18 November 2011

Peningkatan Kapasitas Tanggap Darurat (1)



Karina Keuskupan Surabaya yang mengikuti kegiatan CB4ER (Capacity Building for Emergency Response), menindaklanjuti dengan mengadakan Peningkatan Kapasitas Tanggap Darurat Bencana, sebagai tindak lanjut pelatihan yang sama. Pelatihan yang diadakan 8-9 Oktober 2011 tersebut diadakan di Komplek SDK Slorok, Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar. Fasilitator kegiatan ini ialah tim 9 yang telah mengikuti pelatihan di Larantuka dengan fasilitator dan dukungan dari Karina KWI dan Catholic Relief Service (CRS).

Latar belakang kegiatan ini ialah situasi dan kondisi geografis wilayah Keuskupan Surabaya yang memiliki daerah rawan bencana seperti banjir, letusan gunung berapi dan tanah longsor. Ini karena ada 2 aliran sungai besar yakni Sungai Bengawan Solo dan Sungai Brantas. Selain itu terdapat gunung berapi aktif yakni Gunung Kelud. Sementara itu di bagian selatan, merupakan daerah pegunungan yang rawan longsor dan di pesisir selatan rawan tsunami seperti Pacitan, Trenggalek dan Tulung Agung.

Sebelumnya, pada tanggal 18-23 Juni 2011, 9 orang perwakilan Karina Surabaya telah mengikuti Pelatihan Sphere di Larantuka. Mereka terdiri dari 2 orang wakil BPBD Propinsi Jawa Timur, 1 orang wakil BPBD Kota Madiun, 1 orang perwakilan LSM, 2 orang wakil Karina Surabaya dan 2 orang wakil Karina Posko Madiun dan Pare. Dalam pelatihan ini selain mendapatkan materi standard penanganan bencana, peserta berinteraksi dan berbagi pengalaman dalam merespon bencana. Pada akhir pertemuan disepakati terbentuknya tim 9 untuk menginformasikan hasil pelatihan ke beberapa daerah. Kegiatan ini bertujuan, membentuk jejaring antar peserta pelatihan di tingkat daerah, pengenalan ancaman wilayah masing-masing, pengenalan pelaksanaan kegiatan operasi tanggap darurat sesuai dengan kode etik pekerja kemanusiaan dan pengenalan menyusun sistem akuntabilitas bagi penerima manfaat dalam respon bencana.

Peserta kegiatan ini 35 orang relawan Karina Posko Blitar, Madiun, Wlingi, Kediri, Wlingi, Tulung Agung dan Trenggalek juga OMK paroki dan stasi, pengurus Seksi Sosial Paroki, Kesbanglimaspol dan Dinas Sosial Kabupaten Blitar dan aparat desa rawan bencana.

F.J. Soewandi, Seksos Paroki St. Yusup, Blitar, mewakili Rm. Prima Novianto, Pr mengucapkan dukungan atas prakarsa pertemuan tersebut dan mengharapkan ada tindak lanjut. Pengalaman selama 69 tahun di Blitar mengalami Gunung Kelud meletus sepertinya tidak ada apa-apa. Tetapi setelah itu, ada banjir bandang dengan kedalaman 3 meter akibat hutan jati dibabat. Ia mengharapkan Paroki di Blitar, Tulung Agung dan Wlingi membentuk Karina agar menjadi ujung tombak ketika terjadi bencana. Bencana bukan hanya saat gunung meletus, tetapi juga lahar dingin. Apresiasi disampaikan kepada para relawan yang mengorbankan diri untuk kegiatan kemanusiaan. Paroki sangat mendukung gagasan dan kerjasama dengan dinas-dinas terkait.

Sebagai Pengantar, Sdr. Joseph Hanny Hendra memberikan gambaran pelatihan. Berdasarkan pengalaman, ternyata tidak bisa bekerja sendiri atau dalam kelompok sendiri, melainkan bekerjasama dengan berbagai lembaga yang bergerak di bidang kebencanaan baik dari pemerintah maupun non pemerintah. Maka pelatihan ini melibatkan unsur Dinsos, BPBD, Kesbanglinmaspol, aparat Pemerintah Desa, LSM dan Gereja. Ketika merespon bencana, harapannya tidak amburadul tetapi ada komando yang jelas.  Harapannya ada jejaring dalam penanganan bencana. Sebagai contoh di Pare dan Madiun ada jejaring dengan pemerintah dan lembaga non pemerintah sehingga bisa bekerjasama. Kegiatan ini juga kesempatan meningkatkan kapasitas sebagai pribadi / kelompok, pertemuan persaudaraan, sehingga saling mengenal dan memudahkan koordinasi menangani bencana.

Pada sesi Merancang Organisasi, Bp. Marcus Hariastono menunjukkan sistem yang terdiri dari kelompok yang memiliki hirarki yang sistematis dalam pembagian kerja. Syarat organisasi memiliki struktur atau jenjang kedudukan yang memungkinan individu memiliki posisi yang jelas dan ada pembagian kerja. Setiap individu dalam organisasi memiliki satu bidang pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya. Peserta diajak membuat organisasi dengan menentukan tugas ketua, sekretaris dan bendahara. Lalu fasilitator mengecek dan kelompok mempresentasikan kembali tugasnya.

Sesi selanjutnya, Pengenalan Karina Keuskupan Surabaya, Rm. A. Luluk Widyawan, Pr mengatakan bahwa Karina Surabaya menjadi satu keluarga bersama Karina Keuskupan di Indonesia dan Karina KWI. Pembentukan Karina tak lain karena situasi wilayah di Keuskupan Surabaya rawan bencana. Kegiatan yang dilakukan ialah tanggap darurat bencana, peningkatan kapasitas relawan dengan melibatkan paroki. Karina tidak membawa bendera agama, tetapi kemanusiaan. Hal ini mengingat visi Karina ialah belarasa demi keutuhan martabat manusia. Selama hampir 5 tahun,  Karina Surabaya beberapa kali membantu kegiatan tanggap darurat di berbagai tempat, mengikuti pelatihan peningkatan kapasitas, merancang organisasi, menduplikasikan hasil pelatihan, terutama kepada paroki rawan bencana dan membuat jejaring dengan kevikepan dan paroki untuk memudahkan koordinasi. Ia menekankan bahwa siapapun boleh terlibat, mendukung kegiatan Karina, karena kegiatan ini bersifat kerelawanan. Namun mereka yang terlibat hendaknya mengikuti cara kerja yang telah dijadikan prosedur bersama. Selain itu, jika paroki hendak mengadakan kegiatan Karina, agar tetap berkoordinasi dengan Pastor Paroki, Dewan Pastoral Paroki, Seksi Sosial Paroki atau Stasi.

Pada sesi Kode Etik Pekerja Kemanusiaan, Budi Hartono menjelaskan rumusan Sphere yang dibuat Palang Merah Internasional dan Bulan Sabit Merah. Kode etik ini sifatnya bukan teknis operasional, tetapi mempertahankan standar tinggi dalam respon kemanusiaan. Misalnya, panggilan kemanusiaan harus diutamakan. Berkenaan dengan bantuan, harus diberikan tanpa memandang ras, agama atau kebangsaan tanpa membeda-bedakan. Prioritas bantuan ditentukan semata-mata berdasarkan kebutuhan. Bantuan tidak boleh digunakan untuk kepentingan politik atau keagamaan tertentu, juga tidak mejadi alat politik pemerintah. Bantuan justru tetap menghargai kebudayaan dan adat istiadat setempat, membangkitkan respon terhadap bencana dari kapasitas lokal dan melibatkan penerima bantuan dalam pengelolaan bantuan darurat. Bantuan harus berusaha mengurangi kerentanan di masa datang dan memenuhi kebutuhan dasar sementara. Lembaga kemanusiaan harus akuntabel, kepada mereka yang dibantu, maupun mereka yang memberikan sumber daya. Dalam kegiatan informasi, publikasi dan kampanye, harus ada sikap memperlakukan korban bencana sebagai manusia yang bermatabat dan bukan sebagai obyek yang tidak berpengharapan.

Itulah rambu-rambu yang membantu menjalankan tugas kemanusiaan supaya tidak keluar dari rel, tidak menimbulkan bencana baru dan pijakan untuk bekerja bersama. Kode etik ini sifatnya mengikat. Tujuannya agar ada kesepakatan untuk tidak keluar dari jalur prosedur sehingga tidak disalahgunakan. Sebaliknya jika dijalankan, akan sangat besar manfaatnya dan mengamankan pekerjaan dan pekerja kemanusiaan. (disarikan dari: Notulensi Peningkatan Kapasitas Tanggap Darurat Bencana, Slorok, Blitar)