17 Februari 2009

Kerangka Dasar APP 2009 Keuskupan Surabaya: Komunitas Dialogis Bersama Umat Beragama Lain Mewujudkan Kesejahteraan Umum

1. Pendahuluan

Kita tahu, agama secara inheren sarat dengan nilai-nilai luhur keselamatan manusia. Agama menempatkan dirinya sebagai pewarta kabar gembira keselamatan. Dalam konteks Indonesia, ketidaksejahteraan masyarakat yang berarti kemiskinan ekonomi, pengangguran, masalah pendidikan dan kesehatan, yang menimpa, merupakan tantangan yang harus diatasi dengan keberpihakan semua pihak.

Banyak saudara kita hidup dalam kemiskinan, belum tercukupi hak-hak dasarnya. Mereka ingin membebaskan diri dengan kekuatan sendiri, tetapi tidak berdaya. Menghadapi situasi seperti ini, agama-agama diharapkan terpanggil dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Apalagi mereka lahir, tumbuh, dan berkembang di masyarakat. Bersama umat beragama lain, Gereja sebagai komunitas beriman dipanggil hadir melakukan aktualisasi diri melalui aneka kegiatan sosial di masyarakat. Karena lembaga keagamaan memiliki peran strategis untuk berpartisipasi dalam mewujudkan kesejahteraan umum.

Agama yang hanya puas pada ritual berhenti pada formalisme agama yang mandul dari praktek sosial, tidak akan mampu mengatasi masalah kemanusiaan ini. Gereja sebagai lembaga agama senantiasa ditagih untuk melakukan revitalisasi doktrin dengan bahasa kemanusiaan yang lebih relevan sekaligus menjadi motivator dalam mewujudkan kesejahteraan umum. Gereja ditantang menyelesaikan aneka urusan yang lebih nyata.

Pada saat bersamaan, semua agama harus bersatu, bekerja sama memerangi kemiskinan daripada memperbesar perbedaan ritual dan memicu konflik sosial. Bahkan, sudah waktunya Gereja bergandengan tangan bersama semua agama di Indonesia meredefinisi diri sebagai kekuatan perubahan (the power of change) bagi umatnya dengan mengobarkan etos kerja keras, hemat, gotong-royong, peduli, bela rasa, rela berkorban, sebagai “panggilan” Tuhan untuk dalam menghadirkan keselamatan secara nyata.

Negara Indonesia memiliki komposisi masyarakat plural yang agamis. Namun, potensinya belum tergali guna membebaskan masyarakat dari aneka masalah. Agama-agama hendaknya bersatu dan perlu berpikir serius tentang tanggung jawab moral-sosial menghadapi aneka persoalan.Jika Gereja, bersama agama lain dan pemerintah bergerak maju bersama dan bersinergi dengan umat beragama lapis bawah, bangsa ini akan menggapai kesejahteraan. Maka, aneka usaha, program pemberdayaan dan perhatian hendaknya melibatkan partisipasi masyarakat, agama-agama terutama di lapisan paling bawah. Kegaiatan agama yang bersentuhan dengan masyarakat bawah dapat menjadi ujung tombak pemberdayaan demi terwujudnya kesejahteraan bersama. Maka agama perlu melakukan penguatan yang cukup dan diberi bekal keterampilan dalam melakukan pendampingan sehingga kualitas pendampingannya akan lebih menyentuh persoalan nyata di masyarakat. Kegiatan agama yang selama ini hanya berkutat bidang rohani harus diberdayakan agar menjabarkan kegiatan pengembangan sosial ekonomi yang langsung menyentuh masyarakat.

Upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat pada dasarnya merupakan cita-cita dari karya keselamatan Yesus mewartakan kabar gembira kepada manusia. Kesejahteraan dalam hal ini mencakup dimensi lahir batin, material dan spiritual. Yesus menghendaki pengikutnya mewartakan kabar keselamatan. Oleh karena itu Gereja bersama agama-agama lain diharapkan dapat memberikan kontribusi nyata dalam mewujudkan Indonesia yang sejahtera.

Agama diharapkan ada pada garda terdepan perubahan sosial dan perbaikan derajat hidup dan kehidupan umatnya. Mungkin tak berlebihan menempatkan nilai-nilai iman yang emansipatif menjadi obor penerang ritual sosial yang mendorong kepedulian sosial. Panggilan mulia umat beriman adalah membebaskan dari dosa, kemiskinan dan ketidakdilan.

Gerakan APP 2008 yang bertema Pemberdayaan Lingkungan Hidup telah membuahkan hasil dalam bentuk pertobatan dan solidaritas. Pertobatan dan solidaritas diwujudkan dalam pemberian sumbangan dana APP 2008 serta tindakan nyata lainnya seperti: pengelolaan sampah (kompos), membuat pupuk organik, reboisasi dan sebagainya.

Sementara gerakan APP 2008, kini kita diajak untuk merenungkan dan mengimplimentasikan tema APP 2009, Pemberdayaan Hubungan antar-Umat Beriman, sebagai bagian dari tema besar untuk lima tahun (2007 – 2011): Pemberdayaan Kesejatian Hidup. Dalam locus theologicus-nya, Gereja di Keuskupan Surabaya diajak melakukan pertobatan komunal demi mewujudkan Komunitas Dialogis Bersama Umat Beragama Lain Mewujudkan Kesejahteraan Umum.

2. Latar Belakang

2.1. Masyarakat Plural

Indonesia adalah sebuah masyarakat plural. Kondisi ini dalam masyarakat tidak dapat dihindarkan. Bukan hanya plural dalam arti kelompok-kelompok, tetapi juga plural dalam tradisi-tradisi agama besar. Dalam masyarakat plural diakui dalam perjalanan sejarah bangsa, hubungan antar agama mengalami pasang-surut. Tidak jarang karena semangat menonjolkan diri yang berlebihan disertai sikap tidak siap menghadapi perbedaan, timbul konflik dan meminta korban harta dan nyawa anak bangsa.

Masyarakat plural merupakan kekayaan yang menjadi indah jika perbedaan tersebut menjadi sinergi kekuatan yang siap mengawal pemantapan tatanan kehidupan masyarakat (kebudayaan, peradaban). Ibarat meramu obat, keanekaragaman justru mampu membawa kemidupan masyarakat lebih sejahtera.

Di Keuskupan Surabaya, tantangan untuk membangun keharmonisan dalam masyarakat plural perlu ditingkatkan. Memang, dalam hubungan dengan agama lain telah terbuka dan menerima perbedaan. Beberapa hal yang menggembirakan adanya kesadaran sikap bahwa pluralitas adalah keniscayaan, dialog proaktif mempromosikan pluralisme dan toleransi antaragama. Namun, berhadapan dengan kenyataan sebagian besar masyarakat sekitar mengalami kehidupan yang belum sejahtera, konsepsi masyarakat plural tidak cukup lagi sekedar menerima keragaman serta hidup dalam suasana perbedaan. Dalam hal ini Gereja bersama agama lain perlu menegaskan perannya dalam berbagai gerakan yang tidak sekedar koeksistensi, melainkan proeksistensi. Gereja perlu berdialog karya dengan umat beragama lain mengatasi berbagai persoalan kemanusiaan, kemiskinan dan ketidakadilan.

2.2. Kemiskinan dan Ketidakadilan

Salah satu masalah kronis yang hingga kini belum terpecahkan di Indonesia yaitu keadaan sebagian masyarakat yang belum sejahtera. Sebuah realitas yang sungguh ironis, mengingat di satu sisi Indonesia dikenal sebagai negara yang melimpah kekayaan alamnya, tetapi di sisi lain masih banyak yang hidup dalam garis kemiskinan.

Upaya untuk menyelesaikan problem kemiskinan telah dilakukan pemerintah dengan berbagai program. Mulai dari jaring pengaman sosial (JPS), bantuan langsung tunai (BLT), dan bantuan operasional sekolah (BOS). Di samping itu juga ada program nasional pemberdayaan masyarakat, misalnya program pengembangan kecamatan (PPK), program penanggulangan kemiskinan di perkotaan, dan program-program lainnya. Sudah tentu, program tersebut ada hasilnya, tapi perlu diakui bahwa belum mampu mengatasi masalah kesejahteraan secara menyeluruh.

Di Indonesia masih terdapat 39,30 juta penduduk miskin pada tahun 2006, 37,17 juta pada tahun 2007. Angka pengangguran menurut BPS, 10,93 juta orang pada Agustus 2006 dan 10,55 juta orang pada Februari 2007. Himpunan Kerukunan Tani Indonesia menyatakan, angka kemiskinan berada pada angka 37,17 juta jiwa (17,75 persen). Bank Dunia mencatat, dengan kriteria penghasilan dua dolar per hari, jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 124 juta orang atau separuh lebih dari jumlah penduduk Indonesia (220 juta).

Menurut pendekatan konservatif, kemiskinan sebagai gejala nasib. Pendekatan budaya menyatakan kemiskinan sebagai warisan dan mentalitas seseorang. Sedangkan menurut pendekatan struktural, kemiskinan sebagai produk struktur yang timpang, yang diciptakan sistem sosial, ekonomi, dan politik.

Tidak jauh berbeda, sejarah mencatat kekerasan dan konflik antarpemeluk agama antara lain dipicu dan bersumber pada masalah ketidakadilan dan ketimpangan di bidang ekonomi dan politik. Sejumlah pengalaman kekerasan dan konflik antarpemeluk agama di berbagai wilayah Indonesia, di Poso dan Ambon menjadi contoh. Agama terlibat konflik yang mengakibatkan jatuh korban tewas sekitar 4.000 penduduk dari dua pihak yang berkonflik yaitu komunitas Islam dan Kristen serta seluruh kota terbakar dan 13.000 rumah penduduk ludes dibakar.

Selain itu situasi kemiskinan dan ketidakadilan, membuat agama telah disalahgunakan oleh sekelompok pemeluknya untuk aksi radikalisme dan ekstrimisme. Radikalisme dan ekstrimisme telah menghambat perdamaian begitu juga ketidakadilan politik, ekonomi. Karenanya, mewujudkan perdamaian perlu dilakukan dengan pendekatan sosial ekonomi.

Harus diakui, peran dan fungsi agama untuk memberantas kemiskinan di Indonesia belum optimal karena selama ini pemahaman agama di kalangan umatnya masih dalam tataran doktrin dan belum memasuki tahap aplikasi yang maksimal. Padahal agama memiliki fungsi sosial yang dapat mengentaskan kemiskinan.

Meskipun minoritas, Gereja hendaknya seharusnya introspeksi diri, untuk lebih meningkatkan kualitas umat tidak terjebak dalam cara beragama yang substansial, luaran, formal melainkan untuk lebih berorientasi kesejahteraan umum. Sudah saatnya Gereja memelopori kerjasama antar agama melakukan perubahan dalam sistem sosialnya. Dengan demikian kehadiran Gereja mentransformasi proses keberagamaan masyarakat yang selama ini dominan pada persoalan ortodoksi. Agama harus dapat menjawab berbagai persoalan yang muncul di tengah masyarakat dengan menampilkan wajah ortopraksis.

2.3. Politisasi Agama

Politisasi agama merupakan fenomena memakai agama untuk kepentingan politik. Padahal agama seharusnya menunggangi atau lebih tepat menerangi politik, bukan politik memanfaatkan agama. Lebih fatal lagi jika mencampuradukkan konflik kepentingan dengan membawa-bawa agama.Politisasi agama resikonya terlalu besar. Penggunaan agama dalam ranah politik amat rentan terjadinya penyalahgunaan simbol-simbol agama. Di samping itu, kenyataanya, politik praktiknya juga berbeda dengan cita-cita agama itu sendiri. Jika agama dipahami sebagai ranah identitas dan pemecah belah, sudah pasti akan muncul politisasi agama. Politisasi agama terjadi sebagai jalan mudah untuk meraih daya tarik demi kepentingan sesaat dari publik.

Politisasi agama adalah politik partisan, yang dilakukan dengan mengeksploitasi agama, menjadikan agama sebagai kendaraan politik untuk merebut kekuasaan. Sejarah mencatat bahwa apabila agama mengambil alih kekuasaan negara, maka yang terjadi bukan proses demokratisasi dan penghargaan hak-hak asasi, tetapi justru pemerintah yang tirani yang tidak menghargai prinsip-prinsip toleransi dan tidak membawa kesejahteraan umum.

Tugas agama-agama adalah melakukan politik agama, bukan politisasi agama. Politik agama adalah politik kenabian (prophetic politics) bukan politik partisan (partisan politics). Politik agama adalah politik moral yang mengeluarkan suara kenabian termasuk proaktif mencari jalan keluar mewujudkan kesejahteraan secara bertanggung jawab. Jika agama dipahami sebagai sesuatu yang sublim dan luhur, maka yang muncul bukan politisasi agama, melainkan kehadiran agama mampu mempengaruhi perilaku dan etika politik seseorang sehingga tercipta good governance demi kesejahteraan umum.

2.4. Formalisme Beragama

Agama dan iman berbeda namun tak terpisahkan. Secara umum, iman disebut sebagai sikap batin, keyakinan dan sikap dasar manusia dalam berhubungan dengan Allah yang maha tinggi. Sedangkan agama secara praktis merupakan sebuah sistem tertentu, atau serangkaian sistem, di mana doktrin, mitos, ritual, institusi dan unsur-unsur pokok lainnya berhubungan. Agama memiliki aspek-aspek yang sangat kompleks: doktrin, ajaran ritual dan sosial. Formalisme tidak dipersempit menjadi sekedar ritualisme. Ritualisme hanyalah salah satu aspek, atau mungkin lebih tepatnya disebut sebagai akibat, dari formalisme.

Formalisme adalah kompleksitas pelaksanaan hidup beragama yang secara ekstrim menekankan patokan doktrin dan lebih mengutamakan pelaksanaan ungkapan-ungkapan eksternal keagamaan tanpa sungguh memahami dan menghayati maknanya. Formalisme agama adalah penghayatan hidup beragama yang tertutup, eksklusif, tidak kritis dan tanpa makna. Kalau kegiatan ritual kita jalani sekadar untuk mengikuti aturan agama dan memuaskan kerohanian personal, tidak akan ada maknanya.

Formalisme agama tampak ketika penghayatan iman kurang sehingga tidak sampai pada perwujudan iman di tengah-tengah masyarakat yang beresiko menyebabkan kerentanan konflik hubungan antar umat beragama. Tidak sedikit orang beragama yang menjalankan agama hanya sekadar mengikuti ritualnya saja dan melakukan pelayanan karena kewajiban agama yang sifatnya melulu mekanistik.Orang tidak akan beriman dan diselamatkan oleh apa yang ia ketahui tentang imannya, tetapi terlebih oleh pergumulannya bagaimana ia menginterpretasikan dan mengaplikasikan pengetahuan imannya dalam hidup nyata sehari-hari. Seorang beriman yang sejati seorang yang senantiasa berusaha untuk melihat, menyadari dan menghayati kehadiran Allah dalam kehidupan nyata dan berusaha untuk melaksanakan kehendak Allah bagi dirinya dalam konteks hidup nyatanya demi mewujudkan kesejahteraan umum.

2.4. Tanggung Jawab Sosial

Iman adalah relasi manusia dengan Allah yang mewahyukan diri dan mendahului tanggapan manusia dengan tawaran rahmatNya. Allah memanggil agar panggilanNya dijawab manusia di tengah-tengah kehidupannya. Jawaban iman otentik dibentuk dalam hati manusia di mana orang memegang, mengatur dan mewujudkan hidupnya. Orang cenderung menggantikan iman dengan rumusan atau ritual iman. Padahal keduanya bersifat membantu, agar orang akhirnya sampai pada iman sejati dalam penyerahan otentik terhadap Allah agar menjadi relasi sejati. Iman perlu mendapat wujud dalam tanggung jawab pribadi dalam usaha dan ketegasan hidup setiap hari. Segala kegiatan formal agama hanyalah bertujuan agar iman dari hari ke hari mendapatkan wujudnya. Dengan demikian iman itu hidup dan tidak mati. Umat beragama seharusnya memberikan tanggapan dan sikap tegas terhadap situasi yang terjadi. Mestinya, umat beriman mau, mampu dan mengambil peran untuk menjawabi persoalan tersebut dengan berbagai bentuk kegiatan doa, puasa atau melakukan kegiatan nyata yang manfaatnya lebih langsung dirasakan masyarakat.

Berhadapan dengan fenomena kehidupan masyarakat yang tidak sejahtera, ada beberapa sikap iman. Pertama sikap tradisional memandang situasi tersebut sebagai takdir yang harus diterima sebagai bentuk cobaan untuk menguji iman umat manusia kepada Tuhan. Kedua, sikap modernis memandang kemiskinan tergantung pada kesadaran setiap umat dalam menyikapinya. Hal ini baru merupakan kesadaran naif karena yang ingin diubah masih dataran kesadaran individu. Ketiga, sikap iman transformatif dan emansipatoris yang memandang kemiskinan dan penindasan tak hanya dilahirkan oleh penafsiran keagamaan yang kolot tetapi lebih karena struktur sosial, ekonomi, dan kekuasaan yang timpang. Maka, selain mendekonstruksi penafsiran yang otoriter dan ekstremis, juga terlibat secara nyata memperbaiki ketimpangan sosial.

Untuk menanggapi situasi nyata kehidupan, tanggung jawab iman seharusnya sudah inheren dalam diri setiap orang yang beragama. Sebab, kesejahteraan dan keselamatan merupakan perjuangan tertinggi setiap agama. Kesadaran untuk berpartisipasi mewujudkan kesejahteraan umum sejalan dengan ajaran sosial agama-agama, termasuk ajaran sosial Gereja Katolik.

3. Tujuan

Tujuan dari tema Komunitas Dialogis Bersama Umat Beragama Lain Mewujudkan Kesejahteraan Umum ialah pertama, agar umat semakin sadar bahwa komunitas kecil itu ada bersama dengan umat beragama lain. Tidak cukup itu, Gereja bersama agama lain perlu menegaskan perannya dalam berbagai gerakan yang tidak sekedar koeksistensi, melainkan proeksistensi. Gereja perlu berdialog karya dengan umat beragama lain mengatasi berbagai persoalan dan mewujudkan kesejahteraan. YB. Mangunwijaya, Pr menyebutkan bahwa Gereja perlu lebur menjadi satu (ajur-ajer) dengan masyarakat, namun tidak hanyut dan tidak menjadi ghetto yang asing di tengah masyarakat.

Kedua, di tengah situasi kemiskinan dan ketidakadilan, yang rentan konflik antar agama dan menjadi lahan subur aksi radikalisme dan ekstrimisme, maka agama perlu menempatkan dirinya dalam peran dan fungsi agama untuk mewujudkan kesejahteraan. Gereja perlu memelopori kerjasama antar agama melakukan perubahan dan menampilkan wajah ortopraksis.

Ketiga, berhadapan dengan politisasi agama, agama seharusnya menerangi politik, bukan politik memanfaatkan agama. Tugas agama-agama adalah melakukan politik agama berupa politik kenabian (prophetic politics) bukan politik partisan (partisan politics). Politik agama berarti proaktif mencari jalan keluar mewujudkan kesejahteraan secara bertanggung jawab.

Keempat, dalam suasana serba instan yang rentan mengakibatkan formalisme agama, perlu dihindari sikap mengutamakan ritual yang sifatnya melulu mekanistik. Orang beriman perlu mewujudkan imannya dalam kehidupan nyata dengan menghyati kehadiran Allah dan melaksanakan kehendak Allah demi mewujudkan kesejahteraan umum.

Kelima, iman perlu mendapat wujud dalam tanggung jawab pribadi. Dengan demikian iman itu hidup dan tidak mati. Umat beragama seharusnya memberikan tanggapan dan sikap tegas terhadap situasi yang terjadi. Tanggung jawab iman seharusnya sudah inheren dalam diri setiap orang yang beragama. Tanggung jawab untuk berpartisipasi mewujudkan kesejahteraan umum merupakan pokok teroenting dalam Ajaran Sosial Gereja.

4. Dasar Biblis – Teologis

Yesus dalam menjalankan karya perutusan BapaNya bukan hanya ditujukan kepada bangsa Israel tetapi juga bangsa lain. Ia dan para murid mengadakan perjalanan ke Yerusalem, berdialog dengan wanita Samaria, yang saat itu bertentangan dengan orang Yahudi di Sumur Yakub. Dalam Lukas 4: 6-15, dikisahkan bagaimana Yesus saling memberikan air dan air hidup, saling menolong dengan perempuan Samaria. Ia memberikan bantuan kepada hamba perwira yang sakit keras dan hampir mati, meskipun mereka bukan dari golongan Yahudi.

Dalam Lukas 7: 2-9, dikisahkan bagaimana perwira itu penuh kesungguhan meminta tua-tua Yahudi supaya Yesus menyembuhkan hambanya dan Yesus membantu dengan ringan tangan. Ia mengajarkan kepada para murid untuk memberikan pertolongan kepada siapapun, dalam perumpamaan orang Samaria yang murah hati. Dalam Lukas 10: 25-37 dikisahkan ajaran Yesus bagaimana orang Samaria dengan kebaikan hatinya menolong orang Yahudi yang selama ini bertentangan dengannya, bahkan menolong dengan total sebagai sesama tanpa mempedulikan siapa orang itu. Bahkan dalam Markus 16: 15-20, Ia berkata kepada para murid: "Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk”. Para murid pun pergi memberitakan Injil ke segala penjuru, dan Tuhan turut bekerja dan meneguhkan firman itu dengan tanda-tanda yang menyertainya.

Dalam rangka mewartakan kabar gembira keselamatan, Yesus membenci cara hidup keagamaan yang formal dan sikap mengutamakan ritual yang sifatnya melulu mekanistik. Dalam Injil Matius 23:3-7, Yesus mengecam ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang puas dengan gaya hidup beragama secara artifisial, hanya dimaksud supaya dilihat orang dnegan memakai tali sembahyang yang lebar dan jumbai yang panjang, duduk di tempat terhormat dalam perjamuan dan di tempat terdepan di rumah ibadat. Kepada mereka, Yesus mengatakan, “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, karena kamu menutup pintu-pintu Kerajaan Sorga di depan orang. Sebab kamu sendiri tidak masuk dan kamu merintangi mereka yang berusaha untuk masuk” (Mat 23: 13).

Yesus mengkritik keras orang-orang Farisi yang di satu sisi tampaknya saleh secara ritual, namun kenyataannya tidak saleh secara sosial, ”Celakalah kamu, hai orang-orang Farisi, sebab kamu membayar persepuluhan dari selasih, inggu dan segala jenis sayuran, tetapi kamu mengabaikan keadilan dan kasih Allah” (Luk 11:42). Karena itu, dalam Markus 11: 15-18, dikisahkan Yesus masuk masuk ke Bait Allah, dan mengusir orang-orang yang berjual beli di halaman Bait Allah. Meja-meja penukar uang dan bangku-bangku pedagang merpati dibalikkan-Nya. Karena, rumah doa bagi segala bangsa itu tela berubah menjadi sarang penyamun.

Jelaslah bahwa yang diminta Yesus ialah cara hidup beragama yang tidak saja ritual, namun perlu mewujudkan imannya dalam kehidupan nyata dengan melaksanakan kehendak Allah demi mewujudkan kesejahteraan umum. Sebagaimana diserukan Yesus, “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku, untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang." (Lukas 4: 18-19)Karena itu, di masa puasa ini, patutlah mendengarkan seruan Nabi Yesaya, “Berpuasa yang Kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecah rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri (Yes 58: 6-7).

Dalam ajaran Gereja, tepatnya dokumen Nostra Aetate ditegaskan bahwa “Gereja juga menghargai umat Islam, yang menyembah Allah satu-satunya yang hidup dan berdaulat, penuh belaskasihan dan mahakuasa, pencipta langit dan bumi. Konsili suci mendorong mereka semua, supaya melupakan yang sudah-sudah dan supaya bersama-sama membela serta mengembangkan keadilan sosial bagi semua orang, nilai-nilai moral maupun perdamaian dan kebebasan” (Nostra Aetate 3).

Komisi Kepausan Untuk Dialog Antar-Agama dalam Pesan di akhir Bulan Ramadhan 2006 menyerukan, “Setiap hari kita bersama digelisahkan dengan masalah-masalah yang semakin serius di dunia ini yang mengundang perhatian dan aksi kita. Mari kita bertanya kepada Tuhan dalam dia untuk menolong kita menghadapi masalah dengan keberanian dan kerelaan. Di medan semacam inilah kita bisa bekerjasama, tidak sendiri-sendiri. Dunia membutuhkan kita, umat Kristiani dan Islam yang menghargai dan menghormati satu sama lain dan mejadi saksi cinta kasih dan kerjasama yang saling menguntungkan demi kemuliaan Allah dan kebaikan seluruh umat manusia.”

5. Pertobatan: Menjadi Komunitas Dialogis Bersama Umat Beragama Lain Mewujudkan Kesejahteraan Umum

Gereja setempat sebagai cara baru menggereja diutamakan dalam eklesiologi persekutuan. Gereja setempat tidak sekedar menunjuk pada Gereja di sutau tempat, tetapi lebih menunjuk pada Gereja dari sutau tempat atau pun dari kelompok tertentu. Ungkapan Gereja setempat menunjuk pada keuskupan, paroki, stasi atau komunitas basis. Gereja menjadi Gereja setempat karena orang-orang berpartisipasi di dalam suatu Gereja atau paroki dengan membawa segala permasalahan hidup mereka. Gereja dilihat bisa menjawab permasalahan setempat, sehingga pesan Injil menjadi relevan dengan situasi dan kontek sosial setempat. Untuk bisa menjadi Gereja yang benar-benar setempat, Gereja perlu mengadakan dialog dengan kenyataan di sekitarnya.

Setiap Gereja setempat adalah komunitas iman. Persekutuan Gereja pada dasarnya berakar dalam hidup Allah Tritunggal, sehingga Gereja bersifat misteri dan menjadi sakramen persekutuan Allah dan umat manusia yang menanggapinya dengan iman, harapan dan kasih. Persekutuan Gereja tidak hanya terungkap dalam persekutuan intern komunitas, tetapi untuk memenuhi pesan Injil yaitu mewartakan sabda melalui kata dan kesaksian, bekerjasama dengan orang lain melalui jalan dialog, serta melayani dunia.

Persekutuan Gereja di Keuskupan Surabaya hidup di tengah-tengah dituasi bersama masyarakat plural, situasi kemiskinan dan ketidakadilan, formalisme beragama serta politisasi agama. Maka umat Katolik di Keuskupan Surabaya harus terlibat di dalam usaha mengembangkan kemanusiaan, membangun komunitas persaudaraan dan memperjuangkan terwujudnya kesejahteraan umum menuju pembebasan integral seluruh dimensi manusia.

Komunitas Katolik perlu menjadi ragi demi perubahan di dalam masyarakat sekaligus berperan sebagai garam yang menerangi dunia sekitarnya. Tujuannya untuk menciptakan komunitas manusia yang baru, dimana semua orang yang berkehendak baik bekerja bersama untuk membangun masyarakat, tanggap terhadap aspirasi terdalam manusia dan tuntutan Injil, masyarakat yang didasarkan kebenaran dan keadilan, digerakkan oleh kasih dan direalisasikan dalam kebebasan sehingga kedamaian bisa berkembang.

Maka tantangan Gereja adalah menciptakan persekutuan yang lebih tulus antar manusia dan antar bangsa sehingga semua orang bersama-sama mencari Allah dan hidup dalam persaudaraan sebagai anak-anak Allah. Melalui persekutuan ini, semua orang bersama-sama berusaha mengusahakan masyarakat yang baru dan adil, di mana martabat manusia dihargai, kesempatan untuk maju dan berkembang tersedia, serta kualitas kehidupan diusahakan, sehingga semua orang mencapai kepenuhan sebagai manusia.

YB. Mangunwijaya, Pr menyebutkan bahwa Gereja sebagai komunitas perlu lebur menjadi satu (ajur-ajer) dengan masyarakat, namun tidak hanyut dan tidak menjadi ghetto yang asing di tengah masyarakat. Ajur-ajer sebagai garam dalam masyarakat adalah sesuatu yang dianjurkan dalam Gaudium Et Spes. Ajur artinya sependeritaan dengan masyarakat. Ajer artinya tidak menjadi semacam ghetto yang merongkol terisolasi. Tetapi tetap punya identitas sendiri, sadar akan tugas khas Kristiani di tengah dunia, tetapi tidak dari dunia” Ajur-ajer artinya melebur atau sependeritaan dengan masyarakat. Hal ini mengandaikan bahwa Gereja dan masyarakat tidak saling terisolasi. Lebih jauh lagi ialah bagaimana menjadi orang yang tidak terisolasi, melainkan penuh inisiatif pribadi yang memiliki kepekaan memahami permasalahan yang ada dalam masyarakat. Gereja yang ajur-ajer berarti Gereja yang terbuka dalam kerjasama dengan siapapun, baik dengan mereka yang berbeda agama maupun dengan mereka yang memiliki sifat batin yang humanis dan religius. Karena, Kerajaan Allah lebih luas dari umat Katolik belaka, yaitu mencakup semua orang yang baik, yang adil, yang menumbuhkan kerukunan. Semua orang yang baik dapat dijadikan pendukung perjuangan mewujudkan kebenaran, walaupun berbeda agama.

6. Aksi Nyata: Gerakan Dialogis Bersama Umat Beragama Lain Demi Mewujudkan Kesejahteraan Umum

Komunitas menjadi titik berangkat tema APP yaitu Komunitas Dialogis Umat Beriman Demi Kesejahteraan Umum. Bahan didesain dengan tahapan mengenal masyarakat – menganalisa - menentukan tindakan – bertindak - refleksi dan syukur. Dengan melibatkan masyrakat sekitar, unsur pengurus RT dan RW maka terjadi dialog dengan masyarakat sekitar. Juga didesain supaya umat mengenali realitas dialog-belajar spiritualitas dialog dari ajaran Gereja – mengenal persahabatan antar umat beragama dan berdialog secara nyata untuk mewujudkan kesejahteraan umum dengan merancang suatu karya nyata.

Tema dengan tekanan ide komunitas ini didesain untuk mengajak komunitas-komunitas umat beriman di Keuskupan Surabaya supaya berdialog dengan umat beragama lain. Tidak hanya komunitas teritorial namun juga kategorial. Dialog yang dimaksud bukan dialog teologis yang sering menjebak dalam perbincangan yang defensif, kaku dan hanya membuat dahi berkerut. Dialog yang dimaksud ialah dialog karya yang memungkinkan umat bertemu, bertegur sapa dengan umat lain, tidak hanya itu namun berkarya nyata memperbaiki satu saja persoalan sosial yang ada di sekitar tempat hidup umat. Dialog yang jauh dari perbincangan ide dan gagasan teologis namun menjadi cara, sarana dan jembatan berupa karya nyata yang tujuannya membuat relasi dengan umat lain semakin harmonis.

Hal ini sangat relevan, pertama karena tema komunitas menjadi perhatian di Keuskupan Surabaya sehingga komunitas paling sederhana pun semakin sering bertemu, kian solid dan guyub. Kedua, karena masih banyak komunitas umat beriman entah itu, lingkungan, stasi bahkan paroki pun yang masih curiga, kurang berdialog dan bersikap dingin terhadap gagasan dialog dengan umat beragama lain. Contoh konkretnya misalnya ungkapan yang justru menciptakan block seperti, “untuk apa membantu orang lain, sedangkan umat kita sendiri saja susah” atau “mereka justru selalu merugikan untuk apa repot-repot berdialog”. Ketiga, tema kali ini juga merupakan bentuk dukungan terhadap komunitas-komunitas umat beriman yang selama ini telah menemukan cara berdialog karya dengan umat beragama lain, misalnya dengan menyediakan makanan gratis atau makanan murah, memfasilitasi buka puasa, menyembelih hewan korban atau membagikan takjil. Keempat, tema ini menjadi pintu masuk untuk memperkuat simpul-simpul hubungan antar umat beragama yang seringkali rentan dirusak dengan aneka isu SARA. Kelima, tema ini menjadikan koreksi terhadap relasi komunitas umat dengan umat beragama lain yang sekedar ko-eksistensi, ada bersama umat beragama lain, “pokoknya tidak ada masalah agama cukup” menjadi pro-eksistensi, tidak sekedar ada bersama, namun berkarya bersama-sama didorong masing-masing ajaran agama yang luhur menjawabi persoalan-persoalan sosial. Dengan keyakinan bahwa persoalan sosial tidak mungkin diatasi sendiri oleh komunitas beriman tanpa berdialog karya dengan umat beragama lain.

Maka, yang sungguh-sungguh harus diwujudkan dalam aksi nyata adalah tindakan nyata, melakukan dialog di komunitas masing-masing dengan umat beragama lain. Cara ini juga hendak mengurangi kebiasaan kurang lengkap pasca aksi puasa pembangunan yang hanya diakhiri dengan doa bersama, ibadat syukur atau ziarah ke gua Maria yang jsutru relevan terjadi di bulan Maria maupun bulan Rosario