14 Januari 2009

Masyarakat Jatim Tahan Bencana


Kondisi geografis, geologis, hidrologis, dan demografis Jatim menyebabkan sebagian besar wilayah Jatim rawan bencana. Ada beberapa macam bencana yang berpeluang terjadi di Jatim dan berpotensi menimbulkan gangguan dari fungsi masyarakat yang dapat mengakibatkan kehilangan nyawa, material atau kerusakan lingkungan.

Di antara macam bencana yang patut diwaspadai ialah bencana banjir, letusan gunung berapi, tanah longsor serta angin puting beliung. Kerawanan banjir terjadi di hampir semua kabupaten dan kota di Jatim. Wilayah potensi bencana banjir tinggi ada di daerah aliran sungai Bengawan Solo meliputi kabupaten Ngawi, Madiun, Tuban, Bojonegoro dan Lamongan. Di sekitar aliran sungai Brantas meliputi kabupaten Mojokerto, Lamongan dan Sidoarjo serta di kabupaten Pasuruan, Situbondo dan Jember. Wilayah potensi rawan bencana letusan gunung berapi ada di lokasi seputar Gunung Kelud meliputi kabupaten Kediri, Blitar, Tulungagung dan Malang.

Wilayah yang rawan longsor meliputi 21 daerah yang ada di sekitar jalur pegunungan yang membentang dari timur ke barat Jatim, meliputi Gunung Lawu, Wilis, Kelud, Arjuno-Welirang, Bromo, Semeru, Argopuro, dan Ijen-Raung. Sedangkan wilayah potensi rawan serangan agin puting beliung adalah kabupaten Madiun, Kediri, Nganjuk, Jombang, Malang, Sidoarjo, Surabaya, Ngawi dan Bondowoso.

Dalam laporan sementara kejadian bencana dan rekapitulasi kejadian bencana yang dirilis Posko Satkorlak, Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi Propinsi Jatim hingga awal Desember 2008, tercatat ratusan rumah, fasilitas umum seperti masjid dan mushola, gedung sekolah, jalan, badan jalan, jembatan, saluran air, tanggul sungai, tangkis dam dan saluran irigasi rusak. Tafsiran kerugian materi mencapai miliaran rupiah. Fakta tersebut merupakan pelajaran yang sangat berharga dalam rangka mengurangi angka kerusakan dan kerugian materi.

Prakiraan Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) mengabarkan bahwa pada bulan Januari dan Februari 2009, cuaca Jatim akan memasuki musim hujan yang cukup tinggi. Intensitas hujan yang besar, setelah musim kemarau yang panjang, dapat dipastikan berbagai daerah sangat berpotensi mengalami bencana, seperti banjir, tanah longsor dan puting beliung

Berbagai Usaha
Dalam rangka mengurangi angka kerusakan dan kerugian jiwa dan materi yang disebabkan oleh bencana, berbagai upaya telah ditempuh oleh pemerintah. Pejabat Gubernur Jatim, Setia Purwaka menghimbau kepada para kepala daerah kabupaten/kota untuk tidak bepergian pada musim hujan saat ini yang dinilai rawan bencana alam. Di beberapa lokasi yang diprediksi rawan bencana gunung berapi seperti di Kediri dan Blitar, rawan banjir bandang di Situbondo serta rawan bencana tsunami di Banyuwangi dan Pacitan telah dipasang peralatan peringatan dini yang menjadi bagian jaringan peringatan dini nasional.

Dinas Kehutanan Jatim mencatat sebagian dari wilayah hutan di Jatim yang kritis seluas 433.010.87 hektar, telah ditanami. Wilayah yang masih gundul dan berpotensi ditanami kembali hanya tersisa 360.000 hektar. Penghutanan kembali dengan reboisasi tersebut sebenarnya telah dilakukan sejak tahun 2006.

Selain itu, instansi pemerintah telah melakukan penanganan dan pembenahan di sepanjang aliran sungai. Departemen Kimpraswil telah melaksanakan pembangunan berbasis sipil, berupa pembangunan waduk dan pengurungan sungai. Proyek yang mendapat bantuan luar negeri tersebut tersebar sejak bagian hulu sampai hilir, sepanjang aliran sungai.

Usaha kelembagaan lain yang bersifat konsultatif ialah rekomendasi kepada pimpinan daerah di Jatim untuk menjadikan perubahan iklim sebagai prioritas program kerja selama 5 tahun ke depan. Sesuai Undang-Undang, pimpinan daerah harus menyiapkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) untuk periode 5 tahun. Pengarusutamaan perubahan iklim, seharusnya menjadi agenda penting dalam RPJMD pimpinan daerah Jatim.

Sebuah langkah maju, bahwa pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Pasal 8 Undang-Undang tersebut menunjuk tanggung-jawab pemerintah daerah dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi: penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana, perlindungan masyarakat dari dampak bencana, pengurangan risiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko bencana dengan program pembangunan serta pengalokasian dana penanggulangan bencana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Hal itu didukung oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Peraturan pemerintah ini memberi petunjuk rinci tentang situasi pra bencana yang meliputi situasi tidak terjadi bencana dan situasi terdapat potensi terjadi bencana serta situasi tanggap darurat dan situasi pasca bencana.

Berbasis Masyarakat
Pada situasi pra bencana terdapat kata kunci tentang pentingnya perencanaan penanggulangan dan pengurangan resiko bencana. Dua hal ini merupakan unsur penting sekaligus baru dalam konteks manajemen bencana. Perencanaan penanggulangan bencana dan pengurangan resiko bencana merupakan usaha mendesak yang dilakukan dalam situasi pra bencana. Kedua hal tersebut masih asing dikenal masyarakat di lokasi rawan bencana, apalagi yang bencananya memiliki karakter berulang dan kurang lebih sama.

Dari berbagai hal berkenaan dengan bencana yang telah dilakukan di Jatim, selain aneka upaya formal, kelembagaan pemerintah, amat penting untuk melibatkan dan meningkatkan peran serta masyarakat. Inilah yang digarisbawahi dalam protokol Hyogo yang kemudian dikenal dengan paradigma berbasis masyarakat (community-based) atau dimanajemani oleh masyarakat (community-managed).

Mengapa masyarakat? Karena masyarakat, khususnya di lokasi rawan bencana terbiasa dengan ancaman bencana, memiliki pengalaman yang sama dalam menghadapi bahaya dan bencana. Selain itu, masyarakat perlu meningkatkan kemampuan mengelola usaha-usaha pengurangan resiko bencana secara sistematis dan menjadikan mereka masyarakat yang aman dan memiliki ketahanan.

Dalam perencanaan dan pengurangan resiko bencana berbasis masyarakat, masyarakat diajak dan dijadikan sumber pertama secara partisipatif untuk menemukan kajian kapasitas, kajian ancaman dan resiko serta kajian kerentanan dalam kerangka manajemen resiko bencana. Pengenalan kajian tersebut ditujukan untuk mengetahui seberapa besar resiko bencana. Jika ternyata kapasitas masyarakat tinggi sedangkan ancaman, resiko dan kerentanan rendah, maka resiko bencana masyarakat rendah. Namun sebaliknya, jika kapasitas masyarakat rendah sedangkan ancaman dan resiko serta kerentanan tinggi, maka resiko bencana masyarakat tinggi.

Selama ini keterlibatan masyarakat dalam perencanaan dan pengurangan resiko bencana masih sangat minim. Atau jika dilibatkan, keterlibatan itu sifatnya setengah-setengah. Penekanan oleh masyarakat sangat diperlukan. Masyarakat dilibatkan dalam analisa, kajian kebutuhan dan perencanaan, bahkan dalam pembuatan keputusan yang mendesak. Pola hubungan yang dilakukan oleh pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat sebagai fasilitator seharusnya berpola subyek-subyek, di mana masyarakat yang menjalankan dan fasilitator hanya memfasilitasi. Metode yang digunakan sebaiknya pembelajaran berdasarkan pengalaman berkelanjutan yang saling melengkapi, bukan sekedar transfer ilmu.

Perencanaan dan pengurangan resiko bencana berbasis dan oleh masyarakat menempatkan masyarakat sebagai pengambil inisiatif, lepas dari ide, gagasan, proyek pilihan pihak luar. Masyarakat sepenuhnya berkuasa atas seluruh kegiatan. Sehingga perencanaan dan pengurangan resiko bencana melewati tahap demi tahap yang mengerucut menjadi milik masyarakat. Pada akhirnya tercipta kesadaran masyarakat atau yang disebut masyarakat sadar dan tahan bencana.

Tanpa melibatkan masyarakat, berbagai usaha yang dilakukan pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat dalam rangka perencanaan dan pengurangan resiko bencana hanya sebuah proyek jutaan atau bahkan miliaran rupiah yang tidak dimengerti dan tidak didukung masyarakat. Akibatnya masyarakat di lokasi rawan bencana tidak pernah dididik menghadapi bencana, berulang kali mengalami akibat bencana dan menjadi korban paling buruk jika bencana terjadi. Padahal dengan melibatkan masyarakat, masyarakat diajak untuk meningkatkan kapasitas dalam rangka mengurangi resiko bencana. Ancaman, resiko dan kerentanan bencana bisa tinggi dan berubah semakin tinggi, namun jika kapasitas masyarakat ikut ditingkatkan, akan tercipta masyarakat yang sadar dan tahan bencana. (A. Luluk Widyawan, Pr)