Karina Keuskupan
Surabaya atau Kariyo kembali mengadakan pelatihan peningkatan kapasitas relawan.
Bertempat di Ubaya Training Center, Trawas, Mojokerto, 35 peserta dari 15 paroki
rawan bencana mengikuti pelatihan yang berlangsung selama 3 hari. Peserta yang hadir dalam
pelatihan ini merupakan perwakilan Seksi Sosial paroki dan relawan muda paroki
di Keuskupan Surabaya. Pelatihan yang berlangsung dari tanggal 18-20 Januari
2013 dilaksanakan dalam rangka peningkatan kapasitas para relawan yang selama ini terlibat dalam aktivitas
kebencanaan.
Beberapa paroki di luar Kevikepan Surabaya (kota) merupakan wilayah dengan tingkat ancaman bencana cukup tinggi. Bencana yang kerap muncul adalah banjir, tanah longsor dan gunung berapi. Beberapa titik wilayah Keuskupan Surabaya merupakan daerah terdampak banjir atau Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengawan Solo. Daerah dengan tingkat ancaman cukup tinggi meliputi Bojonegoro, Cepu dan Lamongan. Sedangkan titik ancaman gunung berapi ada di Kevikepan Kediri dan Blitar. Sedangkan lokasi dengan ancaman rawan longsor di Kawasan Madiun, Ponorogo, Pacitan, Trengalek dan sekitarnya.
Didampingi fasilitator dari Karina KWI dan Kariyo, pelatihan ini menjadi kesempatan berbagi pengalaman antar para relawan. Pengalaman respon tanggap darurat yang terjadi di tingkat paroki dibagikan di antara para relawan. Salah satu pengalaman menarik ialah respon tanggap darurat. Pada saat tanggap darurat, relawan kerap menghadapi pembajakan bantuan serta klaim bantuan oleh pihak lain. “Bantuan yang telah disiapkan di paroki untuk wilayah tertentu, ketika dikirim tidak sampai lokasi yang dimaksud karena “dibajak” di tengah jalan oleh kelompok pengungsi lainya” begitu pengakuan Bp. Aris dari Paroki St. Wilibrordus, Cepu. Ada pula pengalaman lain, "Ketika kami sudah menyiapkan bantuan, ternyata sudah banyak posko dengan bendera aneka kelompok yang menghadang. Mereka meminta bantuan untuk diserahkan kepada mereka" kata Bp. Bambang dari Paroki St. Maria dengan Tidak Bernoda Asal, Tulungagung.
Kasus “pembajakan”
bantuan ini memang kerap terjadi dalam
situasi darurat. Untuk meminimalisir situasi seperti ini diperlukan treatment khusus, sehingga bantuan tepat
sasaran. Treatment ini dipelajari bersama dalam sesi Kajian Tanggap Darurat (assesment) ,
di mana setiap relawan perlu melakukan kajian tentang situasi bencana untuk
memastikan kondisi, kebutuhan, sumberdaya, bantuan serta informasi terkait
penyaluran bantuan. Hasil kajian inilah yang menjadi tahap awal respon tanggap
darurat. Hasil kajian ini juga menjadi
bahan penyusunan Sitrep (Situation Report)
yang akan menjadi informasi
pengambilan keputusan go or not go, serta panduan bagi pihak lain yang akan terlibat membantu.
Selain mempelajari Kajian Tanggap Darurat dan Sitrep, peserta juga dikenalkan dengan materi Sphere, Manajeman Keuangan Tanggap Darurat, Distribusi dan Logistik serta Kode Etik Pekerja Kemanusiaan. Sphere atau Standar Minimum Respon Kemanusiaan merupakan pegangan yang berisikan pertimbangan dalam mengawal kualitas dan akuntabilitas dalam respon kemanusiaan. Standar Sphere merupakan kitab yang diakui dan dipakai oleh semua lembaga kemanusiaan berstandard internasional. Dengan mengenal Sphere relawan diharapkan mampu memahami standar minimum bantuan, misalnya dalam hal pasokan air, sanitasi, ketahanan pangan dan gizi, pada saat melayani masyarakat terdampak bencana.
Semua materi
pembelajaran dalam pelatihan ini, kemudian diujicobakan dalam proses simulasi.
Proses simulasi, selain melihat daya serap materi pembelajaran peserta juga untuk
mendekatkan relawan dengan situasi darurat. Dengan memakai skenario situasi banjir Bengawan Solo, peserta dibagi
dalam berberapa paroki. Peserta mempraktekan hasil pembelajaran yang telah didapat. Proses yang berlangsung
selama 3 jam ini dijalankan dengan penuh kesungguhan dan bersemangat oleh peserta. Rangkuman
materi dalam simulasi, menjadi pembelajaran bersama, bahwa dalam respon tanggap
darurat membutuhkan pola dan tindakan yang sistematis. Hal itu demi meminimalisir
resiko dan menjaga mutu serta akuntabilitas kerja kemanusiaan.
Selain mengirimkan perwakilan Seksi Sosial paroki, ada beberapa orang muda. Sebagian besar paroki mengirimkan relawan muda yang pernah dan akan dilibatkan dalam respon kebencanaan di tingkat paroki. Kehadiran relawan muda dalam respon tanggap darurat bencana adalah sebuah kemajuan yang patut ditumbuhkembangkan. Jiwa kerelawanan yang tumbuh dikalangan orang muda perlu diberi perhatian khusus dengan peningkatan kapasitas serta spriritualitas. Di tengah suasana apatis orang muda, munculnya kelompok relawan merupakan tanda baik bagi karya pelayanan Gereja di masa depan. Salam belarasa. (ANY).