27 November 2010

Exposure Visit Karina Ke Keuskupan Agung Palembang

Desa Suka Pulih dan Tegal Wangi merupakan dua desa dampingan dari Yayasan Bodronoyo, lembaga sosial milik Keuskupan Agung Palembang. Kedua desa tersebut menjadi tempat yang mengundang decak kagum dan memberi inspirasi dari hasil kunjungan yang diadakan tanggal 1–6 November 2010 lalu.

Kegiatan ini disponsori oleh Karina KWI yang mengundang para peserta dari setiap keuskupan Indonesia untuk mempelajari inisiatif dan kerjasama anggota kelompok masyarakat dalam mengurangi resiko bencana. Di awal pertemuan, para peserta dibekali dengan pemahaman mengenai apa yang telah dilakukan oleh para peserta di setiap keuskupannnya. Proses ini berlangsung menarik karena para peserta diminta untuk mempresentasikan lewat gambar. Rupanya lukisan yang dibeberkan di atas kertas, menjadi hidup ketika dipresentasikan oleh wakil dari setiap kelompok. Sharing antar keuskupan, membangun inspirasi dan semangat baru agar para peserta bisa mengambil makna di balik presentasi sesamanya dari keuskupan lain.

Kegiatan Pelayanan Sosial Keuskupan Agung Palembang dijalankan secara operasional oleh Yayasan Bodronoyo. Para peserta diajak untuk melihat secara langsung apa yang telah dilakukan oleh Keuskupan Agung Palembang. Para peserta dibagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama, mengunjungi Desa Pematang Panggang dan Sukapulih, sedangkan kelompok lain berkunjung ke Purwodadi dan Cinta Manis.

Kelompok yang berkunjung ke daerah Desa Purwodadi dan Cinta Manis menyaksikan kondisi masyarakat yang sangat bersahabat dalam mengembangkan kegiatan sosial ekonomi. Mereka membangun CU untuk menopang kehidupan ekonominya. Anggota CU berasal dari berbagai agama. Persahabatan awal yang dibangun Rm. Abdi (almarhum) telah menghasilkan hadirnya lembaga keuangan mikro (CU) yang mampu menjawabi kebutuhan masyarakat di bidang keuangan. Sampai saat ini, CU yang dikelola oleh seorang haji dan kelompok muslim telah memberikan gambaran yang sangat positif terhadap hadirnya Romo Abdi dan Keuskupan Palembang dalam mengembangkan pelayanan sosial di tengah masyarakat nelayan.

Desa Suka Pulih

Sebagian besar warga Desa Suka Pulih adalah mantan gelandangan dan pengemis yang berasal dari Jakarta. Mereka mengikuti program transmigrasi yang dicanangkan oleh pemerintah. Namun dalam perkembangannya, banyak yang pulang ke Jawa karena tidak ada program pendampingan yang intensif. Romo Abdi lewat Yayasan Bodronoyo mengambil inisiatif untuk mendampingi anggota masyarakat yang masih tinggal di tempat itu. Pendampingan intensif pun mulai dilakukan dengan mengintensifkan lahan pertanian yang dibagi oleh pemerintah dengan menanam karet dan sawit. Setelah bertahan beberapa tahun, saat ini semua anggota masyarakat yang berada di Sukapulih sudah memiliki rumah permanen dan memiliki kebun karet dan kebun kelapa sawit. Kesulitan yang dirasakan terjadi ketika banjir. Mereka memperbaiki saluran agar ketika banjir, ada saluran yang menyalurkan air sehingga tidak membanjiri lahan pertanian.

Pengalaman mereka menjadi pembelajaran bahwa program pendampingan menjadi elemen yang sangat penting bagi kelompok masyarakat sederhana. Ketika mereka terjebak dalam kemampuan yang sangat terbatas dalam mengolah kondisi kehidupan, mereka sangat terbantu oleh kehadiran pekerja sosial dari Yayasan Bodronoyo, Keuskupan Agung Palembang untuk mengarahkan, menuntun dan member petunjuk agar bisa mengatur kehidupan menjadi lebih baik. Ternyata hasil pendampingan para pekerja sosial dari Yayasan Bodronoyo, meningkatkan harga diri mereka sehingga memiliki rumah, lahan pertanian, lahan perkebunan yang bisa dimanfaatkan untuk peningkatan kualitas kehidupan. Setelah berada bersama masyarakat Suka Pulih, peserta berkunjung ke Tegal Wangi.

Desa Tegal Wangi

Setelah bertemu dengan warga Sukapulih, kami beranjak ke Pematang Panggang. Tiba di Pematang Panggang, kami beristirahat sejenak. Kemudian berangkat dengan ojek menuju Tegal Wangi. Jalan berlumpur dan melewati kebun karet di kegelapan malam, menjadi pengalaman menarik. Setibanya di Tegalwangi, kami diterima oleh aparat desa dan anggota masyarakat. Obrolan awal pun dimulai dengan ucapan selamat datang oleh kepala desa. Mereka memberikan gambaran tentang awal keberadaan mereka di Tegal Wangi.

Awalnya hanya beberapa orang datang ke tempat ini. Mereka berasal dari daerah konflik Aceh, Ambon dan Timor-Timur. Dengan bimbingan Rm. Abdi, para pendatang membawa bambu untuk membangun rumah sederhana. Berbekal lahan 2 hektar yang diserahkan pemerintah setempat, mereka mulai diajak untuk mengolah tanah tersebut. Awalnya, mereka sangat kesulitan. Namun pendampingan para pekerja sosial, sangat membantu mereka untuk terus bertahan dalam kesulitan hidup. Lewat pendekatan yang intensif, mereka mulai menanam karet. Persoalannya, mereka harus menunggu waktu 6 tahun sebelum panen. Proses ini merupakan masa yang sulit. Mereka bisa bekerja di lahan karet sesama, sambil mengerjakan kebun. Situasi ini bertahan sampai sekitar 6 tahun.

Ketika mereka mulai panen karet, Rm. Abdi mengambil inisiatif untuk mendirikan Credit Union. Dengan demikian, uang yang terbatas ditabung di CU. Ketika jumlahnya sudah mencukupi, mereka pun meminjam untuk kegiatan ekonomi lainnya. Wajar apabila saat ini, ketika mereka panen, mereka bisa membeli sepeda motor, membangun rumah, menyekolahkan anak dan memperhatikan gizi, sehingga secara fisik mereka nampak lebih sehat. Kisah sukses ini, bukan berarti tanpa kesulitan. Ketika kemarau panjang , mereka merasakan kesulitan air. Saat ini mereka sedang membangun waduk untuk persediaan air bersih. Persediaan air memang cukup, namun dibutuhkan sentuhan teknologi agar air yang sudah dikumpulkan dapat dialirkan kepada warga. Warga Tegal Wangi saat ini, siap menikmati kondisi hidup yang lebih baik. Wajar bila modal yang ada di CU Abdi Dalem, yang dibangun sejak 2005, saat ini asetnya sudah sebesar Rp. 12 Milyar. Sebuah angka yang terbilang sangat besar untuk sebuah desa yang bernama Tegal Wangi.

Mereka bukan hidup tanpa kecemasan. Tanah yang mereka miliki hanya hak pinjam pakai tanah. Tanah tersebut berada di hak Hutan Pelindung. Bisa terbuka kemungkinan, sertifikat yang sudah mereka miliki dibatalkan oleh campur tangan dari "atas". Saat ini ada gerakan dari warga membahas hal ini secara lebih detil. Harapannya, mereka bisa mendapatkan sertifikat dan pengakuan dari pemerintah tentang hak atas tanah yang menjadi lahan untuk kehidupan dan kesejahteraan.

Butir Pembelajaran

Pertama, adanya daya tahan untuk bertahan dalam kesulitan hidup. Banyak orang yang tidak tahan berada dalam situasi sulit yang berkepanjangan. Warga Suka Pulih dan Tegal Wangi sudah bertahan. Mereka pun sudah menikmati hidup setelah mereka diuji situasi sulit. Mereka berada dalam kondisi ditempa oleh guru kehidupan. Ketika mereka keluar dari situasi sulit, mereka akan bijaksana menggunakan uang yang mereka dapatkan lewat tetesan keringat.

Kedua, kehadiran para pendamping atau pekerja sosial di tengah masyarakat sederhana sangat dibutuhkan. Ketika masyarakat mengeluh, pendamping mampu mengarahkan keluhan kepada penyelesaian masalah secara kreatif. Ketika masyarakat tidak mampu membuat langkah inovatif, para pekerja sosial pun membantu meningkatkan kemampuan mereka. Ketika masyarakat tidak mampu mengelola keuangan, para pendamping mengarahkan mereka untuk menabung di Credit Union. Ketika kondisi keuangan belum cukup, mereka membatasi keinginan mereka untuk tidak membelanjakan keuangan tersebut untuk sesuatu yang tidak terlalu penting.

Ketiga, mereka berada di wilayah yang jauh dari tawaran iklan kenikmatan. Iklan sering menjadi pintu masuk keinginan, sehingga uang yang sudah ditabung, sering digunakan untuk membiayai keinginan yang kurang bermanfaat. Mereka bisa bertahan untuk hidup apa adanya walaupun mereka memiliki cukup uang yang tersimpan di Credit Union. Masyarakat dituntun untuk memanfaatkan dana dalam sebuah gerakan Koperasi Kredit.

Yayasan Bodronoyo Keuskupan Agung Palembang, memainkan peran yang sentral bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat Suka Pulih dan Tegal Wangi. Peserta pun bisa belajar banyak tentang program pendampingan bagi masyarakat sederhana.