01 Juli 2012

Dialog Dalam Gereja Diaspora

 


Komisi HAK Keuskupan Regio Jawa mengadakan Lokakarya. Lokakarya yang mengambil tema Merajut Dialog dalam Gerak Diaspora diadakan pada 18-20 Juni 2012 di Rumah Retret Griya Paseban, Semarang. Bp. Budi dan Bp. Rubyanto menjadi utusan dari Keuskupan Surabaya.

Lokakarya tersebut dilatarbelakangi situasi keprihatinan berkenaan dengan fenomena kekerasan berbasis agama dan minimnya semangat dialog. Maka Komisi HAK mempromosikan semangat, animasi, penyadaran dan gerakan untuk membangun persaudaraan sejati. Meskipun Komisi HAK berada dalam keterbatasan formal sehingga kurang gesit untuk mempromosikan hal-hal tersebut di berbagai tingkat sosial dan kelompok masyarakat, terutama di akar rumput (masyarakat basis).
 
Sementara itu banyak kelompok atau kantung keprihatinan yang ada di masyarakat. Komisi HAK perlu menghadirkan diri dalam kelompok tersebut sebagai gerak diaspora. Bukan sebagai organisasi, namun organisme yang hidup di pusat-pusat keprihatinan masyarakat. Dengan demikian, gerak sporadis Komisi HAK hadir dalam situasi keprihatinan masyarakat, merasuk ke dalam pusat keprihatinan dan bersama masyarakat memperjuangkan keadilan sosial dan persaudaraan sejati.  Di sanalah, sebenarnya pusat-pusat persaudaraan sejati dibangun entah dalam dialog iman, dialog teologi, dialog hidup dan terlebih lagi dialog karya.
 
Pengalaman Dialog
 
Rm. Kirjito, Pr dalam paparan berjudul Menggagas Gerakan Diaspora Komisi HAK, mengatakan bahwa di Indonesia pluralitas itu sudah bebas dari persoalan agama. Tetapi memang terpaku pada angka, mana yang mayoritas maupun yang minoritas. Mengutip pendapat Romo Mangunwijaya, beliau mengatakan bahwa sebagus apapun sistem modernisasi atau demokrasi dalam suatu negara, pasti ada korban. Salah satu yang menjadi korban adalah rakyat kecil dan petani.
 
Bp. Bimo petani dari Klaten menceritakan pengalaman prbadi, bahwa sejak kecil beliau tidak menemukan pergolakan dan permasalahan tentang keagamaan. Justru beliau menikah dengan istri yang dulu berniat untuk menjadi suster dan Katoliknya kuat. Beliau memang menjadi minoritas dalam keluarga besar, namun hal tersebt tidak mempengaruhi keharmonisan. Hal ini terbukti dengan adanya rasa saling menghormati dan tidak pernah ada masalah agama dan keyakinan. Bp. Bimo tidak merasa tertekan, melainkan tetap menjadi seorang muslim. Berdasarkan sejarah, tentang keruntuhan Majapahit, beliau menyimpulkan bahwa sebenarnya masalah yang terjadi di Indonesia sekarang ini, adalah hanya persoalan kekuasaan. Ada segelintir orang ingin berkuasa dan menimbulkan pergolakan, dengan melibatkan isu agama.
 
Dalam pergaulan, beliau justru banyak memperoleh ilmu tentang filsafat dan pemikiran dari para romo. Itulah yang menyebabkan tertarik dengan konsep misa yang diiringi gamelan. Ia juga berperan dan menjadi sutradara dalam kisah sengsara Yesus, yang mengharuskan beliau untuk lebih mendalami tentang kisah sengsara, dari Kitab Suci dan referensi lain. Itulah yang membuat beliau memahami, bahwa jika mempunyai pemikiran untuk keluar dari kotak, seseorang dapat memandang segala sesuatu lebih luas, tanpa gesekan.
 
Semangat Konsili Vatikan II
 
Sementara itu, Bapa Julius Kardinal Darmaatmadja dalam makalah berjudul Dialog Antar Umat Beragama Aspek Misioner Gereja, mengatakan bahwa tugas Gereja menyelamatkan semua orang. Semangat menyelamatkan jiwa-jiwa menjadi semangat para misionaris. Setelah Konsili Vatikan II, Gereja meskipun tahu bahwa tugasnya menyelamatkan semua orang, orientasinya pada umat sendiri dan mereka yang menerima baptisan. Karena itu muncul gagasan dialog. Beliau mengakui, bagaimanapun dialog berhasil bukan karena saya, tetapi dari kelompok lain, termasuk kelompok Islam yang terbuka untuk berdialog. Maka kita sebagai warga Gereja yang memelopori dialog, perlu mengembangkan dialog.
 
Dalam sejarah Gereja, Paus Paulus VI mulai menunjukan sikap penghormatan terhadap agama-agama lain. Karena kompleksitas masalah, maka Gereja tidak mewartakan Yesus Kristus kepada orang-orang non Kristen. Lagipula situasi tidak memungkinkan. Selain karena sikap dasar untuk menghargai agama lain. Maka dalam berdialog, umat perlu terus membangun kepercayaan, persaudaraan dan mengikis persaingan.
 
Pada masa selanjutnya, Paus Yohanes Paulus II merintis dialog dalam Pertemuan Doa di Asisi, Itali. Ini sebenarnya sebuah momen. Dengan  berdoa, makan kecurigaan terhadap perbedaan hilang dan setan yang membuat percekcokan itu kalah. Selanjutnya, Paus Benediktus XVI yang dulu dianggap tidak merestui pertemuan di Asisi, ternyata berubah total. Pada saat perayaan 25 tahun pertemuan Asisi, beliau justru menambah komponen yang diundang, termasuk tokoh ateis.
 
Bapa Kardinal mengajak peserta terus menumbuhkan semangat saling percaya sehingga ada kedamaian, meskipun ada perbedaan iman dan budaya. Mantan Uskup Agung Jakarta itu mengajurkan agar umat membangun kerja sama atau membangun proyek kemanusiaan bersama, untuk mensejahterakan masyarakat. Beliau memikirkan bagaimana agar misalnya, umat basis di Keuskupan membangun lingkungan  yang bersih.  Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) yang bergaul dengan kaum ibu yang bukan katolik, bisa melakukan sesuatu yang memiliki dampak luar biasa. Mereka bisa membangun komunitas berdasarkan kasih. Karena, kaum ibu sangat strategis dalam membangun jaringan semacam itu dan tidak dicurigai. Maka baik jika masing-masing pihak mencari cara sesuai dengan kondisi setempat dalam dialog dan mengembangkan sikap misioner. Dialog sebaiknya dikembangkan tidak hanya di dalam Gereja, tetapi di tengah masyarakat.
 
Model Dialog Diaspora
 
Di sela-sela lokakarya, para peserta melakukan kunjungan ke Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT). Komunitas tersebut merupakan organisasi petani non-partisan, independen dan non-profit yang didirikan oleh perwakilan dan aktifis gerakan petani pada tanggal 10 Agustus 1999 di Salatiga. Nama “Qaryah Thayyibah” diambil dari bahasa Arab yang artinya adalah desa yang berdaya.
 
Visi SPPQT membangun peradaban Indonesia berbasis pertanian, sehingga terbentuk masyarakat yang adil dan makmur. Adapun misi SPPQT mewujudkan masyarakat tani yang tangguh, mampu mengelola sumber daya sesuai dengan prinsip keadilan, kelestarian lingkungan serta keadilan laki-laki dan perempuan. Kelompok itu memiliki jejaring dengan 55 paguyuban petani di wilayah Salatiga, Semarang, Magelang, Temanggung, Wonosobo, Kendal, Batang, Grobogan, Boyolali dan Sragen. Mereka juga memiliki jaringan dengan 11 lembaga pendidikan setingkat SMP dan SMU, 1 Universitas dan 1 pendidikan anak usia dini. Ada pula koperasi simpan pinjam dan 28 lembaga ekonomi gardu tani. SPPQT bisa menjadi model dialog karya yang bersifat diaspora. Yang menarik, para pengurus dan anggota berasal dari berbagai kalangan, termasuk Ruth Murtiasih yang menjadi  Wakil ketua dewan pimpinan periode 2007-2011.
 
Pada akhir lokakarya, para peserta membuat rekomendasi bersama. Rekomendasi itu pertama, mengajak para insan Komisi HAK lebih mendekatkan diri kepada tokoh-tokoh agama lain untuk berkomunikasi demi menjaga suasana kondusif. Kedua, berpartisipasi dalam penyadaran umat untuk mengikuti Pemilu 2014 secara etis dan bertanggungjawab. Ketiga, Komisi HAK tetap menjaga netralitas terhadap para calon. Keempat, Komisi HAK sebagai penyalur kebenaran agar cermat memilih calon pemimpin yang 100 % Pancasilais dan 100 % Nasionalis  dan peduli kepada rakyat, terutama yang kecil, lemah, miskin, tersingkir dan difabel. (BUD/RUB).