28 Maret 2009

Dari Jebolnya Tanggul Situ Gintung


Musibah jebolnya tanggul Situ Gintung di Cireundeu, Tangerang Selatan, adalah akibat kelalaian pemerintah terhadap perawatan tanggul. Karena itu musibah ini tidak bisa disebut sebagai bencana alam.

"Ini tidak bisa dikatakan bencana alam karena bangunan itu dibangun manusia, bukan bangunan sim salabim yang tahu-tahu ada di situ. Jadi berada dalam kontrol manusia. Kalau longsorannya dari bukit mungkin bisa dikatakan bencana alam," ujar Ketua Tim Kajian Likuifaksi dan Sumber Daya Air Pusat Penelitian (Puslit) Geoteknologi LIPI Adrin Tohari saat dihubungi detikcom, Jumat (28/3/2009) malam.

Menurut Adrin, kesalahan itu ada pada jajaran pemerintah selaku pihak yang bertanggung jawab atas kondisi tanggul tersebut. Setidaknya ada 4 kelalaian pemerintah yang mengakibatkan musibah ini tak terhindarkan. Pertama, tidak ada inspeksi rutin dari pemerintah terhadap tanggul yang sudah uzur tersebut. Jika inspeksi secara rutin dilakukan, idealnya 6 bulan sekali, pemerintah pasti punya data mengenai perkembangan tanggul.

Kedua, pemerintah kurang merawat tanggul yang sudah tua tersebut. Pangkal mulanya adalah inspeksi yang tidak rutin dilaksanakan sehingga pemerintah tidak paham betul bagaimana dan bagian mana yang harus dirawat.

Ketiga, kesalahan pemerintah terletak pada kurangnya peringatan terhadap warga atas potensi jebolnya tanggul. Padahal pemerintah selaku penanggung jawab wajib memberikan peringatan kepada warga.

Kesalahan keempat terletak pada pelanggaran tata ruang yang dilakukan pemerintah. Seharusnya lokasi pemukiman warga terdekat letaknya dari bangunan tanggul dan bantaran sungai berjarak 20 meter. Jika dipatuhi, tentu jumlah korban jiwa tidak sebesar sekarang.

"Di daerah tanggul seminimal mungkin ada pemukiman. Seharusnya itu adalah daerah bebas pemukiman, kira-kira sejauh puluhan meter dari tanggul. Itu ada Perda-nya, daerah bantaran harus bebas dari pemukiman," kata Adrin.

Sampai hari Sabtu siang, korban jiwa akibat jebolnya tanggul Situ Gintung, Cireundeu, Tangerang, Banten bertambah menjadi 77 orang. Lebih dari 100 orang masih belum ditemukan. "Dampak jebol Danau Situ Gintung, wafat 77 orang, hilang lebih 100 orang dan luka 179 orang," ujar Kepala Pusat Penanggulangan Krisis (PPK) Departemen Kesehatan (Depkes) Rustam S Pakaya dalam pesan singkatnya Sabtu (28/3/2009). Data hingga pukul 12.00 WIB hari ini, 179 orang luka termasuk 6 orang yang menjalani rawat inap. Depkes pun sudah mengirimkan 4 tenda rumah sakit lapangan plus mesin pendingin udara.

Selain itu, 100 kantong mayat, 100 sepatu boot, 25 paket antileptospirosis, 2 paket obat-obatan dan 2 ton makanan pengganti ASI dan paket antibisa ular pun sudah dikirimkan Depkes. "Tim kesehatan PPK DKI dan Banten masih di 7 posko kesehatan. Masih terkendali," ujar Rustam.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengkritisi ada kampanye di balik bencana yang menelan puluhan korban jiwa itu. Meski pun LSM yang bergerak di bidang lingkungan hidup ini tidak menutup mata terhadap manfaat dari partipasi dan bantuan yang diberikan para politisi pada korban.

Fenomena ini menjadi semakin memprihatinkan bila dibandingkan bencana Lumpur Lapindo. Sejak mulai terjadinya semburan liar lumpur panas tiga tahun lalu, hingga kini tidak ada parpol, caleg, atau politisi peduli dan dengan sungguh-sungguh memperjuangkan nasib 15 ribu warga yang menjadi korban.

"Korban Lapindo sampai kini kehilangan hak hidup dan dipaksa menghirup racun yang keluar bersama semburan lumpur," tulis Walhi (detik.com, 28/3/09)