Kegelisahan
Salah
seorang pengurus CU berpendapat bahwa belum semua
perangkat pastoral di lingkungan Gereja memahami tentang CU. Tidak heran jika
ada beberapa di antara umat atau pengurus yang merasa tidak cocok dengan CU. Ia
sendiri semula tidak memahami, tetapi
prinsipnya belajar sambil berjalan. Karena itu, CU tidak bisa segera menyebar
hingga ke lingkungan atau stasi. Sebaliknya, banyak anggota yang
datang justru dari luar. Mereka dari kalangan menengah ke bawah. Mereka memiliki pandangan bahwa kalau koperasi dipegang oleh orang-orang Gereja pasti
berjalan. Sementara dari kalangan sendiri mengalami tantangan, hal itu tampak
dari anggota yang memperpanjang kredit.
Pengalaman demikian terbukti dari kisah CU Pukat Swadaya Sejahtera. Ketika tempat
pelayanan dibuka di paroki, anggota Gereja yang menjadi anggota CU, tidak
lebih dari 25 orang. Bahkan Seksi Sosial Paroki tidak memahami bahwa prioritas
program Komisi PSE dan Seksi Sosial Paroki adalah pemberdayaan CU. Pengalaman
lain yang tidak mudah adalah kredit macet, bahkan pernah terjadi hingga seperdelapan
dari total aset, lebih parah jika ada pengurus yang meminjam dan macet.
Di
wilayah tertentu, keberadaan CU memang tidak mulus, karena faktor kurangnya dukungan perangkat pastoral. Selain karena faktor keberadaan Koperasi Simpan Pinjam atau trauma dengan kegagalan CU di masa lalu. Ada pula sebagaian anggapan yang beredar di kalangan umat bahwa menjadi anggota CU itu sulit,
aturannya banyak serta ketidakpercayaan ketika melibatkan orang dari luar.
Sampai sekarang pun, masih
ada sebagian pemikiran bahwa CU tempat untuk
mendapatkan pinjaman. Mereka yang belum mengenal CU selalu menanyakan, berapa
uang yang dapat dipinjam, jika menjadi anggota. Meskipun demikian, pengurus CU berusaha sabar melayani, memberikan pencerahan dalam CU serta meyakinkan dengan merinci kebutuhan pinjaman
yang dimaksud. Misalnya, seorang penjual bakso yang ingin meminjam
diajak diskusi tentang biaya rombong, belanja harian, biaya pembelian peralatan
dan lain-lain. Ada pula seorang yang menjual tabung gas eceran. Di awal
pengajuan pinjaman hanya mengajukan dana sebesar Rp. 20 juta, setelah memerinci
kebutuhan dan prospek usaha yang bagus, justru mendapatkan pinjaman lebih. Tentu
semua itu memperhatikan kesungguhan anggota dan melihat kelayakan jenis
usaha.
Berhadapan
dengan tantangan kredit macet, pernah ada kasus salah satu CU
yang kehilangan dana hingga puluhan juta. Akibatnya kondisi CU tidak stabil, karena
harus menanggung dana tersebut. Pengurus pun tidak mau ambil pusing.
Cara menanggulanginya, sebagaimana dilakukan oleh beberapa CU ialah dengan
mengadakan kunjungan, memiliki keberanian menagih dan mengingatkan. Sampai
akhirnya mengadakan pembicaraan dengan halus, memakai bahasa Jawa kromo inggil.
Ternyata ada penggembalian, meskipun sedikit. Hal itu dilakukan secara berulang
kali.
Yang
paling susah ketika menemui anggota yang meminjam, justru dengan surat
pengantar dari romo. Ada satu kejadian, pengembaliannya sulit dan
cenderung macet. Sebenarnya ada cara lain untuk meminimalkan kredit macet,
dengan memperhitungkan jumlah simpanan anggota. Jika ternyata macet, maka
pengurus mengambil simpanan pokok anggota tersebut. Tentu sesudah
lunas anggota perlu diberitahu, sehingga jelas.
CU Lembaga Karya Dharma merasakan tantangan dalam hal mencari kader
agar menjadi pengurus. Karena menjadi pengurus CU yang terutama harus memiliki
waktu. Banyak dari anggota yang tidak mau repot menjadi penggurus. Maka perlu inisiatif mengajak beberapa orang yang dianggap mampu untuk didukung. Sampai saat ini, ada seorang pengurus yang mengaku awalnya tidak memiliki basic tentang keuangan. Ia sendiri
menekankan bahwa dalam kepengurusan CU, yang penting adalah kebersamaan, ada
kesamaan visi dan saling terbuka.
Selain
tantangan dari luar, ada tantangan dari dalam CU ialah, para pengurus CU yang
justru bersikap seperti “bos”. Ini sesuatu yang memprihatinkan, karena pengurus
menjadi orang terdepan yang seharusnya memberikan pelayanan. Para
pengurus CU sebaiknya sungguh orang yang memiliki hati dan komitmen melayani. Memang pada awalnya, pengurus perlu bekerja keras, seperti setiap hari
harus hadir dan tidak mendapatkan gaji atau transport. Namun seiring
berkembangannya CU, perlu ada perubahan manajemen agar lebih baik. Dari berbagai pengalaman, mereka yang
pensiunan dan tidak memiliki pekerjaan lagi, bisa diandalkan karena bisa selalu hadir, memiliki waktu dan menyapa anggota
setiap hari. Pengalaman positif seperti inilah yang perlahan-lahan
membuat CU semakin berkembang. Antara lain, masalah perkembangan anggota dapat
teratasi karena ada pendekatan dan sosialisasi.
Kebanggaan
Di
balik aneka kegelisahan tersebut, Bp. Ignatius Sunarman mengatakan
keterlibatannya di CU merupakan kesempatan pelayanan, bahkan tidak
mengenal waktu. Jam berapapun ada tetangga atau umat membutuhkan untuk CU, ia
selalu meluangkan waktu. Sebagai pengawas, ia merasakan sebagai pelayan dari
anggota juga. Ia menaruh perhatian kepada penjual sayur dan jamu gendong. Jika
mereka memiliki pendapatan disarankan untuk dimasukkan Simpanan bunga harian.
Mereka yang meminjam pun dapat memenuhi pengembalian dalam waktu 1 bulan saja. Yang
menarik, meskipun ada pinjaman kapitalisasi, mereka tidak membawa pulang, tetapi langsung disimpan.
Ini berarti mereka menyadari pentingnya menabung. Dari anggota seperti mereka,
Bp. Sunarman mengetahui bahwa keuntungan menjadi anggota CU karena ketika meminjam tidak kena bunga atau biaya administrasi.
Bp.
Santosa dari CU Gotong-royong mengalami bahwa sikap mau turun tangan,
perlu dimiliki oleh mereka yang terlibat
dalam CU. Ia sendiri mulai dengan mengikuti perencanaan strategis CU. Bersama
semua pengurus, ia selau hadir melakukan pertemuan. Antara lain ketika menyusun target mengupayakan
anggota sampai 1.000 orang, pmemerlukan disksui agar reward bagi para pegawai dapat terpenuhi.
Ada rasa kebanggaan yang berbeda, meskipun ia pernah beberapa kali terpilih menjadi Dewan
Pastoral Paroki, tetapi tidak sebangga menjadi pengurus CU. Ia merasa berarti
dan memiliki banyak teman, bahkan tidak hanya dari kalangan Katolik.
Hal
serupa dialami oleh Mbak Ari dari CU Lembaga Karya Dharma, ia meyakini bahwa
dengan meluangkan waktu secara iklas, maka rejeki akan datang. Selain itu,
pelayanan di CU memberikan kepuasan dan kebanggaan tersendiri. Bp. Gregorius
Dwi dari CU Dwi Jasa, selama bergabung dengan CU memiliki prinsip, bila kita
mencintai pekerjaan dengan ketekunan maka akan ada hasil. Ibu Tugiyono dari CU
Pukat Swadaya Sejahtera merasa bangga karena orang Katolik dipercaya.
Kebahagiaannya dirasakan ketika melihat anggota berkembang. Ia mengisahkan bahwa salah
seorang anggota yang pinjam dengan menyerahkan BPKB, sekarang telah berkembang.
Inilah yang membahagiakan karena menolong orang dan dengan demikian,
meningkatkan kesejahteraan sesama.
Ibu
Elisabeth mengisahkan pengalaman melayani anggota dengan sikap membuka diri.
Sikap seperti itulah yang kemudian menarik orang menjadi anggota CU. Memang
akibatnya yang meminjam banyak. Namun karena dana terbatas, peminjam dan pinjaman dibatasi. Kepada siapapun anggota, ia selalu mengatakan tidak perlu menunggu
menjadi tua untuk menjadi sejahtera. Ia pun merasa aman karena memiliki banyak
kenalan para bapak penarik becak. Kebanggaan lain dikisahkan Bp. Didik dari CU
Tri Tunggal karena dari sekitar 1.004 koperasi yang ada, CU yang diurusnya masuk
menjadi 5 yang terbaik.
Ibu Sri Mumpuni dari CU Swadaya Sejahtera merasa senang karena ada perhatian dari
Gereja dalam pembentukan CU. Ia gembira sekali mengurus tabungan orang-orang
sederhana, apalagi sekarang sudah pensiun. Kegembiraan itu karena memiliki
banyak teman. Memang ia adalah seorang single parent yang merasa terbantu
karena menabung di CU. Jika saatnya membayar biaya kuliah, ia pun mengambil
dari tabungan yang disimpan. Inilah juga yang dialami Bp. Joko dari tempat
pelayanan CU Prima Danarta. Ia mengalami bisa menolong sesama dengan bergabung
dalam CU. Menolong tidak perlu menunggu menjadi kaya. Ia sendiri berharap
siapapun, terutama anggota CU, semakin sejahtera.