemu dengan tim Karina Posko Madiun dan Rm. Hardi Aswinarno, Pr. Mereka menginformasikan keadaan Madiun dan sekitarnya bila terjadi bencana serta relawan muda yang dikoordinir Joseph Hanny Hendra dalam kegiatan kebencanaan.

Keesokan harinya, rombongan langsung mengadakan pertemuan dengan warga di Dusun Bayeman. Pertemuan dilakukan dalam dialog sambil menuju lokasi terdampak banjir. Hal ini membuat utusan Caritas Belgia itu mendapatkan gambaran jelas tentang kondisi warga ketika bencana menerpa. Tanggul yang dibangun justru menjadi bumerang dan mengakibatkan banjir mengepung dua RT, tempat tinggal warga. Dulu ketika belum ada tanggul, mereka mengatakan banjir lebih cepat surut. Namun ketika tanggul dibangun, air lebih lama menggenang di pemukiman. Akibatnya warga kesulitan menjalankan aktivitas harian, mengalami kerusakan tanaman pangan dan pada akhirnya memperburuk situasi ekonomi, karena terjadi hampir setiap tahun. Joeri dan Dominic mengusulkan ada pertemuan warga dengan pemerintah untuk menginformasikan kondisi ini. Harapannya ada solusi, sehingga warga mendapatkan jalan keluar dan tidak selalu menjadi korban. Selain penguatan masyarakat melalui program Pengurangan Resiko Bencana yang akan mengarusutamakan Credit Union, perlu ada komunikasi dengan para pemangku kepentingan untuk mengatasi masalah.

Setelah melakukan perjalanan dari sekitar tanggul menuju ke posko, ternyata warga telah menyiapkan makan siang. Acara makan itu sederhana, dengan lauk kulupan, sayur lodeh, sambal dan ikan. Joeri dan Dominic bersatu bersama warga makan dengan cara muluk (tidak memakai sendok). Segera setelah berpamitan dan foto bersama, rombongan melanjutkan perjalanan kembali ke Surabaya. Keesokan harinya, Joeri dan Dominic meneruskan kunjungan ke Yogyakarta. Mereka berdua memberikan kesan selama kunjungan dengan ucapan, "We were impressed by the work you have done / accieved in such a short periode of time". (catatan kunjungan Caritas Belgia, oleh Edi Loke)