Bencana alam menjadi perhatian global yang berpotensi menggagalkan pencapaian pembangunan dan mendorong jutaan orang menjadi miskin. Namun, upaya pengurangan risiko bencana—kunci penanggulangan bencana—masih jauh dari harapan.
Berbicara pada pembukaan Konferensi Tingkat Menteri Ke-5 Se-Asia untuk Pengurangan Risiko Bencana di Yogyakarta, Selasa (23/10), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, butuh komitmen bersama antarbangsa untuk memastikan pengurangan risiko bencana jadi bagian penting pembangunan.
Menurut Yudhoyono, bagi Indonesia, pembahasan pengurangan risiko bencana amat penting mengingat seringnya bencana. ”Indonesia diapit dua kawasan seismik dan tektonik paling aktif di dunia, Cincin Api Pasifik dan Sabuk Alpide. Akibatnya, berada di salah satu kawasan paling rentan di dunia,” katanya.
Presiden juga menyebutkan, berdasarkan Indeks Risiko Bencana Indonesia, dari 494 wilayah di Indonesia, 396 wilayah masuk kategori wilayah berisiko tinggi, yang rentan dilanda berbagai jenis bencana.
Presiden juga mendorong peningkatan kerja sama internasional menanggulangi bencana alam. ”Tak ada negara yang mampu menanggulangi bencana sendirian,” katanya. Oleh karena itu, Indonesia aktif mempromosikan kerja sama bilateral, regional, dan multilateral untuk membangun kapasitas menanggulangi risiko.
Yudhoyono mengingatkan, Hyogo Framework for Action, yang selama ini jadi rujukan bagi negara-negara di dunia dalam pengurangan risiko bencana, akan berakhir 2015. ”Saya berharap konferensi ini memberi kontribusi terhadap agenda pengurangan risiko bencana pasca-2015,” lanjutnya. ”Indonesia berkomitmen bahwa pasca-2015 agenda pembangunan memperhitungkan dimensi bencana alam.”
Pada forum yang sama, Margareta Wahlstrom, Special Representative of the UN Secretary General for Disaster Risk Reduction, menggarisbawahi tren peningkatan dampak bencana alam terhadap kerugian ekonomi dunia. Dampak terbesar dialami negara-negara Asia Pasifik.
Ia menyebut gempa dan tsunami di Jepang serta banjir di Thailand tahun 2011 menyebabkan kerugian 294 miliar dollar AS. Jumlah ini mencapai 80 persen dari total kerugian dunia akibat bencana yang mencapai 366,1 miliar dollar AS. Kerugian selama 2011 ini mencapai 80 persen dari total kerugian akibat bencana dalam kurun 2000-2009. ”Dampak bencana meningkat lebih cepat dibandingkan dengan kemampuan kita membangun ketahanan terhadap bencana,” katanya.
Presiden menekankan pengurangan risiko bencana prioritas nasional. Praktiknya belum optimal. ”Anggaran amat kecil. Bahkan, banyak kabupaten defisit anggaran,” kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Syamsul Maarif.
Setiap tahun, alokasi APBN untuk bencana rata-rata Rp 12,5 triliun atau 1 persen dari total APBN. Anggaran ini tersebar di 36 kementerian dan lembaga, sedangkan yang dikelola BNPB sekitar Rp 1 triliun. (Kompas, 24 Okt 2012)