13 Juni 2008

Bedah Buku: Dilarang Miskin, Narasi Teologis Tentang Kemiskinan


Kemiskinan sering kita anggap sebagai permasalahan yang tidak bisa dicari penyebabnya dan tampak tidak bisa terselesaikan. Seandainya pun bisa, sangatlah sulit. Mari kita lihat di sekitar kita. Angka kemiskinan yang kian hari bertambah, semakin meyakinkan kalangan bahwa kemiskinan memang telah menjadi penyakit sosial yang mesti diatasi oleh semua kalangan.

Oleh sebagian kalangan, terjadinya kemiskinan itu merupakan imbas dari arus modernisasi. Modernisasi yang berlebihan itu telah menjadikan kehidupan modern saat ini demikian keras dan tidak bersahabat lagi bagi umat manusia. Akibatnya, salah satu indikasi yang paling nyata adalah semakin tampak adanya kesenjangan sosial berupa kelas-kelas dalam struktur masyarakat, antara masyarakat miskin dengan yang kaya.

Dalam kondisi demikian, situasi masyarakat yang sedang mengalami kelaparan (karena miskin itu) dengan orang yang merasa kekenyangan karena limpahan harta, seamkin menganga dalam kehidupan nyata sehari-hari kita. Ditambah lagi, solidaritas antara sesama (telah) semakin pudar di sanubari setiap insan.

Karenanya, tak salah bila Peter L. Berger (1982) melukiskan manusia modern mengalami anomie, yaitu suatu keadaan di mana setiap individu manusia kehilangan ikatan yang memberikan perasaan aman dan kemantapan dengan sesama manusia lainnya, sehingga menyebabkan kehilangan pengertian yang memberikan petunjuk tentang tujuan dan arti kehidupan di dunia ini.

Diakui bersama, bahwa kemiskinan menjadi problem sosial yang menimpa masyarakat di seluruh dunia. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, persoalan kemiskinan telah menjadi “momok”, dan karenanya sudah sejak lama pula memunculkan semacam “manifesto” untuk segera mengentaskan kemiskinan itu.

Tugas itu tentu saja tidak hanya menjadi tanggungjawab negara yang memang semestinya demikian. Tetapi juga seluruh elemen masyarakat, lembaga-lembaga sosial, termasuk di dalamnya lembaga keagamaan. Lalu bagaimana agama merespons dan menyikapi hantu sosial (kemiskinan) itu?

Dalam realitas, situasi seperti itu ternyata menggugat kaum beriman agama-agama dunia. Buku ini adalah salah satu bukti nyata yang ditulis Michael Taylor, seorang profesor dalam bidang ilmu Teologi Sosial di Universitas Birmingham. Ditulis berdasarkan pergulatan pribadi berkat pengalaman langsung hidup bersama kaum miskin dengan segala kompleksitasnya.

Taylor yang bergelut dalam kemiskinan selama 12 tahun menginginkan keluar dari sebab akibat kemiskinan yang telah banyak diketahui. Sebagai direktur Christian Aid yang menghadapi langsung masalah kemiskinan dunia, ia mengambil sisi narasi spiritualitas untuk membedah kemiskinan. Keadaan yang memprihatinkan di Rwanda sebagai contoh jelas bahwa komunitas miskin di sana tidak mengenal sisi spiritualitas dalam diri. Sehingga, tidak ada istilah untuk menginginkan kehidupan yang lebih baik ke depan, tidak ada hasrat untuk bangkit dan lepas dari penderitaan.

Berbeda dengan para Teolog lain yang masih memperdebatkan kebenaran tentang pertobatan dan rekonsiliasi sebagai solusi. Taylor beranggapan hal ini membutuhkan adanya perubahan fundamental pada lingkungan yang berdamai. Sebab, tidak mudah bagi orang Rwanda untuk saling memaafkan dan menghargai satu sama lain serta menciptakan tali kerjasama dan persahabatan. Sedangkan pertobatan terkesan seperti tawar-menawar pengampunan ilahi atas siapa yang bersalah dari krisis yang terjadi (hal 14).

Dalam buku ini, Taylor memberi tawaran solutif dari penelusurannya dalam spiritualitas yang didalaminya, sembari mengamati keadaan yang memungkinkan untuk keluar dari kemiskinan. Setidaknya ada empat proses kreatif yang bisa dilakukan.

Pertama, keterlibatan dan partisipasi semua pihak terus dipraktikkan secara luas dalam berbagai lingkungan pembangunan. Konsep partisipasi yang dimaksud adalah membenarkan adanya penyerataan antara yang miskin dan yang kaya. Mereka semua merupakan orang-orang bijaksana yang berhak tahu tentang kehidupannya dan bagaimana mewujudkannya. Karena ketika tanggungjawab itu ada, maka motivasi akan muncul. Selain itu, partisipasi menyulutkan kepercayaan dan harga diri orang.

Kedua, belajar dari kasus kemiskinan, rasialisme dan ketidakadilan di Brazil, maka konfrontasi yang biasanya mempunyai nuansa negatif justru bisa disebut langkah kreatif. Ia bisa membuka tabir ketidakadilan yang secara perlahan namun pasti.

Ketiga adalah solidaritas, yang dimaksud di sini adalah solidaritas yang memadukan semua sisi.Keempat adalah pengorbanan. Berangkat dari kisah Taylor ketika bertemu dengan Chico Mendes, sang pejuang penyadap karet yang tinggal di daerah Amazon. Ia menentang pemerintah dan tuan tanah yang berlaku tidak adil terhadap penyadap karet dari dalam dengan yang datang dari luar. Ia pun terbunuh. Namun kematian Chico Mendes justru membuka mata berbagai kalangan akan ketidakadilan yang terjadi di daerah tersebut.

Akhirnya yang harus dipahami oleh pembaca adalah bahwa buku ini menceritakan penelusuran spiritualitas seorang teolog dalam melihat dan memberikan persoalan tentang kemiskinan. Dilengkapi dengan pengalaman-pengalaman langsung bergelut dengan kemiskinan, sehingga solusi yang Taylor tawarkan tampak bukan omong kosong belaka.

Menikmati buku ini terasa menimbulkan simpati sekaligus empati yang diharapkan akan melakukan tindakan nyata ketika menghadapi kemiskinan. Maka layaklah bila kita jadikan referensi untuk mencari jawaban persoalan kemiskinan negara kita. (Alhimni Fahma, peresensi di Jurnal.Com)