07 Juli 2008

Belajar Moral Dari Rakyat Miskin

Di tengah hiruk-pikuk demonstrasi penolakan terhadap kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan penderitaan rakyat, yang semakin menumpuk akibat kenaikan itu, mencuat cerita yang menyentuh sukma rakyat miskin.

Sebagaimana diberitakan salah satu media cetak nasional, Sadimin (55), warga RT 04, RW 08, Kelurahan Mlati Baru, Kecamatan Semarang Timur, telah membuat kebijakan yang menggugah hati dalam kaitan dengan bantuan langsung tunai (BLT) yang diterimanya dari pemerintah. Konon, di desa itu terdapat 32 kepala keluarga (KK) yang semuanya tergolong orang miskin. Sayangnya, mereka semuanya tidak menerima BLT. Hanya 12 KK yang menerima bantuan dari pemerintah. Dengan demikian, yang tidak menerima BLT jauh lebih banyak, lebih dari separuh jumlah kepala keluarga.

Yang menyentuh hati adalah apa yang dilakukan oleh Sadimin beserta rekan-rekannya yang menerima BLT terhadap warga miskin lain, yang tidak menerima bantuan uang. Dalam musyawarah rukun tetangga (RT), Sadimin beserta teman-temannya menyepakati untuk menyisihkan sebagian jatah untuk warga yang tidak menerima BLT. Jumlah dana yang mereka sisihkan Rp 25.000 dari dana yang diperoleh. Dana sisa inilah yang dibagikan kepada warga miskin yang tidak menerima BLT.

Lebih menarik lagi, semangat kepedulian ini ternyata tidak hanya berhenti di RT Sadimin, juga menyebar ke RT lain di kelurahan yang sama. Beberapa ibu penerima BLT melakukan hal yang sama. Bahkan, seorang ibu bernama Mariyem (66), janda tanpa anak yang menumpang pada tetangganya, sangat ikhlas menyisihkan sebagian jatah BLT-nya untuk warga yang tidak menerima bantuan (Kompas, Rabu, 28 Mei 2008).

Pesan moral apa yang bisa kita baca dari perbuatan luhur rakyat miskin di atas? Menurut hemat penulis, narasi faktual di atas mengandung dua pesan bernas yang amat mendasar. Pertama, secara tidak langsung rakyat miskin melalui Sadimin cum suis telah memberikan kritik konstruktif mendasar terhadap kebijakan pemerintah tentang pembagian BLT. Kritik yang paling mencolok adalah prinsip keadilan dan pemerataan yang kurang diindahkan dalam kebijakan pemerintah itu.

Dalam prinsip keadilan, khususnya keadilan komutatif, sebagaimana ditegaskan oleh pemikir Aristóteles, satu tindakan dinilai adil kalau diberlakukan prinsip-prinsip yang sama bagi semua orang yang berada dalam situasi yang kurang lebih sama. Artinya, tidak ada pembedaan perlakuan terhadap orang-orang yang berada dalam keadaan yang serupa. Kalau terjadi pembedaan, berarti terjadi perlakuan tidak adil.

Dalam kasus warga di Kelurahan Mlati Baru, Semarang itu, terdapat 32 KK rakyat miskin, tetapi hanya 12 KK yang menerima BLT. Itu berarti, 20 KK mendapat perlakuan berbeda, padahal situasi mereka persis sama dengan situasi 12 KK penerima BLT.

Bercermin pada dasar negara, Pancasila, sebagaimana terungkap dalam sila ke-5 "Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia", pemerintahan sesungguhnya telah menyimpang dari sumber etika kebangsaan ini. Padahal, menurut Bung Karno, prinsip etis dasar ini justru harus menjadi landasan dalam mengeluarkan kebijakan dalam pembangunan bangsa.

Solidaritas Sejati

Kedua, narasi faktual di atas sesungguhnya memberikan pelajaran moral berharga dari kaum miskin, bagaimana kita membangun solidaritas yang sejati di tengah-tengah situasi yang sangat serba sulit dewasa ini.

Teladan rakyat kaum miskin di Desa Mlati Baru itu menunjukkan bahwa solidaritas bukanlah sesuatu yang sulit dilakukan oleh bangsa ini. Solidaritas itu mudah diwujudkan. Namun, harus ada dasarnya, yakni kemauan untuk membuka hati.

Dengan kemauan mereka telah membuka mata hati masyarakat sekitar. Bagi masyarakat miskin hati jauh lebih penting daripada uang. Mata hati adalah permata bagi mereka. Mata hati kepedulian kepada sesama yang menderita. Dengan hati mereka merasa bertanggung jawab terhadap kehidupan rekan warganya yang tidak bernasib mujur seperti mereka.

Sadimin dan kawan-kawan juga menunjukkan bahwa kepedulian kepada sesama tidak harus diungkapkan dalam perbuatan-perbuatan besar dengan berkoak-koak, dengan slogan-slogan yang berspanduk besar, tetapi dengan perbuatan-perbuatan kecil dan nyata yang dapat dirasakan oleh orang di sekitar secara langsung.

Jadi, apa yang diperlihatkan rakyat miskin dari Semarang itu adalah teladan moral. Teladan moral dalam hal bagaimana harus menyikapi uang, Mereka telah menunjukkan bahwa uang bukanlah penyekat diri dari orang lain. Uang bukanlah untuk menyombongkan diri, menjadi pembeda dirinya dari orang lain, apalagi dipakai sebagai senjata untuk menguasai orang lain, mewujudkan kepentingan diri sendiri.

Mereka juga telah memberikan teladan moral, bagaimana harus hidup bermasyarakat. Sesama masyarakat bukanlah musuh yang harus ditaklukkan, melainkan sesama yang hidupnya harus dihargai, nasibnya harus diperhatikan, penderitaannya harus diatasi. Apa yang pernah digagas oleh Emmanuel Levinas bahwa perjumpaan dengan sesama adalah tanggung jawab terhadap hidup mereka telah dipraktikkan oleh rakyat miskin bernama Sadimin dan teman-temannya.

Berkaca dari narasi faktual rakyat miskin di atas, sesungguhnya bangsa ini bisa bangkit dari keterpurukan kalau dikembangkan prinsip-prinsip dasar yang telah dipraktikkan di atas dalam hidup berbangsa dan bernegara, yakni solidaritas sejati, keadilan sosial yang nyata, serta penghargaan terhadap hidup semua orang, khususnya mereka yang menderita (rakyat miskin).

Pengambil kebijakan harus memulai hal ini, karena tugas mereka adalah menjamin semua ini terlaksana. Kalau belum, tidak terlambat belajar dari rakyat miskin di Semarang itu. Vox pueri populi, vox Dei. (Kasdin Sihotang, dosen filsafat di Fakultas Ekonomi dan Filsafat Manusia di Fakultas Psikologi serta staf inti PPPE Unika Atma Jaya Jakarta)