30 Mei 2008

BTL Mengurangi Kemiskinan ?

Pemerintah akhirnya menaikkan harga BBM rata-rata 28%. Kenaikan harga BBM ini salah satunya dipicu oleh semakin melambungnya harga minyak dunia.

Situasi pahit ini tampaknya tak bisa dihindari dan memberikan pilihan yang sulit bagi pemerintah di tengah impitan ekonomi dan belenggu kemiskinan yang masih menggelayuti sekitar 17,75% warga bangsa ini.

Diperkirakan, jumlah orang miskin akan semakin membludak akibat kenaikan harga BBM tersebut. Di sisi lain, jika BBM tak dinaikkan, APBN akan semakin tergerus untuk menalangi subsidi BBM yang semakin membengkak. Untuk mengantisipasi hal tersebut, pemerintah menggelontorkan anggaran sekitar Rp14 triliun dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT) plus untuk mengurangi beban ekonomi yang harus ditanggung kaum miskin akibat kenaikan BBM tersebut.

Pertanyaan yang harus juga dikaji selanjutnya, apakah BLT plus tersebut akan benar-benar membantu kaum miskin mengingat pengalaman pada 2005 yang lalu skema ini sempat menimbulkan kericuhan akibat kurang matangnya antisipasi realitas kemiskinan di lapangan dan masih banyaknya bantuan yang tidak tepat sasaran. Lebih jauh, apakah program seperti ini akan benar-benar mengangkat kaum miskin dari jeratan kemiskinan?

Determinan Kemiskinan

Berbagai kelompok orang yang tergolong sebagai kaum miskin mengalami kemiskinan karena berbagai alasan. Setiap faktor penyebab yang membuat sekelompok orang dalam suatu masyarakat mengalami kemiskinan memerlukan penanganan yang berbeda-beda.Kemiskinan dan kerentanan yang dialami kaum miskin tersebut disebabkan karakteristik personal dan kondisi eksternal yang melingkupinya.

Kemampuan setiap individu (kombinasi antara kekuatan fisik dan kecakapan intelektual) dalam upayanya untuk memperoleh kehidupan yang layak dibatasi atau difasilitasi oleh lingkungan ekonomi,sosiokultural, alam,politik dan kelembagaan tertentu yang mereka hadapi (Devereux,2002).

Lebih lanjut Devereux menyebutkan, setidaknya ada tiga determinan penyebab kemiskinan. Pertama, produktivitas yang rendah menyebabkan rendahnya upah kerja yang diterima dan rendahnya hasil dari input produktif lainnya.

Kedua, kerentanan (vulnerability), yakni situasi di mana risiko dan konsekuensi akibat turunnya pendapatan dan konsumsi.Ketiga, ketergantungan (dependency), yakni ketidakmampuan menghasilkan pendapatan secara independen karena ketidakmampuan bekerja. Akar dari masalah-masalah tersebut sejatinya bukan sekadar persoalan ekonomi belaka.

Kemiskinan dan Ekonomisme

Selama ini pendekatan yang digunakan untuk melihat akar penyebab kemiskinan adalah memusatkan perhatian pada masalah pendapatan (income). Premis ini berangkat dari pemahaman bahwa orang yang makmur hidupnya adalah orang yang memiliki kecukupan makanan, rumah, dan perawatan kesehatan.

Dari sini, kepercayaan (beliefs) yang berkembang adalah bahwa masalah kemiskinan akan tuntas dengan pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya pendapatan rumah tangga setiap individu.Lebih sempit lagi,dalam paham ekonomisme (economism) disebutkan bahwa orang menjadi miskin karena mereka tak memiliki uang untuk membeli berbagai kebutuhan dasar hidup.

Situasi ini menurut paham ekonomisme bisa diatasi melalui peningkatan investasi, pertumbuhan ekonomi,penciptaan lapangan kerja, perbaikan kualitas pendidikan, dan sebagainya.Yapa (1996) menyebutkan, jika kita hanya mendefinisikan kemiskinan hanya sebagai persoalan ekonomi semata, kita tercegah dari melihat bagaimana kelangkaan barang pokok (basic goods) terkonstruksi secara sosial (socially constructed) pada hampir semua tempat dan setiap titik relasi-relasi produksi.

Contohnya, ada sejumlah cara untuk meningkatkan gizi masyarakat berpenghasilan rendah antara lain dengan mengurangi pembelian makanan olahan yang mahal, mendirikan koperasi untuk mendorong pembelian produksi dari dan oleh para anggotanya, pemberian akses kepada pembangunan dapur masyarakat (community kitchens), menanam tanaman makanan di halaman utamanya di daerah pedesaan serta penyebaran informasi mengenai tanaman pangan dapat dikonsumsi dan memiliki nilai untuk dimakan.

Opsi-opsi kreatif lainnya juga bisa dikembangkan dalam memecahkan masalah produksi makanan, pembangunan perumahan, serta penyediaan fasilitas pendidikan, kesehatan, dan transportasi,di mana kemungkinan opsi-opsi tersebut akan tertutup jika kita hanya melihat permasalahan kemiskinan sebagai masalah ekonomi yang terkait dengan pendapatan semata sehingga mencegah kita untuk mencari resolusi dari akar permasalahan penyebab kemiskinan yang sebenarnya yang ingin kita atasi bersama.

BLT dan Pengentasan Kemiskinan

Kembali kepada BLT.Tak dapat dimungkiri transfer tunai ini memiliki pengaruh, baik yang diinginkan maupun yang tak diinginkan, terhadap kehidupan kaum miskin dan perekonomian setempat di mana mereka tinggal.

Berdasarkan observasi yang dilakukan Devereux (2002), ada empat kesimpulan program serupa BLT di berbagai negara yakni, pertama, BLT yang diterima jumlahnya per kepala kecil hanya memiliki pengaruh yang tak signifikan jika dibandingkan dengan BLT dalam jumlah yang moderat. BLT hanya akan memiliki dampak yang berarti dalam bentuk investasi produktif jika jumlah per kepala BLT yang diterima lebih dari cukup untuk memenuhi konsumsi yang mendesak.

Kedua, BLT yang ditujukan sebagai intervensi consumption-smoothing dapat mencapai hasil yang berarti jika diberikan dengan volume yang cukup yang akan mendorong perdagangan lokal, menciptakan efek pengganda, menurunkan harga, dan meningkatkan daya beli masyarakat setempat.

Ketiga, pentingnya pemahaman akan konteks sosiokultural dalam pemberian BLT. Program jaring pengaman sosial ini lebih dari sekadar transfer dari kalangan masyarakat yang mampu terhadap kalangan masyarakat miskin. BLT ini juga memiliki implikasi akan relasi kekuasaan yang memiliki berbagai dampak yang tak terlihat di masyarakat.BLT yang mengesampingkan pertimbangan terhadap aspek sosiokultural akan berujung pada ketidakoptimalan dan memiliki dampak negatif jika program BLT ini tidak sensitif terhadap kebutuhan- kebutuhan dan hambatanhambatan nyata yang dihadapi masyarakat yang akan diberikan BLT tersebut.

Keempat, pemberian BLT yang tanpa diiringi transformasi struktural akan berujung kepada ketidaksinambungan dalam upaya mengentaskan kemiskinan.Umumnya argumentasi yang kerap diungkapkan adalah orang miskin menjadi miskin karena mengalami kekurangan pendapatan dan tak memiliki aset.Hal ini hanya merupakan deskripsi dari gejala kemiskinan, bukan akar penyebab kemiskinan itu sendiri.

Lemahnya kelembagaan ekonomi dan politik serta kebijakan yang buruk menyebabkan kemiskinan, antara lain pasar yang tak berfungsi dengan baik, langkah-langkah liberalisasi ekonomi yang terlalu radikal yang menyebabkan tertutupnya akses terhadap input-input pertanian atau dikenakannya biaya atas pelayananpelayanan publik dasar seperti kesehatan dan pendidikan adalah penyebab- penyebab utama kemiskinan.

Akhirnya, langkah- langkah pengentasan kemiskinan yang berkesinambungan dan berspektrum luas (broad-based) memerlukan penguatan kelembagaan sosial dan ekonomi dan jaminan akan akses terhadap inputinput produktif dan pelayanan-pelayanan publik yang esensial bagi segenap kalangan masyarakat,utamanya kaum miskin untuk mengangkat mereka dari kubangan kemiskinan. (Teddy Lesmana, Peneliti pada Pusat Penelitian Ekonomi LIPI)