07 Juli 2008

"BLT-nomic" dan Pengentasan Kemiskinan

Bisa dimengerti bahwa persoalan kemiskinan yang makin berlarut karena imbas dari rencana kenaikan harga BBM dan diterapkannya “BLTnomic“, berupa pembagian dana bantuan langsung tunai, kiranya menciptakan hipermotivasi untuk bebas dari belenggu kemiskinan.

Keinginan luhur bebas dari kemiskinan itu sah-sah saja. Namun tanpa melihat realitas kemiskinan di lapangan beserta carut-marutnya, dikhawatirkan hanya akan menjadi idealisasi pemberantasan kemiskinan yang prematur, dimana hasilnya masih ditelikung oleh bentuk kemiskinan baru, saat kemiskinan yang lama berhasil diberantas.

Awal tahun 1980-an keinginan pemerintah untuk memberantas kemiskinan juga sudah menjadi perbincangan hangat. Saat itu terkenal jargon “mengentaskan kemiskinan“. Tak kurang banyak media massa dan perguruan tinggi memperbincangkan dan menyeminarkan ihwal pengentasan kemiskinan.

Berbagai sudut pandang perihal kemiskinan mencuat saat itu seperti definisi kemiskinan, kriteria orang miskin, kemiskinan struktural, kemiskinan sistemik bahkan di kalangan LSM diam-diam sudah membahas “perjuangan kelas“ proletar di tengah borjuisasi ekonomi yang dituduh membenihi kemiskinan.

Namun sampai pemerintahan Orde Baru jatuh, proyek pengentasan kemiskinan belum juga dirampungkan, keburu terkena krisis moneter-multidimensional yang mempurukkan orang miskin menjadi lebih miskin. Sebelum dan sesudah kenaikan harga BBM waktu lalu banyak pihak sudah mengingatkan pemerintah tentang sensitivitas kemiskinan.

Artinya agar pemerintah jangan main-main dengan kebijakan yang menyentuh topik besar seperti kemiskinan. Menghapus kemiskinan itu tak semudah mengganti Bajaj butut di Jakarta dengan Kancil. Apalagi mengklaim bahwa subsidi akan menolong orang miskin dus mengurangi jumlah orang miskin.

Tidak Bisa Pukul Rata

Kemiskinan yang sejak awal tahun 1980 disoroti secara akademik nyatanya justru makin sulit diurai, dipilah dan dientaskan. Ini disebabkan makin banyaknya faktor-faktor yang terlibat dan menekan orang miskin untuk tetap menjadi miskin. Krisis ekonomi 1997 secara tidak langsung menciptakan “persaingan mencari makan” yang lebih ketat dan orang miskin adalah pihak yang relatif selalu kalah.

Di sisi lain persoalan kemiskinan adalah bukan problem benda mati di laboratorium yang semuanya bisa dikontrol. Dimana kita bisa memperlakukannya dengan cara ini-itu dari berbagai sisi dengan pelakunya—orang miskin—bungkam seribu bahasa. Kenyataannya dalam antrean mendapatkan BLT orang miskin bisa emosional-marah bahkan ada yang sampai harus pingsan di medan antrian. Kemiskinan justru karena berpusat pada orangnya tidak serta-merta bisa diberikan asal treatment pengentasan secara pukul rata. Orang miskin jelas mempunyai kehidupan sendiri yang sangat berbeda, dari komunitas miskin yang satu ke komunitas miskin yang lain.

Dengan demikian, respons pemberian BLT bagi komunitas atau orang miskin yang satu akan berbeda dengan komunitas atau orang miskin lain. Sikap tentang uang misalnya yang bersumber dari kultur dan kebiasaan orang miskin yang berbeda-beda bisa menciptakan respons yang berbeda pula. Hal inilah yang dikuatirkan bisa berimbas pada ketidakberhasilan proyek “BLTnomic“. Maka, jangankan keluar dari belenggu kemiskinan, menopang kemiskinan agar tidak makin parah atau tidak menjadi “miskin-kin“ pun sangat sulit.

Bahwa orang miskin akan bertambah terbukti menjadi kenyataan. Bertambahnya orang miskin ini baru disoroti secara kuantitasnya, lha bagaimana dengan kualitas hidupnya, tentu akan sangat menyedihkan. Upaya pemerintah memberi ikan berupa BLT dipertanyakan banyak kalangan. Kenapa pemerintah tidak memberi kail, agar tidak menciptakan mental pengemis, sebaliknya orang miskin belajar untuk mandiri, mencari ikan sendiri dengan kail yang diberikan pemerintah.

Persoalan tampaknya tidak sesederhana itu, dalam realita kemiskinan sehari-hari, sekalipun orang miskin diberi kail untuk mencari ikan, dalam konteks ini penghasilan, tidak bisa dilepas begitu saja. Artinya kail dengan umpan yang dipegang orang miskin hanya akan mendapatkan ikan jika ia mengail di kolam yang penuh ikan lapar.

Proyek Karitas

Dengan kata lain bahwa proyek memberi kail juga harus diikuti dengan studi kelayakan, apakah kolamnya ada ikannya tidak. Daya serap pasarnya ada atau tidak. Kita tahu realitas sosial orang miskin tinggal dalam komunitasnya yang juga miskin.

Bagaimana mungkin komunitas yang miskin bisa menjadi pasar yang menyerap umpan kail orang miskin lainnya. Pun jika orang miskin dikaryakan dalam proyek padat karya dengan dana taktis, akan bertahan berapa lama dana itu bisa dihamburkan. Selama kolam tidak ada ikannya, alias daya serap pasarnya melempen, hukum ekonomi permintaan tidak ada, daya beli turun karena masih dirundung krisis sehingga setiap orang harus mengencangkan ikat pinggang, jangan harap kail orang miskin bisa menghasilkan ikan.

Simalakama ekonomi seperti ini tidak berarti tidak ada jalan keluar bagi pengentasan kemiskinan. Intinya tidak ada satupun perlakuan yang dianggap lebih berhasil dalam mengentaskan kemiskinan, tanpa harus dibarengi dengan perlakuan lain. Ini disebabkan virus kemiskinan sudah menjadi lingkaran setan. Kita harus mulai dari seluruh lini tidak hanya dari proyek karitas seperti subsidi saja atau memberi kail saja. Misalkan saja sekalipun orang miskin sudah kita beri kail dan pasarnya potensial, tanpa kita proteksi dari arus pasar bebas yang neoliberal, ikan-ikan di kolam pancing orang miskin akan pindah ke kolam pasar bebas yang lebih murah dan enak umpannya.

Orang miskin sendiri juga perlu ’dua kali lebih sadar’ untuk memotivasi diri semampunya keluar dari situasinya. Karena meski dikatakan “BLT-nomic“, yakinlah bahwa itu tidak serta merta memberi ikan atau hadiah-hadiah kepada pukul rata orang miskin, tetapi hanya kepada orang miskin yang punya kartu. Dalam arti, ia mau merespons situasinya, memaksimalkan potensinya jika ada yang mau mengupayakan jalan keluar dan bertekad untuk mentas dari belenggu kemiskinan. Ingatkan pepatah ini kepada setiap orang miskin, pauper ubique iacet, dimana-mana orang miskin itu tidak dihargai.

Semoga ini melecut saudara kita yang papa, agar tidak hanya menunggu takdir atau nasib baik. Sudah sepantasnya kita yang lebih baik menjadi mitra semampunya, lewat berbagai cara yang bisa dilakukan. (Stevanus Soebagijo, penulis adalah peneliti pada Center for National Urgency Studies, Jakarta)