07 Juli 2008

Pangan Mengancam Keamanan

Belakangan ini, saat masalah pangan melanda berbagai belahan dunia, adalah waktu yang menyenangkan bagi pakar studi keamanan untuk membuktikan teori-teori mereka. Masalah pangan di sini menyangkut tingginya harga di pasaran yang dipicu oleh langkanya persediaan di sana-sini.

Barry Buzan, Michael T Klare, dan Daniel C Thomas, telah membangun teori baru yang melihat masalah non-militer sebagai penyebab munculnya instabilitas keamanan di suatu negara, kawasan, dan global. Masalah non-militer itu di antaranya, kelangkaan pangan akibat terganggunya ekosistem.

Pemikiran Buzan yang bermula dari karya monumentalnya People, States and Fear: An Agenda for International Security Studies in the Post-Cold War Era (1991), saat itu dinilai berlebihan dalam mengangkat isu non-militer sebagai setara kedudukannya dengan isu konvensional mi- liter.

Buzan ketika itu belum dapat meruntuhkan paradigma lama ancaman stabilitas keamanan, yang selama berabad-abad dipercaya bersumber dari pengembangan kekuatan militer lawan. Namun, dengan berakhirnya Perang Dingin dan runtuhnya supremasi militer Uni Soviet dan Blok Timur, teori Buzan menarik perhatian pemikir keamanan lainnya.

Lalu, muncullah duet Klare dan Thomas mengembangkan pendapat Buzan dengan publikasi mereka, World Security: Challenges for a New Century (1994). Juga tidak dapat diabaikan di sini eksistensi Thomas Homer-Dixon yang berargumen lebih tegas, bahwa faktor non-militer yang bersumber dari perubahan lingkungan bisa muncul sebagai penyebab konflik akut.

Instabilitas Politik

Tidak mengejutkan sejak krisis pangan global berkembang serius pimpinan badan dunia, seperti UN, terutama FAO, mengingatkan krisis itu ibarat silent tsunami, yang implikasinya amat berbahaya terhadap keamanan di banyak negara. Menurut mereka, kenaikan harga pangan hingga waktu yang belum diketahui bisa melampaui tahun 2015, rawan memicu kerusuhan, dan instabilitas politik global.

Pandangan mereka sangat realistis, sebab kesulitan pangan dihadapi juga oleh penduduk negara maju AS dan Singapura. Siapa menyangka AS, negara adi daya tunggal pemenang Perang Dingin, mayoritas penduduknya mengeluh soal kenaikan harga bahan pokok?

Sementara Tiongkok, India, Rusia, dan Brasil, telah dituding sebagai kambing hitam kesalahan karena tidak dapat mengendalikan pertumbuhan penduduknya. Mereka dipersalahkan karena penduduknya, yang jumlah totalnya mencapai setengah penduduk dunia, menghabiskan sebagian besar pangan dunia. Lepas dari nafsu konsumerisme negara maju, penduduk di negara berkembang dan miskin di Amerika Latin, Asia, dan Afrika lainnya dituding sebagai penghasil kesulitan, sebab telah merusak lingkungan, sehingga tidak dapat lagi menanam komoditas pertanian.

Padahal, negara maju sejak masa kolonialisme berada di balik eksploitasi sumber daya alam di banyak negara yang mengakibatkan degradasi lingkungan parah dan lahan-lahan tidak produktif. Akibat kekuatan modal, kegiatan investasi, dan politik globalisasi mereka, lahan-lahan dan harga komoditas rusak, serta tidak dapat dinikmati mayoritas rakyat di negara berkembang dan terbelakang.

Opsi pengembangan biofuel dan bioenergy secara massal, yang penggunaannya dikecam sebagai crime against humanity, merupakan hal yang mempengaruhi kenaikan harga pangan, di luar ledakan penduduk dan aksi spekulasi global.

Pertanyaan sekarang, bagaimana menjelaskan masalah krisis pangan sebagai isu keamanan strategis, yang sama pentingnya dengan isu keamanan tradisional dalam bentuk ancaman militer dari negara lain? Krisis pangan yang semula berdimensi individual security tumbuh cepat mengancam health dan economic security, yang berdampak pada community, national atau state security.

Kemudian berimplikasi pada political security sebuah rezim, yang jika terjadi di negara-negara lain, mengancam regional dan global security. Artinya krisis pangan akut bukan lagi persoalan local, tetapi international security. Krisis pangan dipicu natural resources dan economic scarcities akibat degradasi lingkungan oleh kerakusan kapitalisme global. Tekanan dan bahkan paksaan globalisasi mempercepat laju degradasi dan meluasnya krisis, sehingga muncul environmental refugees dan mass-migration ke berbagai kota dan negara, yang mudah menebar pandemik dan konflik horisontal di negara tujuan.

Kerusuhan sosial di Haiti yang bermula dari penjarahan bahan pangan berubah menjadi pergantian rezim Edward Alexis. Antrean pangan di Tiongkok, India, Pakistan, Kamboja, Bangladesh, Somalia, dan Myanmar berpotensi destruktif. Apalagi di Indonesia, dengan situasi kompleks dengan rencana kenaikan BBM, bencana alam, korupsi, ketidakpuasan pemilu, dan sikap pemimpin yang tidak jelas.

Tanpa solusi jangka pendek dan panjang, seperti pengadaan lumbung padi, penghentian konversi lahan, dan sebaliknya, pembukaan lahan baru, pembatasan program biofuel dan bioenergy, dan kontrol terhadap harga minyak dan spekulan harga di pasar internasional, sulit menghentikan krisis pangan dunia. Kelanggengan rezim di negara demokratis kini menjadi taruhan. Krisis pangan mengancam stabilitas keamanan regional dan gobal, yang lebih berbahaya dari yang disebabkan krisis ekonomi yang dipicu krisis keuangan. Oleh karena itu, masalah pangan jangan lagi dianggap sebagai soft issue. (Poltak Partogi Nainggolan, kandidat doktor ilmu politik Universitaet Freiburg, Jerman)