26 September 2008

Dari Hari Pangan Ke Gerakan Pangan

Sambutan Ketua Komisi PSE Pada Peringatan Hari Pangan Sedunia 2008
Keuskupan Surabaya

Suatu siang seorang teman petani muda dari desa Carangrejo, Ponorogo mengirimkan sms, ”Romo berdiri antri sejak jam 10 cuma dapat 1 sak pupuk. Sudah harganya mahal, antrinya lama, tidak cukup untuk memupuk”.

Demikianlah, sms itu mewakili pahit getir dan pilunya dunia petani dan dunia pertanian. Hal lain yang menggarisbawahi buruknya keadaan petani dan dunia pertanian sebagaimana yang biasa terdengar antara lain tentang pupuk dan pestisida yang mahal dan sulit didapat, terjebaknya petani pada pengijon, gagal panen, kekeringan, irigasi buruk yang memaksa petani mengeluarkan tambahan biaya menyedot air, banjir yang merusak lahan pertanian, hasil panen yang selalu habis untuk menutup hutang karena biaya tanam tinggi, hingga biaya tanam yang terus naik, sedangkan kenaikan harga dasar gabah di pasaran lebih banyak dinikmati pengusaha dan pedagang. Itupun jika panen berhasil, belum lagi jika gagal panen.

Data Departemen Pertanian tahun 2000 menunjukkan, sebanyak 88 persen rumah tangga petani hanya menguasai lahan sawah kurang dari 0,5 hektar. Dengan luas lahan ini, petani hanya mendapatkan semusim antara Rp.325.000 hingga Rp.543.000 atau hanya Rp.81.250 hingga Rp. 135.000,- per bulan. Data Biro Pusat Statistik tahun 2003 menunjukkan 56,5 % dari 25,4 juta keluarga petani yang ada di Indonesia adalah petani gurem, yang memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar. Padahal untuk sekedar survive petani minimal harus memiliki lahan 1 hektar. Maka tidak heran, bahwa hampir 60 persen dari petani Indonesia adalah masuk dalam kategori miskin (pendapatan di bawah $ 2 per hari).

Sementara itu, di sisi lain rawan pangan menjadi isu yang memprihatinkan. Rawan pangan diakibatkan oleh tidak terpenuhinya target ketersediaan pangan bagi rakyat. Hal ini bisa dilihat dari jumlah produksi beras nasional. Produksi gabah pada tahun 2004 adalah sebesar 54,06 juta ton (BPS, 2004). Dengan asumsi produksi sebesar 55 %, maka akan dihasilkan 29,733 juta ton beras. Apabila menggunakan asumsi kebutuhan beras rakyat Indonesia adalah 133 kg perkapita, maka beras yang dibutuhkan untuk 220 juta penduduk adalah 29,26 juta ton per tahun. Tentunya, berdasarkan produksi gabah pada tahun 2004, bisa dikatakan bahwa kebutuhan pangan seluruh rakyat Indonesia dapat tercukupi dengan baik. Tetapi, fakta menunjukkan lain. Sepanjang awal 2005 lalu kasus gizi buruk dan busung lapar bermunculan. Bahkan diyakini, masih banyak rakyat yang menderita karena masalah pangan.

Pangan di Indonesia, tidak serta merta disediakan oleh pemerintah melalui Badan Urusan Logistik. Tetapi petani yang jumlahnya hampir 60 % dari seluruh penduduk yang bersusah-payah menyediakan pangan tersebut. Ironisnya, sebagai produsen pangan, petani juga sekaligus menjadi korban dari rawan pangan. Mereka adalah petani miskin yang hidup di pedesaan. Di Jawa Timur, petani menyumbang 20 persen dari kebutuhan beras nasional. Sayangnya, kontribusi pertanian pada struktur perekonomian hanya 16,47 persen. Jauh di bawah sektor indutri yang menyumbang 24, 62 persen.

Gambaran suram dunia petani dan pertanian, tak lepas dari dogma revolusi hijau yang hanya berorientasi untuk mendongkrak produktivitas sektor pertanian, tetapi melupakan petani yang banting tulang menanam padi. Di masa lalu, petani memiliki segalanya, benih memiliki sendiri, pupuk dari kotoran ternak, kebutuhan lain hanya untuk mengolah tanah yang biasanya berpola bagi hasil. Kini tidak, tanah pertanian semakin ”tua”, tergantung dengan pupuk kimia dan benih hibrida, maupun pestisida pabrikan yang melambungkan biaya tanam. Kualitas tanah yang makin tandus membutuhkan biaya pengolahan yang terus naik. Hal ini diperburuk dengan ketersediaan pupuk kimia bersubsidi yang membuat petani semakin tergantung, sementara pasokan semakin langka dan jika ada, harganya mahal. Situasi ini secara akumulatif akan memperburuk pelebaran selisih kebutuhan dan ketersediaan pangan. Impor sebagai bentuk penanganan, semakin memperburuk kemiskinan petani.

Maka tak mengherankan pertanian tidak menjadi mata pencaharian yang menjanjikan. Saat ini pertanian didominasi oleh kelompok umur usia lanjut di atas 45 tahun. Sedangkan untuk kelompok umur sedang dan muda tak banyak yang sudi menjadi petani. Seiring berjalannya waktu, kelompok usia dewasa seharusnya digantikan oleh kelompok usia muda. Namun fakta menunjukkan, terjadi penurunan kelompok usia muda, yang mengakibatkan rendahnya penerusan petani dan pertanian. Bisa ditebak, dampak dari situasi ini ialah krisis pangan. Bukan lagi lokal melainkan global. Kelangkaan pangan membuat harga pangan naik, semakin banyak orang akan terperangkap dalam kemiskinan akibat kenaikan harga pangan. Prediksi International Rice Research Institute, kenaikan harga pangan masih akan berlangsung.

Hari Pangan
Peringatan Hari Pangan Sedunia merupakan kesempatan yang tepat untuk memberi perhatian pada petani dan dunia pertanian. Semua pihak hendaknya mengusahakan dan mempertahankan ketahanan pangan. Petani, dunia pertanian dan ketersediaan pengan merupakan kehidupan yang saling terintegrasi. Mulai dari benih unggul, kondisi tanah, hama dan penyakit, pupuk dan pestisida, sarana irigasi, kepemilikan tanah oleh petani, kredit usaha tani, pemasaran, teknologi pangan, keamanan pangan, gizi, harga komoditas, kebiasaan makan dan sebagainya merupakan jaringan kehidupan yang saling terintegrasi. Inilah yang menjadi keprihatinan terhadap semua unsur pertanian inilah yang menjadi keprihatinan Gereja juga.

Ketahanan pangan, sebagaimana tertulis dalam Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan, pada pasal 1 ayat 17 adalah ”kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau”. Dalam UU ini, ketahanan pangan ditujukan kepada kebutuhan rumah tangga sebagai bentuk kesatuan masyarakat terkecil di Indonesia. Sedangkan pengertian food security (ketahanan pangan) yang tertera dalam Rome Declaration and World Food Summit Plan of Action, yaitu “food security exists when all people, at all times, have access to sufficient, safe and nutritious food to meet their dietary needs for an active and healthy life”. Dalam definisi ini, sangat jelas bahwa ketahanan pangan harus dimiliki oleh setiap individu (all people), tidak saja yang berada dalam kesatuan rumah tangga (seperti yang disebutkan dalam UU no. 7 th 1996). Jadi, definisi yang diberikan oleh Rome Declaration adalah lebih sesuai untuk menjamin hak asasi rakyat untuk mendapatkan

Kepedulian terhadap petani, dunia pertanian dan ketahanan pangan mengerucut dalam salah satu perjuangan Gereja Katolik ialah mewujudkan kesejahteraan umum (bonum commune). Kesejahteraan umum adalah kata-kata penting dalam Ajaran Sosial Gereja yang merupakan inti sari perjuangan Yesus dalam karya keselamatan, mewartakan kabar gembira kepada manusia. Kesejahteraan dalam hal ini mencakup dimensi lahir batin, material dan spiritual. Yesus menghendaki pengikutnya mewartakan kabar keselamatan. Oleh karena itu Gereja diharapkan terpanggil memberikan kontribusi nyata dalam mengusahakan ketahahan pangan demi kehidupan yang lebih sejahtera. Karena itu, memberi perhatian kepada petani dan dunia pertanian bukan hanya bertujuan memperkuat ketahanan pangan, namun lebih jauh merupakan upaya mewujudkan kesejahteraan umum.

Gerakan Pangan
Sebagai salah satu hak asasi manusia, pangan adalah hak yang diakui secara universal sebagai hak yang melekat pada manusia karena kodrat dan kelahirannya sebagai manusia. Karena melekat itulah maka hak itu tidak dapat dirampas atau dicabut. Pangan adalah sumber daya yang harus dibagi secara adil.

Untuk menjamin ketahanan pangan, maka hendaknya keprihatinan ini menjadi gerakan sosial, tepatnya gerakan pangan. Dalam hal ini Gereja, terutama di regio Cepu, Madiun, Kediri dan Blitar dapat terlibat dalam memelopori komunitas basis petani. Dalam konsep ini, petani-petani akan bergabung dalam kelompok-kelompok satuan areal memproduksi pangan secara bersama-sama. Hal ini akan menjadikan proses produksi lebih efektif dan efisien waktu, biaya dan tenaga. Disamping itu, petani juga bisa melakukan bargaining karena mereka menjualnya dalam jumlah yang banyak secara kolektif.

Gereja dapat pula memfasilitasi akses pasar dan modal bagi petani. Seringkali, kedua hal tersebut menjadi kendala bagi petani untuk melangsungkan proses produksinya. Akses modal akan menjamin selesainya proses produksinya dengan baik, sedangkan akses pasar akan menjamin harga yang layak bagi petani. Dalam hal ini, paroki maupun kelompok kategorial di Regio Surabaya kota dapat terlibat mendukung petani di paroki lain yang berbasis agraris sehingga tercipta sinergi communio yang berdaya guna.

Berkenaan dengan tema Hari Pangan Sedunia Keuskupan Surabaya 2008, Penganekaragaman Pangan Menuju Kecukupan Pangan Secara Lestari, maka keragaman keragaman pangan sebaiknya dipelihara dan selalu didukung upaya memunculkan alternatif pangan sehat. Keragaman pangan akan membantu petani bebas menentukan jenis tanaman pangan yang akan ditanamnya. Disisi lain, keragaman pangan mempermudah rakyat untuk mencari alternatif pangan, apabila pangan pokoknya sedang langka. Tentunya, hal ini akan lebih menjamin berkurangnya kelaparan. Demikianlah, komitmen Gereja sejalan dengan usaha untuk tetap mengarusutamakan dan mempromosikan pertanian organik, bibit lokal dan pestisida alami dengan memperbanyak dan memperkuat kelompok tani dan penggerak-penggerak petani organik lapangan.

Akhir kata, terima kasih kepada segenap pihak yang mendukung pelaksanaan Hari Pangan Sedunia 2008 yang hendaknya membuka mata untuk ikut peduli terhadap petani dan dunia pertanian.