21 November 2008

Jejaring Tanggap Darurat Karina Keuskupan Surabaya


Jatadar, apalagi? Merupakan kependekan dari Jejaring Tanggap Darurat. Pada tanggal 8-9 November 2008 lalu bertempat di Wana Wisata Wungu, Kresek, Madiun, tepatnya di sisi barat selatan lereng gunung Wilis digelar diklat Jatadar yang diadakan olah Karina Keuskupan Surabaya.

Jatadar kali ini merupakan kesempatan pelatihan perdana. Alasan diadakannya pelatihan ini tak lain ialah pengalaman banjir yang melanda serentak 5 paroki dan 1 stasi di Keuskupan Surabaya, yaitu: Paroki Ponorogo, Ngawi, Madiun, Cepu, Bojonegoro dan stasi Lamongan. Saat itu tidak ada tim khusus yang dapat digerakkan secara taktis untuk terlibat dalam penanganan korban banjir. Kebetulan saat itu banjir terjadi di akhir bulan Desember, dimana anak-anak muda sedang menjalani liburan sekolah maupun kuliah. Situasi seperti itu tidak boleh dibiarkan, mengingat sebagian dari wilayah Keuskupan Surabaya harus diakui rawan bencana, yaitu kelima wilayah yang terkena banjir sebagaimana disebut di atas serta wilayah rawan bencana gunung Kelud di paroki Pare, Wlingi, Blitar dan Kediri, serta stasi Porong yang masih saja rawan bencana semburan lumpur. Maka pembentukan Jejaring Tanggap Darurat di Keuskupan Surabaya sangat strategis peran dan fungsinya.

Sebanyak 70-an anak muda hadir dalam pelatihan Jatadar tersebut. Hampir sebagian besar di dominasi kaum lelaki. Peserta terbanyak berasal dari Paroki St. Mateus, Pare sedangkan satu-satunya vikep yang tidak mengirimkan peserta ialah Vikep Surabaya Utara.

Sejak pagi jam 11.00 mereka meninggalkan tempat transit di Paroki St. Cornelius Madiun, diantar dengan bis rombongan bergerak menuju kawasan wana wisata Kresek, Wungu. Sesampai di sana, mereka terlibat dalam perkenalan dan makan siang. Sesudah itu, acara dilanjutkan dengan materi Spiritualitas Penolong yang dibawakan Rm. Hardi Aswinarno, Pr. Dalam bahasannya, Rm. Hardi mencuplik beberapa seruan Kitab Suci untuk menggerakkan para peserta memiliki semangat kepedulian dan belarasa kepada para korban, antara lain seruan: “Jika Aku telanjang, hendaknya engkau memberi aku pakaian, jika aku dalam penjara, hendaknya engkau mengunjungi aku …dan seterusnya”. Seruan Yesus itu dapat dikatakan seruan radikal yang justru semakin langka dimiliki oleh generasi jaman ini yang lebih suka apa yang enak dan menguntungkan bagi dirinya saja. Padahal Yesus mengatakan itu kepada semua umat yang telah dibaptis. Maka yang diminta ialah jawaban atau bukti nyata dalam karya.

Selain itu, Rm. Hardi mengisahkan pengalamannya saat memberikan bantuan kepada para korban banjir yang sungguh kasihan karena terpaksa naik ke atas atap rumah, sementara banjir memporakporandakan seisi rumah. Saat di atas rumah dengan pelindung seadanya hujan masih menguyur, kilat menyambar-nyambar bahkan ada yang melindungi diri justru dengan seng yang rawan ketika terkena petir.

Sementara itu, Rm Luluk Widyawan, Pr yang hadir saat acara berlangsung dimintai keterangan tentang diadakannya acara tersebut. Tak lain karena menurut beliau, “Panenan melimpah, pekerja sedikit”. Dikisahkannya, saat banjir mendadak melanda 5 paroki di Keuskupan Surabaya ia menerima telpon dari para romo paroki itu. Ia lalu mengadakan koordinasi sebisanya dengan beberapa paroki dan kontak person yang bisa dimintai bantuan dan mengirimkan bantuan. Ketika diketahui banjir semakin parah, maka Vikjen, Rm. PC. Edi Laksito, Pr mengundangnya untuk berkoordinasi memutuskan Keuskupan Surabaya membuka rekening bencana. Setelah disepakati, maka Rm. Luluk segera menyebarkan informasi tersebut ke jaringan PSE se-Regio Jawa dan paroki serta lembaga di Keuskupan Surabaya. Sejak dipublikasikan maka bantuan dalam rupa dana dan barang mengalir dengan cepat dan melimpah.

Saat itu diputuskan untuk mengirim bantuan dana ke paroki-paroki dan mengkoordinasi pengiriman barang secara bertahap dan terkoordinasi. Tak jarang beras di lokasi banjir habis, dana untuk menolong korban habis sehingga segera ada koordinasi untuk mengirimkan bantuan kembali. Tidak sedikit pula bantuan yang langsung ditujukan ke paroki tersebut. Namun melimpahnya sumbangan barang dan dana tak diimbangi dengan jumlah relawan yang seimbang, saat itu hanya mengandalkan beberapa anak muda dan relawan paroki serta kelompok sosial di Jalan Kinibalu dan bahkan para guru Yayasan Yohanes Gabriel.

Pengalaman itu membuat PSE sekaligus Karina Keuskupan Surabaya belajar agar dalam pelaksanaan penanganan bencana di kemudian hari lebih tertata dan memiliki tim yang cair dan solid sehingga ketika bekerjasama di medan bencana akan efektif dan efisien. “Kita bukan di bagian pemecah masalah, karena peran itu mestinya dimainkan pemerintah, namun kita di bagian ikut berpastisipasi dalam memecahkan masalah, karena kalau kita diam saja ada saudara-saudara yang terkena bencana, kok ya tega”, demikian beliau menambahkan. Sambil mengutip seruan Paulus, iman tanpa perbuatan adalah mati.

Sesion berikutnya ialah pengenalan dari para aktivis Katolik di palang merah. Mereka memperkenalkan bagaimana memberi pertolongan pertama kepada korban. Jika korban terluka maka harus segera dibalut, jika ada bagian tubuhnya yang patah maka harus segera diberikan penopang dari kayu. Termasuk jika para korban pingsan maka harus dirangsang dengan bau-bau an, dibawa ke lokasi yang teduh dan udara bisa masuk. Selain itu para peserta mendapat materi bagaimana membuat tandu sederhana dan bagaimana mengangkat korban agar tidak justru menimbulkan rasa sakit.

Acara berikutnya dilanjutkan dengan mandi dan parayaan Ekaristi. Misa di bawah tenda dan suasana hutan itu dipimpin Rm. Siprianus Yitno, Pr, PSE / Karina Vikep Cepu. Dalam kata pengantar Rm. Yitno mengungkapkan bahwa para peserta harap rela untuk menjadi bait Allah, kediaman Allah dengan menjadi penolong bagi sesama yang menderita. Sebagaimana Yesus membongkar bait Allah namun akan mendirikannya kembali dalam tiga hari, maka para peserta hendaknya mau membongkar ketakutan untuk menolong, takut ditolak, takut dianggap melakukan kristenisasi ketika hendak menolong, karena sebagaimana pengalaman para relawan dan para romo yang terlibat dalam penanganan korban banjir justru ketakutan itu tidak terbukti secara signifikan, yang terjadi ialah yang menolong lebih baik itu yang sungguh dibutuhkan para korban.

Setelah misa diadakan makan malam bersama. Usai makan malam, para peserta mendapatkan materi SAR darat yaitu memberikan pertolongan di darat, di area tebing dan bergunung, menyelamatkan korban dengan naik dan turun lokasi yang terjal. Selain itu diperkenalkan beberapa peralatan untuk melakukan flying fox, repelling serta menggunakan peralatan tersebut dengan safety. Para peserta juga diperkenankan mencoba beberapa peralatan dengan bimbingan aktivis Mapasadha. Sesion berikutnya ialah materi SAR air. Para peserta diajak untuk mengenal perahu karet yang dimiliki oleh Karina Keuskupan Surabaya. Mereka diajak mengenal bentuk perahu, membuka serta mengisi angin. Selain itu juga diperkenalkan beberapa piranti, berupa tali untuk menarik dan membuat penghubung tepi sungai, dayung dan cara mendayung. Tak ketinggalan penggunaan pelampung yang hendaknya mengikatkan tali-tali yang ada sehingga pelampung menyatu dengan tubuh dan dapat ditarik jika membutuhkan pertolongan.

Malam itu kegiatan ditutup dengan doa bersama dan beberapa perwakilan paroki dipilih untuk menjadi kontak person vikep masing-masing. Setelah terkumpul perwakilan dari 7 Vikep maka koordinaksi mereka dibawah koordinator Emergency Response Team Karina Keuskupan Surabaya, Sdr. Yoseph Hanny Hendra Wardana. Mereka yang selanjutnya disebut coordinator ERT Kevikepan, sebagai berikut: Kevikepan Surabaya Barat, Vincentius Bambang, 081703137979; Surabaya Selatan, Tri Mei A, 031 60838535; Surabaya Utara tidak ada yang hadir, Kevikepan Cepu, Lambertus Yuda S, 081325127198, Kediri, F.A. Yunianto, 0354 7080731, Kevikepan Blitar, Yovianus Prahara, 081615819808, Kevikepan Madiun, yang juga koordinator ERT Karina Keuskupan Surabaya J. Hany Hendra W, 0351 7807809.

Pagi mulai disinari matahari, para peserta diajak untuk melakukan pemanasan terlebih dahulu. Usai mandi dan sarapan nasi pecel, kini saatnya para peserta mempraktekan apa yang telah didapat pada hari sebelumnya. Diawali dengan briefing dari Rm. A. Luluk Widyawan, Pr yang menjelaskan koordinasi dalam penanganan bencana. Jika suatu paroki terkena bencana dan butuh bantuan karena tidak mampu mengatasi sendiri, maka koordinator paroki yang berkoordinasi dengan Pastor Paroki dan Seksos paroki dapat menghubungi Rm. A. Luluk dan Sdr. Yoseph Hanny. Untuk menjalin jejaring dengan Keuskupan dan pihak luar Keuskupan dilakukan oleh Rm. Luluk, sedangkan koordinasi tim ERT serta pergerakan tim dilakukan oleh Sdr. Hanny. Rm Luluk akan mengusahakan dana dan lobi ke luar sedangkan mobiliasasi tim Karina, penjadwalan 3 hari pertama vikep mana yang turun, lalu 3 hari berikutnya vikep mana yang turun akan dilakukan oleh Sdr. Hanny. Hal ini demi keefektifan karya dan pelibatan sebanyak mungkin jejaring sehingga terjadi sinergi yang berdaya guna. Rm. Luluk mengingatkan agar dalam pelatihan yang sifatnya masih berlatih itu tidak ada peserta yang terluka atau patah tangan atau kaki, karena masih berlatih.

Selanjutnya peserta sebanyak 70-an itu dibagi dalam tiga kelompok. Masing-masing kelompok diajak untuk melengkapi diri dengan mempraktekkan SAR darat, SAR air serta pertolongan di daerah bergung dengan flying fox dan repelling. Memang pertama-tama bukan skill, namun kebersamaan mereka para relawan, dengan perjumpaan maka terjadi pencairan suasana untuk saling mengenal dan menolong dalam pelatihan. Sesudah makan siang, kembali peserta diajak untuk melakukan simulasi menolong secara lengkap, yaitu menjemput dengan perahu korban di seberang waduk, lalu membalutnya, membawanya dalam tandu dengan lebih dahulu merancang kemudian menurunkan korban ke perahu karet dan membawanya kembali ke seberang yang diandaikan sebagai lokasi aman. Para peserta pun dengan semangat memerankan simulasi di bawah rintik hujan. Tampak kesungguhan, solidaritas dan kekompakkan dari para peserta yang tidak lagi kaku untuk bekerjasama satu dengan yang lain. Harapannya kelak ketika bersama-sama turun memberikan pertolongan mereka akan bekerjasama dengan mudah, efektif dan efisien.

Sampai pukul 16.00, para peserta telah lengkap mendapatkan aneka pelatihan dan praktek memberikan pertolongan kepada para korban. Hujan yang siang itu mulai membasahi area latihan tidak menyurutkan semangat kaum muda dari berbagai paroki itu. Mereka akan berseru keras dan penuh semangat ketika fasilitator berteriak: "Karina…., dijawab serempak Kita Semua!!. Atau Jatadar…, dijawab serempak Kariyo!!" Diakhir acara diadakan doa bersama dan berkat oleh Rm. Sabas Kusnugroho, Pr, dari unit Pengurangan Resiko Bencana Karina Keuskupan Surabaya. Semoga benih yang disebar di area Wana Wisata Wungu, Kresek di lereng gunung Wilis itu tumbuh mekar menghasilkan buah-buah yang indah berupa kasih kepada para korban.