07 Juli 2008

Paradoks Kemiskinan

Apakah bangsa kita sedang berada dalam kemiskinan? Tidak mudah menjawabnya. Berbagai ukuran-ukuran bisa diterapkan. Kontroversi pandangan antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wiranto tentang jumlah orang-orang miskin di Indonesia, misalnya, disebabkan oleh pemakaian ukuran yang berbeda itu. Wiranto memakai ukuran Bank Dunia, sedangkan Presiden memakai ukuran Badan Pusat Statistik Nasional.

Dalam pertemuan antara Wakil Presiden M Yusuf Kalla dengan para tokoh lintas agama pada 11 April 2008, persoalan kemiskinan ini mengemuka dengan kuat. Kedatangan para pemimpin lintas agama itu untuk menyampaikan kegelisahan tentang berbagai kenyataan kemiskinan di sekitar kita akhir-akhir ini. Dalam pertemuan itu, Wapres memberikan gambaran yang sangat optimistis mengenai keadaan perekonomian Indonesia, yang dalam pandangannya sedang bertumbuh. Wapres menjelaskan sangat rinci berbagai kemajuan di bidang pertanian yang hasil-hasilnya bakal dituai dalam waktu dekat.

"Kalau kita terbang dengan helikopter dari ujung barat sampai dengan ujung timur Pulau Jawa, kita hanya menemukan warna hijau dan kuning," kata Wapres. Hijau menandakan bahwa padi sedang bertumbuh dengan subur, sedangkan kuning mengindikasikan bahwa padi sedang menguning, siap dipanen. Gambaran itu sangat optimistis.

Wapres juga dengan sangat cekatan menjelaskan persoalan kekurangan pangan yang bukan saja merupakan masalah nasional, tetapi juga global. Kekurangan itu antara lain disebabkan oleh pengalihan peruntukan, terutama guna menghasilkan bio fuel (bahan bakar minyak yang dibuat dari gandum, padi-padian, bahkan kacang kedelai) oleh negara-negara maju. Alhasil, dunia kita berada dalam krisis pangan yang hebat.

Melalui berbagai pemberitaan televisi kita menyaksikan unjuk rasa di mana- mana: di Filipina, di negara-negara Afrika, dan bagian dunia lainnya. Bahkan di Haiti, Perdana Menteri dipecat oleh DPR karena ketidakmampuannya menurunkan harga pangan.

Minyak Tanah
Mengenai langkanya minyak tanah di pasaran, Wapres menegaskan bahwa bahan bakar yang satu ini memang sengaja dihilangkan. Dengan demikian, subsidi dikurangi dan penghematan dilakukan. Tetapi, lebih dari itu, kata Wapres, rakyat juga dialihkan untuk mulai memakai gas (elpiji). "Semua orang senang. Bahkan orang mengantre sambil senyum," kata Wapres.

Semua yang diuraikan Wapres masuk akal. Bahkan menimbulkan perasaan optimistis. Dan kita mau ikut berpartisipasi dalam rasa optimisme itu. Namun, kenyataannya tidak selalu cocok dengan yang dikatakan. Dari berbagai pemberitaan surat kabar dan media lainnya, kita memantau adanya stres sosial yang hebat di mana-mana. Ada orang yang menggantung dirinya atau bahkan tega membunuh anak-anaknya karena ketidakmampuan melihat masa depan. Banyak balita kekurangan gizi di berbagai tempat. Ada ibu dengan dua anaknya di Makassar yang mati kelaparan, dan sebagainya. Semua kenyataan ini, kendati mungkin masih dalam skala kecil, tidak dapat diabaikan. Karena itu, para pemimpin lintas agama dalam percakapan dengan Wapres mengingatkan agar kita jangan terlalu terikat dengan data statistik dan pendapatan per kapita, tetapi justru dengan sungguh-sungguh memberikan perhatian terhadap kenyataan kemiskinan absolut di mana-mana.

Secara data dan statistik betul Indonesia tidak miskin. Kita tidak dapat membantah hal itu. Faisal Basri, analis ekonomi kita yang andal, juga mengakui hal itu. Dalam berbagai kesempatan Faisal Basri menggambarkan kemajuan dan pertumbuhan di berbagai sektor. Tetapi, pertanyaan yang selalu menggelitik, mengapa ada kemiskinan, bahkan absolut? Mengapa masih ada orang yang makan nasi aking? Jawabannya, karena pembagian merata tidak diwujudkan. Akar persoalannya terletak di dalam kenyataan, belum terwujudnya keadilan social. Sila kelima Pancasila kita hanyalah slogan belaka, tidak benar-benar diamalkan dalam kenyataan.

Restoran Bergengsi
Rasanya agak membosankan apabila kita mensinyalir berulang-ulang kenyataan bahwa ketika segelintir orang membelanjakan uangnya sampai jutaan rupiah hanya untuk makan siang di restoran bergengsi, sebagian besar rakyat masih membanting-tulang hanya untuk mengumpulkan sekian rupiah recehan. Jadi, apakah kita miskin? Tidak mudah menjawabnya. Kalau dikatakan miskin, mengapa begitu banyak sepeda motor di jalan-jalan? Mengapa orang berdesak-desakan naik pesawat terbang? Kalau dikatakan tidak miskin, mengapa ada orang membunuh diri?

Memang terdapat paradoks di dalam memahami kenyataan kemiskinan ini. Dalam perjalanan saya ke daerah baru-baru ini, saya menemukan fakta yang juga paradoksal. Saya mengunjungi seseorang yang rumahnya boleh dikatakan sangat-sangat sederhana. Fasilitasnya sangat-sangat kurang. Tetapi, jangan kaget, penghuni rumah sangat-sangat sederhana ini justru mempunyai HP. Bahkan gemar ber-sms ke mana-mana. Tidak jarang juga kita menemukan rumah-rumah sederhana yang mempunyai antena parabola, sehingga dapat mengakses berita dan film-film dari seluruh dunia. Gejala apa sebenarnya ini? Inikah kemajuan? Ataukah masyarakat kita sesungguhnya sedang diiming-imingi untuk terjebak ke dalam sikap konsumerisme berlebihan, sehingga tidak mampu menentukan prioritas di dalam kehidupan.

Pada era Orde Baru, ketika pembangunan nasional dicanangkan, kita diingatkan untuk tidak terjebak dalam sikap hidup hedonisme, konsumerisme, materialisme, dan sebagainya. Kelihatannya, peringatan itu tidak mempan. Kita sekarang justru terjebak di dalam penyakit-penyakit masyarakat itu. Dengan menerapkan gaya hidup itu, kita makin menjadi miskin. Atau, demi memenuhi hasrat, orang terperosok ke dalam KKN. Maka suburlah penyakit korupsi, kolusi dan nepotisme di mana-mana.

Apa yang harus kita lakukan menghadapi persoalan kemiskinan akut ini? Pertama-tama kita harus mengakui bahwa kita memang mempunyai persoalan kemiskinan tanpa terjebak ke dalam sikap pesimisme dan fatalisme. Kedua, kita mesti mengakui telah terjadi ketidakadilan sosial di berbagai bidang. Ketidakadilan ini telah mengorbankan mereka yang paling lemah di dalam masyarakat.

Pemerintah dan DPR mempunyai kewajiban besar untuk menciptakan berbagai peraturan yang memihak kepada kepentingan mereka yang lemah. Maka masyarakat yang lemah itu mesti diberdayakan dengan berbagai cara. Ketiga, masyarakat kita juga harus dididik untuk melihat kepentingan dasar yang jauh lebih penting, ketimbang kepentingan tambahan yang belum merupakan prioritas. Keempat, kita harus melepaskan diri dari kesibukan-kesibukan yang masih mempertanyakan hal-hal bersifat ideologis. Sebaliknya kita harus menggalang seluruh perhatian dan kekuatan untuk mencari jalan keluar dari kungkungan kemiskinan. Mudah-mudahan dengan kerja sama semua unsur di dalam masyarakat kita akan mampu, bukan saja bertahan hidup, tetapi benar-benar menjalani kehidupan yang berkualitas. (AA. Yewangoe, Ketua Umum PGI)