25 Oktober 2010

Pelatihan Sphere Dengan Pengarusutamaan Gender

Karina Keuskupan Surabaya baru saja mengikuti Pelatihan Sphere Dengan Pengarusutamaan Gender. Pelatihan yang diadakan di Bandung, 11-13 Oktober 2010 diselenggarakan oleh Trocaire.

Pelatihan ini diikuti 8 lembaga yaitu: Karina KWI yang menunjuk Karina Surabaya dan Caritas Bandung masing-masing 1 orang, Pusat Studi Manajemen Bencana, UPN Yogyakarta 3 orang, Keluarga Peduli Pendidikan Bandung (KPPB) 2 orang, Management Crisis Center (MCC) Aceh 2 orang, Trocaire sendiri sebagai pihak penyelenggara 5 orang dari Timor Leste, Ibu Foundation sebagai panitia dan pemateri 3 orang, Dinas Kesehatan Kota Cimahi 2 orang dokter serta Kementrian Sosial Timor Leste 2 orang. Total peserta ada 21 orang, termasuk 1 orang suster dan 1 orang Pastor dari Timor Leste utusan dari Trocaire. Perwakilan Karina dari Surabaya yaitu Martinus Sapto dan dari Bandung bernama Aty.

Setelah berangkat dari Madiun hari Minggu, 10 oktober 2010 jam 19.30, sampai di Bandung jam 06.30. Perjalanan langsung dilanjutkan menuju lokasi pelatihan registrasi. Senin, 11 oktober 2010, kegiatan dimulai jam 08.30 dengan pembukaan dan perkenalan. Perkenalan dilakukan dengan game, di mana tiap peserta diminta menggambarkan dirinya dan selanjutnya diacak untuk ditukarkan. Kemudian masing-masing peserta mencari pemilik gambar tesebut, selanjutnya diminta menyebutkan nama pemilik yang dipegang untuk maju satu persatu bergantian dengan peragaan.

Setelah break sebentar dilanjutkan dengan sesi Pengantar Sphere, Piagam Kemanusiaan dan Kode Etik. Dalam sesi ini diputarkan film tentang bencana yang terjadi dari seluruh dunia. Selanjutnya tanya jawab tentang apa yang dilakukan saat terjadi bencana berdasarkan pengalaman yang pernah dilakukan di lapangan. Ada pula peragaan tentang Mr. Hak Asasi Manusia yang mengajarkan bahwa siapa saja yang harus dibantu, penempatan masyarakat pada lokasi aman dengan cara bermartabat terutama kepada mereka yang layak mendapatkan pertolongan. Miss Bantuan yang menghadapi pemanggul senjata dan non pemanggul senjata mengajarkan bahwa, siapa saja, meskipun bukan tentara, kalau ikut berperang dan membawa senjata adalah pemanggul senjata. Sedangkan yang tidak ikut berperang adalah non pemanggul senjata. Mereka yang ikut berperang maupun yang tidak, juga diberi bantuan apabila benar-benar membutuhkan. Mr. Pengungsi mengingatkan jangan sampai pengungsi diusir paksa. Misalnya ada warga negara lain yang karena konflik, perang atau apapun bencananya, kemudian minta perlindungan ke negara lain, tidak boleh diusir. Mereka harus ditampung dan diberi bantuan yang layak.

Setelah makan siang, dilanjutkan dengan sesi Pengantar Pengarusutamaan Gender dalam tanggap darurat. Metode yang dipakai diskusi kelompok. Peserta dibagi menjadi 3 kelompok untuk diskusi, kemudian mempresentasikan tugas kelompok. Intinya saat melakukan pertolongan dalam tanggap darurat, siapa yang diprioritaskan terlebih dahulu dan juga peranan dari laki-laki maupun perempuan dalam lokasi bencana perlu dicek, apakah sudah sesuai porsi. Jangan sampai ada ketidakadilan. Hal ini untuk menghindari perpecahan. Jadi, saat memberi bantuan harus tepat sasaran. Misalnya ada bencana gempa bumi atau banjir, kita langsung saja mengirim pakaian, padahal yang dibutuhkan air bersih atau makanan. Akhirnya pakaian menumpuk dan tidak bermanfaat. Hari pertama selesai jam 16.30. Saat makan malam ada acara bertukar kado yang telah dibawa masing-masing peserta untuk keakraban.

Selasa, 12 Oktober 2010, hari kedua dimulai dengan merefleksikan pelatihan hari pertama. Para peserta diminta menyebutkan apa yang sudah diperoleh pada hari pertama. Selanjutnya berkeliling untuk mengurutkan dari awal sampai selesai kegiatan hari pertama pada selembar kertas. Setelah itu dilanjutkan sesi Standar umum Sphere untuk semua sektor. Ada 8 Standar umum yaitu partisipasi, kajian awal, respon, penentuan sasaran, pemantauan, evaluasi, kompetensi dan tanggung jawab pekerja kemanusiaan, supervisi, manajemen dan dukungan terhadap personel. Dalam sesi ini para peserta diberi kuis untuk menjawab pertanyaan yang diberikan dan dimasukkan kategori tersebut.

Kemudian sampai pada Sesi Standar Sphere dalam sektor air bersih, sanitasi dan penyuluhan. Sesi ini dilakukan dengan metode diskusi kelompok kemudian presentasi. Peserta diminta memikirkan sektor air bersih, sanitasi juga penyuluhan kebersihan. Dalam sektor air bersih dijelaskan dari mana pasokan air bersih, berapa liter kebutuhan per orang, pemilihan sumber air bersih, pengukuran, kuantitas dan kualitas, cakupan, jumlah maksimum pengguna air bersih di tiap–tiap sumber air, waktu antrian serta akses dan kesetaraan. Hal–hal tersebut di atas harus diperhatikan. Pasokan air bersih perorangan yaitu 7,5–15 liter/hari yang meliputi: keperluan bertahan hidup, pasokan air (minum dan pangan) 2,5–3 liter/hari tergantung pada iklim dan ciri–ciri jasmani perorangan. Praktek–praktek kebersihan dasar 2–6 liter/hari tergantung pada norma–norma sosial dan budaya. Kebutuhan dasar untuk memasak 3–6 liter/hari, tergantung pada jenis makanan, norma–norma sosial dan budaya.

Pemilihan sumber air bersih perlu mempertimbangkan ketersediaan dan keberlanjutan air bersih dalam jumlah yang memadai. Termasuk apakah diperlukan sarana pengolahan air. Jika diperlukan, apakah langkah ini memungkinkan berkenaan dengan ketersediaan waktu, teknologi atau pendanaan yang diperlukan untuk mengembangkan sumber air. Penting pula mempertimbangkan kedekatan antara sumber air dengan penduduk yang terkena dampak bencana dan faktor–faktor sosial, politik atau hukum yang terkait dengan sumber air tersebut. Tak ketinggalan, jarak terjauh antara rumah tangga dan titik air terdekat sebaiknya 500 meter, lama antrian di sumber air sebaiknya tidak melebihi 15 menit dan untuk memenuhi tempat air dengan volume 20 liter sebaiknya tidak lebih 3 menit.

Beberapa standar ukuran sebagai berikut, memperhatikan jumlah maksimum pengguna air bersih di tiap–tiap sumber air ialah: 250 orang/kran berdasar pada aliran 7,5 liter/menit, 500 orang/pompa tangan berdasar pada aliran 16,6 liter/menit dan 400 orang/sumur terbuka dengan 1 timba berdasar pada aliran 12,5 liter/menit. Untuk pembuangan tinja, maksimal 20 orang 1 jamban dan sebaiknya dipisahkan menurut jenis kelamin demi mengantisipasi terjadinya pelecehan terhadap kaum perempuan. Jarak jamban sebaiknya 30 meter dari sumber air tanah. Dasar jamban paling tidak 1,5 meter di atas sumber air, bawah tanah. Sedangkan penggerak penyuluhan kebersihan, idealnya ada 2 orang untuk setiap 1.000 orang penduduk.

Setelah makan siang, dilanjutkan sesi Standar Sphere dalam bantuan pangan, ketahanan pangan dan nutrisi. Bantuan pangan tidak boleh asal membantu makanan tetapi memperhatikan kalori, gizi sehingga tidak berdampak buruk bagi korban bencana yang rentan oleh penyakit. Perlu juga dilihat ketahanan pangan, apakah masih tersedia bahan pangan di lokasi bencana serta sarana yang ada. Ketahanan pangan tercapai ketika semua orang setiap saat mempunyai akses fisik dan ekonomis terhadap pangan yang cukup, aman, dapat hidup sehat serta beraktifitas.

Acara dilanjutkan dengan sesi Standar Sphere dalam hunian dan bantuan non pangan. Pada sesi ini peserta juga dibagi menjadi 3 kelompok untuk membuat tempat pengungsian bagi korban bencana. Hunian dapat berupa tenda atau ditempatkan dalam gedung, maupun bangunan yang jauh dari bencana.

Standar hunian meliputi:

1. Perencanaan Strategis: solusi hunian dan penampungan yang sudah ada hendaknya dijadikan prioritas. Pelaksanaannya dapat berupa pemulangan atau penampungan warga yang terkena dampak bencana dengan memperhatikan keamanan dan kesehatan serta menjamin kesejahteraan warga.

2. Perencanaan Fisik: praktek perencanaan sedapat mungkin memperhatikan kemungkinan akses dan penggunaan tempat hunian yang aman dan terjamin meliputi pelayanan dan sarana sarana dasar. Tak ketinggalan memastikan privasi dan pembatasan antara hunian satu rumah tangga dengan hunian lainnya.

3. Ruang Tinggal yang Tertutup: warga mendapat hunian dengan naungan tertutup yang memadai, untuk dijadikan tempat tinggal yang bermartabat.

4. Rancang Bangun: rancang bangun tempat hunian dapat diterima oleh penduduk yang terkena dampak bencana dan memberikan kenyamanan. Perlu pula memperhatikan suhu yang memadai, udara segar dan perlindungan dari cuaca untuk memastikan martabat, kesehatan, keamanan dan kesejahteraan penghuni.

5. Pembangunan: pembangunan memakai pendekatan sesuai dengan praktek pendirian bangunan setempat yang aman.

6. Dampak Lingkungan: dampak negatif lingkungan ditekan melalui pengaturan rumah tangga, pengadaan bahan serta penggunaan teknik pembangunan dengan cara seksama.

Sementara untuk standar barang bantuan non pangan meliputi:

1. Pakaian dan Perlengkapan Tidur: orang yang terkena dampak bencana hendaknya mempunyai pakaian, selimut dan perlengkapan tidur yang memadai untuk memastikan martabat, keselamatan dan kesejahteraan mereka. Untuk bayi dan anak–anak di bawah 2 tahun hendaknya mempunyai selimut berukuran minimum 100 cm X 70 cm.

2. Kebersihan Pribadi: setiap rumah tangga yang terkena dampak bencana mempunyai akses yang memadai terhadap sabun dan barang lainnya, untuk memastikan kebersihan, kesehatan, martabat dan kesejahteraan. Setiap orang hendaknya mempunyai akses terhadap 250 gram sabun mandi setiap bulan dan 200 gram sabun cuci setiap bulan. Bayi dan anak–anak hingga usia 2 tahun, hendaknya mempunyai 12 popok yang bisa dicuci atau popok sekali pakai, sesuai dengan kebiasaan setempat.

3. Piranti Memasak dan Makan: setiap rumah tangga yang terkena dampak bencana hendaknya mempunyai akses terhadap piranti untuk memasak dan makan.

4. Kompor, Bahan Bakar dan Penerangan: masing–masing rumah tangga yang terkena dampak bencana dipastikan mempunyai akses terhadap sarana memasak bersama atau satu kompor per keluarga. Termasuk akses terhadap pasokan bahan bakar untuk keperluan memasak dan untuk menjaga kehangatan.

5. Piranti dan Peralatan: masing–masing rumah tangga yang terkena dampak bencana, ada yang bertanggung jawab untuk melaksanakan pembangunan, pemeliharaan dan penggunaan hunian secara aman, serta mempunyai akses terhadap peralatan yang diperlukan. Setelah masing–masing kelompok berdiskusi dan mempresentasikan hasilnya maka dilanjutkan dengan evaluasi harian.

Rabu, 13 Oktober 2010, kegiatan hari ketiga diawali dengan review dan refleksi kegiatan sebelumnya. Peserta diajak bermain membetuk 2 kelompok berdiri saling berhadapan. Mereka diajak adu cepat mengambil sebuah boneka yang diletakkan di tengah. Masing–masing peserta harus berebut dengan menyebutkan nomer urut yang diberikan. Mereka yang kalah diberi pertanyaan seputar materi hari sebelumnya.

Kemudian dilanjutkan ke Standar Sphere dalam layanan kesehatan. Peserta diberi 2 lembar kertas yang sudah diberi tulisan dan diminta untuk menempelkan pada papan sesuai dengan bagian yang ditentuka, yaitu: sistem dan infrastruktur kesehatan, pengendalian penyakit menular dan pengendalian penyakit tidak menular. Penempelan harus tepat sesuai dengan Standar Sphere sehingga peserta diharapkan bisa membaca dan memahami lebih baik.

Setelah break sejenak dilanjutkan dengan sesi Standar Sphere dalam persiapan bencana. Pada sesi ini peserta yang sudah dibagi menjadi 3 kelompok mendiskusikan persiapan apa yang harus dilakukan sebelum terjadi bencana. Misalnya ada peringatan dini, jalur evakuasi, lokasi evakuasi yang mudah ditempuh atau dijangkau, lokasi aman dan lain–lain. Hasil diskusi ditempel dan dipresentasikan untuk didiskusikan bersama sehingga saling melengkapi.

Sesi Standar Shere berikutnya berkaitan dengan kegiatan tanggap darurat. Peserta yang sudah dibagi menjadi 4 kelompok diberi kasus simulasi bencana. Ialah situasi banjir bandang yang terjadi di tiga desa dalam satu kecamatan. Masing–masing kelompok diberi tugas untuk memberi pasokan air bersih, memberikan pelayanan kesehatan dan gizi, memberi pasokan pangan dan membuatkan tempat hunian. Sebelumnya sudah ada informasi tentang jumlah korban dan jumlah jiwa. Tetapi karena pihak donor minta minta data yang akurat, maka lembaga melengkapi dengan data–data yang diperlukan.

Data pelengkap itu misalnya jumlah kaum lelaki dan perempuan, termasuk anak–anak dan orang dewasa. Termasuk jumlah ibu hamil, jumlah ibu menyusui, jumlah korban yang rumahnya rusak atau roboh, pasokan pangan serta air bersih. Jika masih ada pasokan pangan di desa, bertahan berapa hari, berapa minggu atau bulan, kesediaan pangan untuk bertahan. Demikian pula sumber air, sanitasi yang ada dan pelayanan kesehatan. Dengan demikian, data yang didapat sungguh akurat untuk selanjutnya dikaji dan disampaikan kepada donor sesuai kebutuhan masyarakat.

Begitu mendapatkan informasi yang benar, tepat sasaran dan sesuai kebutuhan, maka lembaga sebaiknya segera membuat dan menghitung anggaran dana berdasarkan kebutuhan masyarakat terdampak bencana. Pemberian bantuan diharapkan tidak menimbulkan perpecahan dan masalah. Terlebih, jangan sampai masyarakat menjadi korban untuk kedua kalinya, hanya karena pasokan pangan atau bantuan tidak sesuai standar Sphere karena terjadi keracunan. Masyarakat terdampak harus mendapatkan bantuan yang layak dan nyaman.

Dengan simulasi tersebut peserta diharapkan semakin memahami maksud Pelatihan Sphere Dengan Pengarusutamaan Gender. Harapannya dalam penanganan di lokasi bencana, apa yang dilakukan sungguh sesuai Standar Sphere. Akhirnya, seluruh rangkaian kegiatan selesai setelah diadakan pembagian sertifikat dan foto bersama. (Martinus Sapto, relawan Karina Posko Madiun)