03 Agustus 2009

Merefleksikan Karya Sosio-Pastoral Gereja Lokal Indonesia


Dalam persiapan exposure visit Pimpinan Caritas Keuskupan Se-Indonesia, muncul refleksi tentang wajah karya sosio-pastoral atau karya pelayanan sosial Gereja Katolik Indonesia.

Pelaksana

Di Keuskupan Agung Makasar, Keuskupan Sintang, Ambon, Sibolga, Tanjung Selor, pelaksananya ialah Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi. Di Keuskupan Sibolga bahkan Komisi PSE memiliki credit union yang beromset 100 M, dengan anggota sebanyak 50.000 orang.

Sedangkan di Keuskupan Agung Medan dan Ende serta Keuskupan Ketapang, Palembang, Purwokerto dan Surabaya ada lembaga lain Komisi PSE yaitu Caritas / Karina dan yayasan-yayasan misalnya di Ketapang ada Yayasan USABA yang menangani credit union, di Palembang dengan Pansos Bodronoyo yang memiliki sejumlah unit usaha, Keuskupan Tanjungkarang memiliki YPSK yang menjalankan karya kemanusian keluar, Keuskupan Agung Medan dengan beberapa yayasan sosial seperti Yayasan Karya Bakti dan Yayasan Dharma Insani. Di Tanjung Selor memiliki Yayasan pendidikan, di Keuskupan Agung Ende ada karya berbasis gender, penegakan hak asasi manusia serta karya kesehatan.

Sedangkan di Keuskupan Surabaya, lembaga yang secara langsung terkait dengan Keuskupan ialah Lembaga Karya Dharma yang memiliki program credit union, poliklinik dan penanganan sosial di lokalisasi. Komisi PSE memiliki prioritas karya, pertanian organik, karya karitatif untuk orang sakit, modal usaha kecil dan perbaikan rumah dengan menjalankan 25 % dana aksi puasa pembangunan, serta karya kemanusiaan untuk korban bencana yang ditangani Karina dengan menjalankan 5 % dana aksi puasa pembangunan.

Pelaksanaan

Berkenaan dengan pelaksanaan karya sosio-pastoral, ada beberapa pola yang dijalankan, antara lain dengan memberdayakan unit terkecil atau seksos paroki serta seksos stasi namun dengan pola dan struktrur yang berbeda-beda. Disimpulkan pula bahwa karya sosio-pastoral masih kurang terkoordinasi, saling tumpang tindih dengan lembaga sosial lain, bersifat merespon persoalan kemiskinan secara spontan, pelaksanaan karyanya masih tradisional, ekslusif untuk orang Katolik. Namun di beberapa Keuskupan mengakui sudah ada koordinasi dan fokus peran dalam karya sosial, dimana Komisi PSE lebih memberikan pelayanan ke dalam dan Caritas lebih memberikan pelayanan keluar , baik dana maupun karyanya.

Dari berbagai bentuk karya sosio-pastoral tampak sekali bahwa kemanusiaan menjadi perhatian di kalangan umat Katolik di hampir semua Keuskupan. Banyak orang yang terlibat, banyak dana yang disalurkan merupakan hal yang menggembirakan. Namun sebagian besar karya sosio-pastoral itu cenderung di seputar Gereja, masih eksklusif. Beberapa hal yang dipikirkan untuk diubah ialah persoalan koordinasi antar pelaku karya sosio-pastoral di suatu Keuskupan. Ada banyak komunitas yang terlibat dengan fokus pelayanan yang hampir sama terkesan tumpang tindih menjawabi satu persoalan, sementara persoalan sosial lain seolah tak tertangani. Karya sosio-pastoral itu dirasa masih kuat bersifat karitatif dan belum cukup kuat disebut sebagai pemberdayaan masyarakat. Selain itu pola pengelolaan karya masih bersifat tradisional dalam arti tidak dikelola dengan manajemen organisasi atau manajemen control yang tertata. Hal lain yang ditemukan ialah, karya sosial Gereja dirasakan, khususnya di bidang pendidikan dan kesehatan, mengalami pergeseran dari nilai dasar pelayanan sosial menjadi mahal dengan batasan yang samar.

Dengan berbagai kelemahan, tetap ada benang merah bahwa Gereja Katolik di Indonesia terlibat dan terpanggil untuk menanggapi persoalan kemiskinan yang ada. Disertai pertanyaan kritis, apakah benar demikian ? Karena pemahaman kemiskinan juga berkembang, tidak hanya orang yang miskin material atau tidak hanya orang yang pendapatan per kapitanya dalam batas tertentu. Sementara tanggapan Gereja terhadap persoalan tersebut diduga masih cenderung bersifat spontan, tradisional serta tidak up to date. Atau disebut bahwa tanggapan Gereja sudah ada namun tidak kelihatan, terlalu banyak karya sosial yang ditangani sehingga tidak fokus, sehingga gagasan option for the poor dirasakan masih konseptual dan kemiskinan masih menjadi tantangan bagi Gereja.

Berhadapan dengan aneka kelemahan tersebut, para Pimpinan Caritas Keuskupan memikirkan beberapa gagasan: perlunya menata lembaga sosio-pastoral yang memiliki model seperti Caritas dengan manajemen karya yang tertata, ada pemetaan, ada fokus dan prioritas, ada sistem kontrol yang akuntabel, para pelakunya menghidup nilai vokasionalitas, memiliki kapasitas yang memadai, karyanya tidak sekedar karitatif namun pemberdayaan yang berkelanjutan, tidak ekslusif melainkan inklusif, terkoordinasi dengan pelaku karya sosio-pastoral lain di Keuskupan agar tidak tumpang tindih, melibatkan sebanyak mungkin umat dan berbagai jaringan. Lembaga seperti inilah yang harus dimulai dan disosialisasikan.

Inspirasi Deus Caritas Est

Paus Benediktus XVI dalam Ensiklik Deus Caritas Est, artikel 29 menuliskan bahwa, “Organisasi karitatif Gereja merupakan opus proprium, karya khas: Gereja tidak hanya mendampingi dengan kerja sama, melainkan sebagai subyek langsung yang bertanggungjawab dan melakukan apa yang sesuai dengan hakikatnya. Gereja tidak dapat dibebaskan dari pelayanan kasih sebagai kegiatan bersama teratur kaum beriman, dan di lain pihak tak pernah akan ada keadaan di mana pelayanan kasih individual orang kristiani tidak diperlukan, karena manusia tak hanya membutuhkan keadilan, melainkan akan juga selalu membutuhkan kasih”

Berkaca pada kutipan tersebut, dipetik beberapa benang merah. Pertama, karya sosio-pastoral merupakan karya khas Gereja. Gereja yang mewartakan Kerajaan Allah berarti mewartakan keberpihakkan tehadap orang miskin. Konsekuensinya karya sosial untuk orang miskin menjadi karya utama Gereja yang tidak dapat dinomerduakan. Karena, hakekat dasar tanggungjawab Gereja ialah keberpihakan pada orang miskin, yang dilakukan bersama dan sama pentingnya dengan karya pewartaan, liturgi dalam paguyuban umat beriman. Maka, Gereja harus tampak lebih melayani dan memberikan kesaksian imannya. Mulai dari hirarki, para Uskup dan imam didukung oleh seluruh umat dalam suatu gerakan bersama, Gereja hendaknya merespon persoalan-persoalan sosial lokal. Singkatnya, jika Gereja tidak melayani orang miskin, maka Gereja kehilangan jatidirinya yang khas.

Kedua, karya sosio-pastoral harus dijalankan Gereja secara teratur. Karya sosio-pastoral yang sedemikan itu berciri, pelayanan sosial bukan hanya tindakan spontan, sporadis, namun dijalankan Gereja secara terorganisir, dengan fasilitasi dan animasi, dilaksanakan secara terstruktur, terpadu dengan prinsip jelas, sesuai aturan, akuntabel, transparan, berkelanjutan dan terus menerus diperbaiki. Sebagai kegiatan bersama, karya sosio-pastoral dilaksanakan oleh seluruh kaum beriman yang tidak sekedar professional, namun ungkapan vokasional sebagai tanggapan atas panggilan Tuhan.

Tanggapan Gereja Lokal

Beberapa tanggapan Gereja lokal atas berbagai persoalan sosial diantaranya Keuskupan Purwokerto yang mencanangkan bahwa tahun 2009-2010 sebagai Tahun Kemiskinan. Konkretnya diadakan kegiatan bersama umat untuk mengumpulkan dana orang miskin sebesar Rp. 100,- per orang setiap hari. Keuskupan Surabaya mencanangkan Tahun Pendidikan dimana setiap paroki mengumpulkan kolekte khusus setiap bulan untuk karya pendidikan selain tiga prioritas melalui gerakan credit union, pertanian organik dan penanganan bencana.

Keuskupan Palembang memunculkan gerakan pemberdayaan orang miskin untuk menolong dirinya sendiri. Keuskupan Sintang dan Pontianak, sebagaimana Keuskupan lain di Regio Kalimantan berupaya mengentaskan kemiskinan dengan credit union atau dengan pintu masuk melaui isu lingkungan berupa gerakan menanam seribu pohon karet per kepala keluarga dan upaya sertifikasi tanah. Di Keuskupan Agung Ende ada upaya serius merestrukturisasi karya sosial sehingga menampilkan kinerja yang tertata. Dari berbagai tanggapan yang muncul tampak adanya upaya Gereja lokal untuk melaksanakan karya sosial dengan pola karitatif ke pemberdayaan, penataan lembaga dan sumber daya manusia dengan penguatan kapasitas, penyadaran sosial agar umat semakin bertumbuh dalam solidaritas, sehingga makin tampak wajah sosial Gereja.

Mengarahkan Misi

Bercermin dan berefleksi dari karya sosio-pastoral Gereja lokal selama ini dan diinspirasi oleh gagasan Paus Benediktus XVI dalam Ensiklik Deus Caritas Est, para Pimpinan Caritas Keuskupan Se-Indonesia menyebut beberapa langkah strategis untuk mengarahkan misi karya sosio-pastoral agar menjadi karya khas Gereja dan menjadi kegiatan bersama teratur kaum beriman, antara lain:

1. Mempengaruhi kebijakan dalam Gereja
2. Mengumatkan Ajaran Sosial Gereja, memberikan animasi kepada umat sebagai subyek karya kasih dan pemberdayaan umat basis
3. Memperkuat kinerja dan kemandirian lembaga
4. Meningkatkan kapasitas sumber daya manusia semakin profesional dan vokasional
5. Memetakan kondisi setempat dan situasi kelompok target
6. Menjalin kerjasama dengan dengan siapapun yang berkehendak baik, lintas agama, lintas lembaga, lokal dan internasional