27 Agustus 2014

Workshop Transformasi LSM Menuju Kewirausahaan Sosial (1)

 
 
Komisi PSE Kesukupan Surabaya, mendapat kesempatan untuk mengikuti NGO Transformation to Social Enterprise Workshop. Kegiatan yang diadakan oleh British Council, tersebut berlangsung di Jakarta pada 10-15 Agustus 2014. Selama 4 hari, peserta mendapat pembelajaran mengenai pengertian kewirausahaan sosial, mendesain usaha, mengenal kebijakan pemerintah dan manajemen serta bagaimana mengevaluasi sebuah kewirausahaan sosial.

Workshop angkatan ketiga itu dihadiri oleh  23 organisasi dari seluruh Indonesia. Antara lain Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK), Asosiasi Tenaga Perpustakaan Sekolah Indonesia (ATPUSI), Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP), Yayasan Jurnal Perempuan, PNPM Support Facility (PSF), OXFAM (Papua Enterprise Development Program / PEDP), Himpunan Pengusaha Santri Indonesia (HIPSI), Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah, Savy Amira Sahabat Perempuan, Perkumpulan Untuk Peningkatan Usaha Kecil (PUPUK) / The Association for Advancement of Small Business, Yayasan Insan Sembada (YIS), Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), KAP Indonesia (Konfederasi Anti Pemiskinan Indonesia), Yayasan Gerbang Anak Sejahtera, Yayasan FOCIL Indonesia, Yayasan Prowakaf Padjadjaran, Komisi Pengembangan Sosial Ekonomi Keuskupan Surabaya (Social and Economical Commission of Surabaya Diocese), Yayasan Lentera, Centre for Business and Industrial Studies (CBIS), Universitas Surabaya, Syamsi Dhuha Foundation (SDF) dan Desantara Foundation.
 
Kewirausahaan Sosial

Peserta diperkenalkan dengan banyak perusahaan yang berawal dari LSM yang bertransformasi  menjadi kewirausahaan sosial. Mereka memiliki perspektif, latar belakang dan gagasan  yang berbeda-beda. Berkenaan dengan arti kewirausahaan sosial ada beberapa pendapat. Bambang Ismawan menyebut kewirausahaan sosial sebagai pembangunan sosial melalui cara-cara kewirausahaan. Ashoka Foundation menyebut siapapun yang memimpin dan menggabungkan perubahan dalam sebuah kelompok menuju kelancaran dan percepatan dari perubahan ekonomi. British Council memaknai sebagai usaha yang bertujuan sosial atau keberpihakan pada lingkungan dengan menginvestasikan sejumlah besar pendapatannya untuk memenuhi tujuan. Dari penjelasan ada benang merah bahwa lembaga atau yayasan, boleh mendapatkan untung, akan tetapi keuntungan tersebut sebagian besar diberikan kembali ke lembaga / yayasan untuk mendanai kegiatan sosialnya.

Kewirausahaan sosial, dipicu oleh 2 hal pokok. Pertama, berpijak karena kecemasan atas keberlangsungan lembaga dalam membiayai kegiatan sesuai visi dan misi. Bagi mereka , donor bukan sesuatu yang abadi.  Kedua, kewirausahaan sosial sebuah lembaga dapat  berupa usaha untuk  memandirikan warga dampingan secara utuh.

Pengalaman di sebuah tempat bernama Daitung, kawasan tersebut merupakan segitiga emas, penghasil opium terbesar di Thailand. Semua  lembaga yang masuk ke sana berusaha menghentikan penanaman bahan opium. Mereka mengubah petani untuk berwirausaha, tetapi selalu gagal karena penghasilan dari opium sangat besar. Kelompok di Daitung digagas oleh sebuah lembaga yang hendak mengubah mind set dan kebiasaan penduduk agar tidak lagi menanam tanaman penghasil opium dengan cara menghasilkan banyak kerajinan tangan dan pernak pernik yang produknya sudah mendunia. Uniknya lembaga tersebut tidak menjadikan Daitung sebagai lahan dalam mendulang dana, tetapi mendedikasikan apa yang sudah mereka lakukan untuk penduduk lokal.

Lain lagi dengan upaya Cabbage & Condoms, sebuah resto yang didirikan oleh Mechai Viravaidya. Ia memberi dana untuk membuka restoran. Uniknya, restoran yang mendukung promosi tentang isu reproduksi, HIV dan AIDS yang juga memberikan edukasi secara tidak langsung kepada tamu yang datang.

Desain Kewirausahaan Sosial

Desain wirausaha, sebaiknya linier dengan kegiatan lembaga, tetapi tidak menutup kemungkinan melompat jauh dari isu yang sedang ditangani. Dalam mendesain usaha,  business canvas model merujuk pada pola membantu merencanakan dan melihat usaha secara keseluruhan. 

Ada beberapa variabel yang perlu diperhatikan antara lain: apa produk yang akan dijual (barang / jasa ), apa komponen yang membentuk produk, siapa konsumen kita, bagaimana cara menyampaikan sehingga produk / jasa sampai kepada konsumen, siapa mitra bisnis, berapa biaya yang menjadi beban, mana unsur pendapatan dan yang terpenting adalah nilai, bagimana kita menambahkan muatan isu yang kita bawa di dalam produk.

Berkenaan dengan bentuk gabungan usaha lembaga dengan kewirausahaan sosial, ada beberapa model. Model All In One, di mana bisnis masuk dalam misi. Unit bisnis dimiliki utuh oleh lembaga, secara kepemilikan, sebagaimana dikembangkan oleh The Body Shop. Model Two Hands, di mana unit bisnis dan lembaga berdiri sendiri. Bentuk usaha bisa tidak linier dan terpisah secara manajemen, tetapi ditegaskan dalam AD / ART bahwa sekian persen dari penghasilan diberikan kepada lembaga tertentu. Model Intersection, di mana unit bisnis dan lembaga berdiri sendiri, tetapi memiliki potongan bersama, misalnya dalam hal kepentingan, kepemilikan dan manajemen. Sebagaimana dilakukan oleh Precious One yang menaruh perhatian kepada kaum diffable dan melakukan pelatihan serta advokasi dengan melibatkan anggota kaum diffable sendiri.

Transformasi merupakan tuntutan dan trend yang akan terus berkembang dalam berbagai model. Akan tetapi masih banyak lembaga yang gamang, terutama kendala paradigm lama LSM dan kewirausahaan yang jauh 180 derajat bertolak belakang. Kesiapan yang diperlukan segi permodalan, dana inisiasi, sumberdaya manusia serta cara berpikir.

Sebuah lembaga mau melakukan transformasi atau tidak memang merupakan pilihan. Ada pun beberapa pertimbangan yang dimungkinkan. Model Pro Trade yang meningkatkan pendapatan, memiliki keanekaragaman pendapatan, tidak semua pendiri menyukai, beberapa menjadi objek kompetisi tidak sehat, dapat menimbulkan konflik internal dan sesuatu yang sulit, bukan cara yang cepat untuk mendapatkan uang atau memecahkan krisis keuangan lembaga. (bersambung)