07 Juli 2008

Kemiskinan Bukan Sekedar Angka

Everyone has the rights to a standard of living adequate for the health and well-being of himself and of his family, including food, clothing, housing, and medical care. (Universal Declaration of Human Rights, article 25)

Kematian tragis seorang ibu dan anaknya di Kota Makassar seakan menjadi lonceng yang kembali berdentang mengingatkan kita bahwa kemiskinan itu nyata dan sudah sedemikian parah di negeri ini. Di Ibu Kota, potret yang paling nyata yang bisa kita lihat secara langsung adalah semakin banyaknya kaum ibu yang menggendong anak-anak mereka untuk menjadi joki three in one, dan ironisnya, salah satu sudut jalan yang penuh dengan kaum ibu dan balita yang menjadi joki itu justru banyak di depan gedung DPR/MPR Jakarta tempat orang-orang yang dipilih dan seharusnya menjadi wakil dalam memperjuangkan hak-hak mereka.

Sayangnya, fenomena itu seakan sudah dianggap angin lalu dan bukannya menjadi perhatian sebagai indikasi semakin susahnya rakyat mencari penghidupan. Di sisi lain, para politisi dan pemerintah masih saja disibukkan oleh perdebatan mengenai validitas angka-angka kemiskinan yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Dunia. Yang lebih menyedihkan lagi, kemiskinan hanya dijadikan komoditas politik untuk mencari perhatian pemilih menjelang Pilpres 2009.

Perlunya perubahan paradigma

Selama ini, pendekatan konvensional yang umumnya digunakan para ekonom dalam mengukur kemiskinan adalah dengan menggunakan indikator pendapatan atau konsumsi untuk mendefinisikan dan menentukan garis kemiskinan. Dalam perkembangannya, pendekatan konvensional itu telah banyak ditantang dengan pola pendekatan yang mencoba memasukkan kriteria-kriteria yang lebih luas daripada hanya sekadar ukuran pendapatan atau konsumsi.


Kriteria-kriteria tersebut antara lain pemenuhan kebutuhan pokok dan kapabilitas untuk menjadi dan melakukan sesuatu yang secara intrinsik berharga bagi seorang manusia dalam kehidupannya. Amartya K Sen (1983) memperkenalkan konsep kapabilitas personal (person's capabilities) yakni seseorang seharusnya memiliki sumber daya yang memadai untuk mencapai atau menjalankan seperangkat fungsinya sebagai manusia dalam hidup dan kehidupannya. Sen berargumentasi bahwa deprivasi dalam hal kapabilitas individu dapat berimplikasi kepada deprivasi relatif dalam hal pendapatan, sumber daya, atau komoditas.

Sebagai contoh, seorang manusia harus memiliki kapabilitas dalam mengambil bagian dan peran dalam kehidupan bermasyarakat untuk menghindari rasa malu atau untuk memelihara harga dirinya. Lebih jauh, Sen mengatakan kapabilitas untuk menjalankan fungsi-fungsi dalam kehidupan seharusnya juga dijadikan kriteria untuk menilai standar hidup dan menentukan batasan kemiskinan.

Sementara itu, Atkinson dan Bourguignon (1999) menggunakan kerangka berpikir yang sama, akan tetapi dilihat dari perspektif kesejahteraan. Mereka mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidakcukupan kekuatan untuk mengakses sumber daya ekonomi. Sejumlah kapabilitas yang mutlak dimiliki seorang manusia dalam menjalankan kehidupannya kemudian diterjemahkan ke dalam sejumlah persyaratan keperluan hidup yang relatif dalam setiap kelompok masyarakat dengan ukuran standar hidup yang dipandang layak dalam suatu kelompok masyarakat tertentu. Kapabilitas manusia dalam menjalankan hidup dan kehidupannya itu sendiri memiliki hierarki. Setidaknya ada dua fokus perhatian mengenai kapabilitas yang diperlukan seorang manusia. Pertama, kapabilitas yang menyangkut kemampuan yang bersifat fisik yang memerlukan sejumlah kebutuhan hidup yang mutlak diperlukan seperti makanan dan minuman untuk memenuhi persyaratan gizi yang di perlukan oleh manusia untuk dapat menjalankan hidupnya. Kapabilitas itu memiliki prioritas yang sangat penting. Kedua, kapabilitas seorang manusia dalam menjalankan fungsi sosialnya dalam masyarakat.

Hak-hak ekonomi

Secara singkat, Hertel (2006) menyimpulkan ada tiga hal mendasar definisi hak-hak ekonomi yang seharusnya dimiliki oleh setiap warga negara dengan memerhatikan perdebatan akan hal itu masih terus berlangsung. Hak-hak ekonomi tersebut mencakup hak untuk terhadap kecukupan standar hidup (termasuk subsistence rights), hak untuk mendapat pekerjaan, dan hak untuk mendapat pendapatan dasar yang menjamin mereka-mereka yang tidak mampu (anak-anak, penganggur, dan lansia) untuk dapat menopang kehidupan mereka.

Sejalan dengan pernyataan Sen di atas, dewasa ini berkembang pemikiran mengenai hak asasi manusia sebagai modal ekonomi. Younis (2004) menunjukkan pada dasarnya kaum miskin pun memiliki kemampuan untuk mengakumulasi modal (capital) baik dalam bentuk fisik (infrastruktur), keuangan (kredit), dan manusia (pendidikan). Pada kenyataannya, masih sedikit sekali perhatian yang ditujukan terhadap kaum miskin dalam kaitannya mengenai kemampuan mereka mengakumulasi modal dalam bentuk-bentuk lain seperti modal natural, kelembagaan, dan budaya. Hak asasi manusia di sini seharusnya dapat dikatakan sebagai bentuk lain dari modal. Hak asasi manusia adalah bentuk capital endowment yang diperlukan oleh kaum miskin untuk dapat diakumulasi dalam konteks modal-modal lainnya yang dapat diakumulasi dalam rangka keluar dari kemiskinan.

Kemiskinan yang masih melilit bangsa ini memerlukan suatu penanganan yang serius dari semua pihak. Pendekatan state-centered yang selama ini digunakan dalam mengatasi kemiskinan sudah seyogianya bergeser ke arah penyelesaian masalah kemiskinan yang melibatkan multiaktor dan pluralis. Kaum miskin pun jangan hanya dilihat sebagai masalah dalam angka, tetapi yang lebih penting adalah memberdayakan mereka dan membuka akses bagi mereka seluas-luasnya untuk dapat berperan aktif dalam kegiatan ekonomi. Yang paling penting adalah jangan hanya sekadar melaporkan angka-angka kemiskinan, tetapi yang utama adalah bagaimana langkah nyata dan dukungan bagi saudara-saudara kita yang belum beruntung untuk dapat menjalani kehidupannya sebagai manusia dengan lebih bermartabat. (Teddy Lesmana, peneliti pada Pusat Penelitian Ekonomi LIPI)