14 Februari 2008

Peran Negara Dalam Kasus Lumpur Lapindo

Sejak 29 Mei 2006 hingga, luapan lumpur Lapindo telah menenggelamkan banyak tempat di sekitar Porong. Pemerintah selaku wakil negara sampai saat ini hanya mengeluarkan dua keputusan, yakni Perpres No. 13 tahun 2006 dan Perpes No. 14 tahun 2007. Kedua keputusan diatas hanya mengatur dua kelembagaan fungsional yang dibentuk oleh pemerintah untuk mengatasi dan menanggulangi luapan lumpur Lapindo dan dampak sosialnya. Dua lembaga fungsional itu adalah Tim Nasional Penanggulangan Lumpur dan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Dua lembaga ini hingga hari ini tidak banyak memiliki kemampuan untuk menutup sumber lumpur Lapindo, apalagi menangani dampak sosialnya. Hal ini terlihat dari masih menyemburnya lumpur Lapindo, bahkan munculnya semburan semburan baru yang jumlahnya kian banyak.

Untuk penanganan dampak sosial, kedua lembaga yang dibentuk oleh pemerintah itu justru tidak banyak memiliki kemampuan. Faktanya, hingga kini masih terdapat 630 kepala keluarga di Pasar Porong Baru yang hidup dalam pengungsian. Belum lagi sejumlah desa di luar peta terdampak yang ditetapkan oleh pemerintah sejak 22 Maret 2007 yang warganya masih hidup merana. Setidaknya ada beberapa desa yang mengalami kehancuran secara ekonomi. Diantaranya Desa Mindi, Pajarakan, Kedung Cangkring, Besuki, Glagah Arum, Sentul, Pelatar Sewu, Gempolsari, Siring Barat, Ketapang dan Kalitengah. Sawah dan saluran irigasinya di desa desa itu telah banyak yang tenggelam. Bahkan sebagian desa desa itu telah keluberan luapan lumpur Lapindo. Celakanya hingga hari ini, BPLS tidak dapat berbuat banyak atas kondisi buruk yang dialami warga. BPLS dan PT Minarak Lapindo Jaya terus bersikukuh pada wilayah penanganan di peta terdampak sebagaimana yang terlampir dalam Perpres No. 14 tahun 2007.

Memang didalam pasal 15 ayat 3 disebutkan bahwa untuk penanganan dampak sosial bagi wilayah diluar peta terdampak ditanggung pemerintah melalui anggaran negara (APBN). Namun faktanya pemerintah belum merumuskan secara rinci penggunaan anggaran negara itu untuk penanganan masalah sosial diluar peta. Jika BPLS, dan pemerintah tidak segera bertindak cepat atas problem ini, maka warga desa diatas yang telah enam belas bulan hidup dalam tekanan ekonomi akan terus semakin tergencet.

Dari berbagai pertemuan yang digelar oleh berbagai warga desa diatas, di desanya masing masing, mereka sepakat untuk mengajukan kepada pemerintah agar desa mereka dimasukkan ke dalam peta terdampak. Asumsi agar dimasukkan kedalam peta terdampak ini muncul dari kalangan warga desa diatas, sebab jika mereka diluar peta, PT Lapindo Brantas bisa cuci tangan atas kondisi buruk yang mereka alami. Sementara pemerintah belum memberikan skema yang kongkrit atas masalah masalah sosial yang muncul, jika status desa mereka masih diluar peta terdampak, kecuali pemberian uang evakuasi sebesar Rp. 500.000 per kepala keluarga yang diterima warga Desa Mindi, Pajarakan, Kedung Cangkring, dan Besuki. Gubernur Jawa Timur memang menjanjikan akan mengganti rugi gagal panen yang dialami oleh warga desa diatas. Namun hingga hari ini belum ada realisasinya.

Sementara bagi warga desa yang ada didalam peta terdampak, yakni dari Desa Siring, Jatirejo, Kedung Bendo, Renokenongo, dan sebagian Glagah Arum peran pemerintah masih menyisakan masalah. Selain problem pengungsian di Pasar Porong Baru yang warganya menuntut skema penyelesaian khusus dan belum ada titik temu hingga kini dengan PT Minarak Lapindo Jaya, kini muncul polemik baru soal pembayaran 80 persen bagi warga yang menerima skema pembayaran sesuai pasal 15 ayat 2 dalam Perpres No. 14 tahun 207. Dalam kasus pengungsian di Pasar Baru Porong, pemerintah kurang maksimal dalam memberikan bantuan dan layanan livelihood warga.

Sebanyak 630 kepala keluarga harus mencari kebutuhan bersih untuk minum sendiri. Mereka harus membeli setiap harinya 18.000 liter. PT Minarak memberikan jatah nasi bungkus kepada mereka dibawah komposisi asupan gizi yang layak. Belum lagi mereka harus mengusahakan sekolah taman kanak kanan dan taman pendidikan al qur’an sendiri bagi anak anak mereka. Sampai saat ada warga yang meninggal dunia, pihak keluarganya harus mengusahakan tempat pemakaman sendiri. Kondisi ini akan semakin menyulitkan kehidupan mereka, padahal pemakaman di desa mereka telah tenggelam menjadi lautan lumpur.

Sementara sekitar 11ribu kepala keluarga saat ini menantikan sisa pembayaran 80 persen. Polemik mulai dimunculkan, sisa 80 persen akan dibayarakan dengan menawarkan perumahan. PT Minarak Lapido Jaya memang menyatakan bahwa penawaran perumahan ini sifatnya sukarela, karena memang tidak diatur secara rinci didalam Perpres No. 14 tahun 2007. Pemerintah mestinya harus melakukan kontrol atas kemungkinan praktik semacam ini. Faktanya dalam beberapa kasus posisi warga selalu lemah disaat bernegosiasi dengan PT Minarak Lapindo Jaya. Adanya isu tidak dibayarakan yang 80 persen jika tidak menerima konsep relokasi perumahan telah menjadi momok tersendiri saat ini bagi warga.

Pemerintah juga tidak pernah memikirkan penyelesaian ganti rugi bagi warga desa yang statusnya pengontrak rumah dan bangunan di desa –desa yang masuk dalam peta terdampak. Ada sekitar 300 kepala keluarga di Perumtas 1 yang statusnya pengontrak, dan 70 kepala keluarga yang menjadi penjual buah, yang sewa lahan di PT Kereta Api di Desa Jatirejo. Kondisi ini masih menyisakan protes dikalangan warga. Akankah ini dianggap riak kecil yang tiada arti?

Belum lagi proses hukum pidana terhadap PT Lapindo Brantas yang belum pernah ada kejelasan. Sedangkan gugatan perdata warga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan dimentahkan oleh pihak pengadilan. Akankah negara selalu gamang melakukan proses penegakan keadilan bagi pemodal dan penguasa? Selalukah rakyat yang senantiasa menjadi tumbal. Agaknya rakyat harus menyudahi kelaliman ini pada pemilu 2009 nanti. (Paring Waluyo Utomo, pendamping korban lumpur di Pengungsian Pasar Porong Baru dan beberapa desa di luar peta terdampak)