28 September 2011

Seminar CU di Unika Widya Mandala



Seksi Sosial Paroki Aloysius Gonzaga dan Universitas Katolik (Unika) Widya Mandala Surabaya menggelar Seminar tentang Credit Union (CU). Seminar yang mengambil tema CU Dalam Implementasi Arah Dasar Keuskupan Surabaya ini diadakan pada 20 Agustus 2011 di Gedung Agustinus, Ruang A 301, Unika Widya Mandala. Seminar ini dihadiri 10 orang dari lembaga pendidikan Katolik dan 50 orang dari DPP dan Seksos Paroki.

Sebagaimana diketahui, salah satu prioritas program yang diusung oleh Komisi PSE Keuskupan Surabaya adalah pemberdayaan lembaga keuangan mikro (Credit Union). Sebagaimana hasil sidang Sinodal KWI November 2006 lalu diputuskan bahwa situasi sosio-ekonomi mendorong Gereja memberi tanggapan pastoral dengan mencanangkan gerakan sosio-ekonomi untuk dilakukan oleh segenap umat Katolik.

Situasi di beberapa paroki khususnya DPP, seksi PSE paroki belum memahami, mengenal semangat dan mengupayakan program pemberdayaan lembaga keuangan mikro dengan baik. Selain itu Unika Widya Mandala sebagai lembaga pendidikan tertinggi di bawah lindungan Keuskupan Surabaya merasa perlu mengadakan pendidikan mengenai CU di lingkungan pendidikan sehingga bisa mengimplementasiakan nilai kekatolikan dan mendukung upaya implementasi Ardas. Dengan demikian, paroki dan lembaga Katolik yang belum memberdayakan lembaga keuangan mikro (CU) dibantu untuk memahami isi, mengenal semangat dan mengupayakan pemberdayaan lembaga keuangan mikro yang menekankan karya sosial pemberdayaan.

Seminar ini bertujuan, membantu peserta yang berasal dari paroki dan sekolah Katolik untuk memahami CU dalam perspektif Ekonomi Kerakyatan, menumbuhkan semangat solidaritas, peduli, memajukan sesama secara inklusif serta saling percaya (trust). Acara ini menampilkan pembicara Ibu Anastasia Septa Wulandari, dosen Fakultas Bisnis, Rm A. Luluk Widyawan, Ketua Komisi PSE Keuskupan Surabaya, Ibu Harni dari Puskopdit Jatimtim dan Bp. Heru, manager CU Perekat, Bandung.

Wacana CU

Ibu Anastasia memaparkan bahwa sistem perekonomian mempunyai peran dalam kehidupan. Meskipun sistem ekonomi Indonesia masih tertinggal dengan negara lain, contohnya Filipina. Nasionalisme memberi pengaruh dalam pemberlakuan sistem ekonomi. Hal ini ditelaah dari 2 titik ekstrim dalam sejarah ekonomi Indonesia, ialah kutub moderat yang dipengaruhi investasi asing dan kutub pribumi yang dominan memajukan bisnis dengan memajukan industri nasional. Namun, hubungan bilateral dan multilateral, mengharuskan Indonesia menganut sistem perekonomian terbuka. Banyak sistem ekonomi asing yang masuk mengakibatkan Indonesia menganut sistem campuran. Meskipun demikian pemerintah berusaha untuk mengontrol dengan mengembangkan kontrol pasar atau koperasi.

Sistem ekonomi dianggap berhasil jika semua rakyat yang bernaung dalam suatu negara ikut merasakan dampak positif. Ini sebenarnya tampak dalam CU yang mengusung ekonomi kerakyatan. Dalam perjalanan ekonomi, kenyataannya usaha kecil dan menengah (UKM) lebih bertahan. Pengalaman itu memberi pelajaran agar ada perhatian lebih untuk mengembangkan usaha kecil menjadi menengah dan yang menengah bisa semakin meningkat. Ini selaras dengan perekonomian berlandaskan kasih (bdk., Markus 12: 30-31) dan orientasi ekonomi pada kemuliaan Allah (bdk., Rom 11 :36). Kegagalan ekonomi tak lain karena manusia telah kehilangan kasih dan hidup demi kepentingan sendiri, mengejar dan memperkaya diri. Inilah sistem ekonomi yang berlaku sekarang, neo liberalisme. Sistem seperti ini perlu dikontrol dengan sistem alternatif sebagaimana pola dalam CU. Terlebih karena perekonomian dalam perspektif Kristiani berpihak pada kaum miskin (bdk., Matius 25: 34-40) dan selaras yang digambarkan dalam cara hidup jemaat perdana.

Apa yang terjadi dalam CU ialah lembaga keuangan yang di dalamnya berkumpul orang yang saling percaya dan berwatak sosial, untuk mewujudkan kesejahteraan. Prinsip utamanya swadaya, pendidikan serta gotong royong. Bebeberapa hal positif CU yang memberi manfaat ialah pendidikan agar anggota tidak boros, cakap mengelola keuangan, penggunaan manajemen terbuka dan menghindari sikap konsumtif. Modal diperoleh dari anggota yang memiliki komitmen sama. Jika diadopsi pada sistem perekonomian Indonesia, hal yang terpenting ialah modal tidak bergantung pada investasi dari luar (asing), melainkan mengembangkan usaha kecil. Karena itu, baik sekali jika Fakultas Bisnis memperkenalkan CU kepada mahasiswa sebagai sistem ekonomi yang dapat mewujudkan kesejahteraan.

Rm. A. Luluk Widyawan, Pr mengutip Ensiklik Caritas In Veritate yang kembali menyerukan komitmen Gereja pada pembangunan sebagai panggilan dari Allah untuk mewujudkan kesejahteraan. Kenyataannya, yang terjadi selama ini justru ambivalensi sistem ekonomi. Pembangunan dengan pendekatan teknologis mengakibatkan eksploitasi tak terkendali dan tata kelola buruk, yang justru menghancurkan potensi ekonomi. Gereja sebagaimana disebut Paus Benediktus XVI, khawatir karena yang terjadi hanya upaya memaksimalkan laba (rent-seeking). Terbukti bahwa manusia terancam integritasnya, modal cenderung mengalir ke negara maju atau kaum kaya dan tidak ada sumberdaya sosial dan institusional dari komunitas lokal yang dilibatkan dalam membuat keputusan ekonomi. Selain itu, kinerja bisnis bertanggungjawab hanya pada investor, manajemen bisnis hanya peduli pada pemegang saham, akibatnya kepentingan buruh tidak pernah mendapat tempat. Hal ini diperburuk dengan spekulasi keuangan yang hanya mengejar keuntungan jangka pendek sehingga mengakibatkan pengalihan modal yang menyebabkan buruknya perekonomian di suatu negara. Kenyataan yang memprihatinkan ini menunjukkan bahwa sistem ekonomi tidak pernah dapat memecahkan persoalan-persoalan sosial sendiri, karena itu ekonomi membutuhkan etika.

Kredit mikro, jika dikelola dengan baik seperti CU, merupakan bentuk sistem ekonomi yang beradab. Sembari mengingatkan bahwa ada kegiatan ekonomi mikro, memakai nama CU, tetapi tidak konsisten dengan rambu-rambu CU. Justru disinilah peran kaum rohaniwan untuk memberi seruan moral, bukan menjadi pengurus. CU tidak melulu mengejar laba, meskipun tidak mengabaikannya. Karena sebagaimana disebutkan dalam Ajaran Sosial Gereja, laba merupakan tanda bahawa sistem ekonomi berjalan baik dan menjadi jalan untuk meraih tujuan manusiawi dan sosial. Laba tetap merupakan sarana untuk mencapai tujuan pasar dan masyarakat agar lebih manusiawi. (CIV. 46).

Nota Pastoral KWI tahun 2004 menegaskan bahwa Gereja ikut serta dalam pembangunan ekonomi kerakyatan sekaligus mengentaskan kemiskinan. Pintu masuk untuk melibatkan diri terhadap situasi itu melalui gerakan CU. Gerakan CU tak lain ialah gerakan yang mengutamakan manusia, dalam komunitas, mendahulukan menabung untuk merencanakan masa depan. Sebagai tindak lanjut komitmen Gereja, pada Konpernas Komisi PSE XX tahun 2005, ada kesepahaman agar rohaniwan tidak duduk sebagai pengurus aktif, tetapi sebagai pengawas atau moderator; mengelola lembaga keuangan mikro secara profesional, transparan dan berpihak pada kaum miskin; membuat kegiatan atau keputusan dalam pertemuan anggota; menggunakan manajemen dan administrasi yang baik serta memiliki dasar hukum, sebagai landasan organisasi untuk menjamin hak dan kewajiban anggota.

Praksis CU

Selaras dengan itu, Ibu Suharni menjelaskan bahwa Koperasi Kredit, yang sering disebut Credit Union, merupakan jenis koperasi yang dibangun berdasarkan kepercayaan. Koperasi menganut asas swadaya, bertumbuh dan berkembang atas dasar kekuatan diri sendiri, dari, oleh dan untuk anggota. Dalam Koperasi Kredit, jika menjadi anggota berarti menjadi pemilik, yang perlu mengetahui hak dan kewajiban, mempunyai rasa percaya, rasa memiliki serta peduli untuk memperbesar usaha CU. Jika menjadi anggota, ia mulai untuk mengubah pola pikir dan pola hidup. Dengan menabung, seseorang membantu anggota lain yang membutuhkan. Jika meminjam pun, ia mempunyai tanggungjawab untuk mengembalikan. Jelas bahwa dengan menjadi anggota CU berarti memiliki kemauan menjadi citra Allah yang bukan kapitalistis. Karena yang terpenting ialah membangun manusia, bukan uang. Hal ini dilakukan dengan cara mengubah pikiran, membangun sikap, menjauhi pengaruh negatif dan belajar menyukai hal yang harus dilakukan. Misalnya mengubah rumus menabung yang dulu: simpanan sama dengan pendapatan dikurangi konsumsi menjadi pendapatan dikurangi simpanan sama dengan konsumsi

Bp. Heru dari CU Perekat di Bandung, mengisahkan awal di tempat kerjanya ada koperasi serba usaha. Kemudian berubah menjadi koperasi simpan pinjam. Pengalaman tersebut diterapkan di Paroki Katedral Bandung dengan memakai konsep CU. Dalam perkembangan, CU Perekat bekerjasama dengan Puskopdit Jabar mengadakan aneka pelatihan. Tahun 1998 diawali serangkaian pertemuan dengan para ketua lingkungan. Setelah 13 tahun, Komisi PSE Keuskupan Bandung, turut serta membantu. Memang semula, ia menghadapi aneka tantangan seperti pertanyaan pesimis, apa uang akan aman disimpan di CU ? apa bedanya dengan menabung di bank ? Hal semacam itu menjadi kritik yang dijawab dengan kinerja CU Perekat, sehingga semakin meyakinkan dan menarik anggota untuk masuk dalam CU.

Pengalaman

Bp. Heru sendiri merasa pengalamannya mengkuti CU seperti pengalaman spiritual mengikuti Yesus. Ia hadir ke lingkungan-lingkungan dan membangun relasi. Itulah yang disebutnya membangun dasar CU, karena rasa peduli kepada sesama. Meskipun ada tantangan, selalu ada usaha untuk mencari penyelesaian. Termasuk ketika harus melakukan pendekatan dengan Pastor Paroki dan DPP. Baginya semua tidak ada yang kebetulan, namun seolah diatur oleh Tuhan. Memang tidak mudah, karena CU mengajak orang untuk menabung, namun teknik menarik anggota dapat dibuat berdasarkan aturan. Aturan sangat penting, karena jika tidak ada sistem atau tidak ada manager, lebih baik tidak membuka tabungan. Apa yang di awal disebut sebagai spiritual, perlu didukung dengan manajemen sebagai teknis yang tidak boleh dilewatkan. Salah satu pengalamannya ketika menganalisa kemampuan membayar dari anggota yang akan meminjam, ia harus cermat. Karena meskipun ada jaminan, koperasi tidak mempunyai wewenang untuk menyita. Ia berpesan agar sebaiknya dibangun 1 koperasi saja yang didukung dengan unit pengawas dan koperasi-koperasi lain dapat melebur menjadi satu.

Ibu Suharni mengingatkan kalau memiliki niat menjadi anggota CU untuk mencari untung, lebih baik tidak perlu membentuk CU. Karena menjadi perintis memerlukan pengorbanan, terutama bagi penggerak awal. Yang terpenting ialah membangun kepercayaan untuk menarik anggota masuk dalam CU. Memang selalu ada kekhawatiran, namun hal ini perlu dijelaskan dan diatasi. Terlebih karena CU membawa semangat universal demi kesejahteraan anggota. Ia mengingatkan agar CU diurus dengan sungguh-sungguh, ada manager, karyawan, penggunaan IT dan sangat baik bila ada kantor sendiri. (disarikan dari: Notulensi Seminar CU dalam Implementasi Arah Dasar Keuskupan Surabaya di Unika Widya Mandala, Surabaya)