07 Juli 2008

"Passionis" Kontemporer

Sejak tsunami Desember 2004, gelombang katastrofe alam silih berganti menerjang Tanah Air. Gempa bumi, banjir, lumpur (Sidoarjo), ancaman gunung berapi, dan topan berkecepatan tinggi mengusik kedamaian hidup. Bagaimanakah menyikapi penderitaan yang tak kunjung henti ini?

Menatap tempat tinggal porak-poranda, gedung luluh-lantak, manusia berlumuran darah bahkan onggokan mayat, kaum ateis modern mulai mempertanyakan keberadaan, kebaikan, dan peran Sang Pencipta. Di manakah Dia b(t)ersembunyi? Mengapa Summum Bonum berdiam diri seolah merestui penderitaan anak-anak manusia yang tak bersalah? Tegakah Dia menyaksikan kekejaman kosmik ini?

Kegalauan batin seperti ini mendorong FMA de Voltaire (1694-1778), salah seorang pelopor Revolusi Perancis, menggoreskan Poëme sur le désastre de Lisbonne sebagai kenangan akan gempa bumi dahsyat di pantai Lisabon 1 November 1755. Dalam puisi 234 baris itu, dia mengundang kaum filosof penganut adagium omne ens est bonum untuk membedah katastrofe alam. Beranikah kita mengatakan, semua ini merupakan efek samping dari hukum alam yang mengatur dan menentukan kehendak Sang Pencipta? Bukankah musibah-musibah alam membuat manusia tak menyenangi, bahkan melupakan kebaikan Sang Pencipta? (DB Hart, The Doors of the Sea: Where Was God in the Tsunami?, 2005).

Dalam ketakberdayaan, hati manusia berusaha menggali rahasia dan pesan rohani di balik sinyal-sinyal penderitaan. Gagasan-gagasan kuno umumnya menafsirkan penderitaan ini sebagai hukuman atas dosa atau perbuatan jahat manusia kendati tafsiran ini masih diperdebatkan. Watak moral tiap pribadi ditempa pengalaman akan penderitaan. Kedalaman rasa simpatik dan kasih sayang dibutuhkan oleh mereka yang sedang ditimpa penderitaan (J Macquarrie, Suffering, 1992).

Salib sebagai guru kehidupan

Salib dapat ditafsirkan sebagai simbol penderitaan manusia, sering berupa kekacauan (alam) dan perusakan hubungan antarmanusia karena peraduan kekuatan fisik, mental, spiritual, dan emosional. Manusia suka menyalibkan sesamanya dan ciptaan lain. Sebagai bagian integral seluruh program penciptaan, penderitaan mengandung makna, nilai, dan hikmah dalam hidup manusia. Penderitaan dialami sebagai akibat keganasan alam dan kerakusan manusia. Dewasa ini muncul rentetan tafsiran atas makna penderitaan dalam hidup manusia kontemporer.

Hanya, Il Crocifisso (Yang Tersalib) selama hidup dan berkarya telah menyingkirkan aneka bentuk penderitaan manusia berupa penyakit, cengkaman roh-roh jahat, bencana alam, bahkan maut. Tahun kesukaan dimaklumkan dan diwujudkan di tengah masyarakat konfliktual yang terkotak-kotak. Salib Yesus memanggil kita secara aktif untuk memutus benang kusut ketidakadilan dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan yang dapat menyengsarakan dunia. Manusia menjerumuskan kosmos dan sesamanya ke jurang penderitaan berkepanjangan (Apostolicam actuositatem, 8,13 dan Ad gentes 5, 12).

Penderitaan bukan titik akhir perjalanan hidup manusia sebab melalui penderitaan, manusia dilatih menjadi lebih sabar, tangguh, dan kuat dalam menghadapi kenyataan hidup. Hidup berkeutamaan (virtual life) akan lebih ditempa dan digodok melalui jalur penderitaan.

Bangun jejaring kemanusiaan

Jumlah passionis (penderita) kontemporer terus meningkat akibat bencana alam, ketidakadilan sosial, kekejaman religius, pembodohan, diskriminasi, dan neo-kolonialisme. Sensus yang benar dan teliti tentang golongan passionis belum pernah dilakukan. Anak jalanan, penganggur, kaum miskin, serta kaum tertindas dan terpinggirkan terus berkembang. Penderitaan sering dijadikan salah satu alasan untuk melakukan tindak kekerasan yang merugikan kedamaian bersama. Dalam konteks sosial ini, perlu dimantapkan jejaring kemanusiaan berupa kerja sama harmonis yang meningkatkan jiwa persaudaraan dan kesetiakawanan dalam menghadapi aneka bentuk penderitaan sosial. Dimensi universal kemanusiaan diutamakan dalam meringankan derita.

Berbagai penemuan modern berbentuk daya rohani penyembuhan, tenaga batin yang menyehatkan, bimbingan psikologis, bantuan medis, dan ekonomis akan meringankan derita. Gaya hidup holistik yang mendukung damai batiniah, otonomi emosional, aktivitas kreatif, dan hubungan suportif seiring usaha peningkatan kesejahteraan manusia. Penderitaan individual mendorong kita untuk berkomitmen menolong orang-orang lain.

Dalam penderitaan, keluhuran martabat manusia tetap dihormati. Semua manusia diundang Sang Pencipta untuk bergandeng tangan guna meringankan dunia dari aneka tekanan dan menyembuhkan penyakit (sosial) yang mengerdilkan pertumbuhan kemanusiaan.

Daya cinta Sang Pencipta mentransformasi keadaan hidup manusia dan menyeka tiap tetes air mata kesedihan manusia. Bahkan, sejumlah penderitaan manusia berdimensi edukatif mewarnai proses penggemblengan watak manusia. De facto, kini di tengah gelombang hidup sosial, kaum passionis kontemporer sulit menolak dan mengelak dari penderitaan sebab mereka telah menjadikannya sebagai jalan pencerahan rohani.

Masalahnya, memoria passionis bangsa kita sejak empat dekade silam masih menyimpan tumpukan stigma khusus berupa rasa jengkel, sakit hati, amarah, kegeraman, sumpah serakah, dan trauma psikologis yang tak kunjung henti. Hingga kini, lingkaran penderitaan masih melilit kehidupan anak-anak dari Sabang hingga Merauke. Selagi panggung sandiwara penegakan hukum positif belum dibongkar tuntas, memoria passionis akan lebih menyiksa dan mendera rakyat kecil. Sikap Pilatus yang memilih ”cuci tangan” daripada membela kebenaran akan memperpanjang jumlah korban ketidakadilan sosial, rasial, kecemburuan sosial, dan konspirasi politik. Kini, bagaimanakah pengendali kuasa negara kita sanggup merancang mekanisme kerja yang lebih bersih sehingga mampu mentransformasi memoria passionis menjadi memoria resurrectionis dengan kualitas hidup yang lebih baik, adil, dan sejahtera? (William Chang, ketua Program Pascasarjana STT Pastor Bonus)