Karina Keuskupan Surabaya, tepatnya unit Pengurangan Resiko Bencana, pada tanggal 10 – 11 September 2009, menghadiri live exposure yang diadakan Cordaid untuk partnernya. Rm. Sabas Kusnugroho, Pr dan Dyah Ayu Setyorini, dari unit pengurangan resiko bencana mewakili untuk menambah ilmu dan jejaring.
Pada hari pertama sesi pertama, Anat Prag dari Cordaid Liaison Office, Yogyakarta menjelaskan mengenai keberadaan Cordaid (Caritas Netherlands) di Indonesia yang mendukung berbagai kelompok dalam pengurangan resiko bencana. Ia juga menyinggung tentang beberapa pilot project yang sudah dilakukan. Pula beberapa hal yang akan dilakukan untuk meningkatkan ketahanan masyarakat dan turut mendukung masyarakat untuk membuat perencanaan serta memperkuat pengurangan resiko bencana (disaster risk reduction) dan livelihood.
Pada sesi kedua, Ibu Ikasari dari Bina Swadaya menyampaikan paparan kegiatan livelihood yang telah dilakukan khususnya di berbagai wilayah bencana, yaitu di Ngargomulyo, Muntilan, Magelang dan Wukirsari, Bantul. Menurutnya, kunci keberhasilan yang dapat dijadikan pelajaran, antara lain: fasilitator yang telah dilatih TPKS (tenaga pengembangan kelompok swadaya) dengan materi pengembangan kelompok swadaya, kepemimpinan, pendampingan ekonomi rumah tangga dan wirausaha kecil. Juga materi tentang animasi, motivasi dan fasilitasi. Selain itu, setiap rencana masyarakat dikumpulkan dan dilengkapi dengan empat aktivitas ialah, pemahaman pengurangan resiko bencana (PRB), penguatan kelembagaan, jejaring, pembelajaran (linking and learning) serta advokasi.
Setelah makan siang, peserta melanjutkan perjalanan menuju Desa Ngargomulyo, sekitar 7 km di kaki Gunung Merapi. Informasi seputar kegiatan PRB disampaikan oleh Bp. Yatin, kepala desa. Beliau menjelaskan pendampingan serta rangkaian pelatihan seputar PRB yang dilakukan oleh Bina Swadaya bersama dengan masyarakat desa setempat.
Keesokan harinya, para peserta saling menyampaikan materi kegiatan PRB yang sudah dilakukan. Karina diwakili oleh Rm. Sabas Kusnugroho dan Wisnu, sedangkan Perdhaki disampaikan oleh dr. Agus dan Catholic Relief Services (CRS) disampaikan oleh Sapta. Kemudian Bp. Rahadi dan Bp. Shaleh dari Insist menyusul memaparkan kegiatan PRB dan advokasi yang dilakukan di berbagai daerah wilayah Indonesia. Sesudah makan siang peserta menuju Desa Wukirsari, Bantul. Bp. Suryanto dari desa setempat memberikan penjelasan seputar pendampingan dan berbagai rangkaian pelatihan seputar PRB yang dilakukan oleh Bina Swadaya dengan bersama masyarakat desa.
Dari kunjungan tersebut diketahui bahwa mitra kerja Cordaid, termasuk Bina Swadaya dan Insist mengimplementasikan pengurangan resiko bencana dengan berbagai cara. Misalnya, berkunjung ke beberapa tokoh masyarakat setempat yang memiliki kedudukan dan pengaruh. Lalu tahap selanjutnya, mulai mensosialisasikan pengarusutamaan pengurangan resiko bencana yang memakan waktu kurang lebih 3 – 6 bulan. Lamanya waktu tak lain karena penanaman konsep program kemandirian kepada masyarakat, yang memang berbeda dengan program pemberian bantuan.
Metode sosialisasi yang dilakukan antara lain dengan melakukan Participatory Rural Apprisal (PRA) sehingga warga dapat mengetahui peta desa secara jelas, mana saja yang termasuk zona aman dan rawan. Kegiatan ini tidak hanya dihadiri kaum pria namun juga anak-anak dan para ibu. Setelah masyarakat sadar terhadap pentingnya DRR, fasilitator Bina Swadaya mengadakan semacam pengembangan kapasitas ditingkat warga, tokoh masyarakat maupun perangkat desa. Kelompok PRB di desa Ngargomulyo dan Wukirsari, bercerita mengenai rencana kontigensi yang telah dibuat, mengingat daerah mereka rawan bencana gunung meletus dan gempa bumi.
Fasilitator Bina Swadaya juga memberikan pengetahuan mengenai penyelamatan diri ketika terjadi bencana, siapa saja yang harus ditolong terlebih dahulu dan ke mana menyelamatkan diri. Di kalangan anak-anak, fasilitator memberikan pelatihan praktek P3K dan usaha penyelamatan diri. Di sisi lain masyarakat desa Wukirsari juga telah memiliki Kelompok Tanggap Bencana (KTB) yang memudahkan mereka untuk berkoordinasi satu dengan yang lain. Kelompok ini berhasil melibatkan pemerintah dalam pengadaan air bersih, yang sebenarnya program tersebut telah ada sejak tahun 2003. Karena satu dan lain hal proyek tersebut jadi terhenti, dan sekarang warga telah berhasil memujudkannya. Bahkan mampu memberi penghasilan bagi warga setempat.
Di balik keberhasilan tersebut, Bina Swadaya masih memiliki tantangan. Tantangan yang dihadapi ialah masih belum pahamnya pemerintah mengenai isu pengurangan resiko bencana sekarang ini, pengetahuan guru yang masih kurang dan masih adanya anggapan bahwa gempa adalah nasib yang harus diterima. Melihat itu semua Bina Swadaya menangkap adanya peluang menghubungkan antara inisiatif masyarakat yang ada, membentuk jaringan dan keterlibatan pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah dapat memfasilitasi Forum PRB dan menganggarkan PRB bagi masyarakat. Saat ini Desa Wukirsari mampu membuat peraturan desa, bahkan sistem Pengurangan Resiko Bencana. Saat ini, warga mulai sadar dan tanggap bila akan terjadi gempa.
Dari studi kasus di Desa Ngargomulyo yang rawan bencana gunung meletus disimpulkan bahwa gunung diperkirakan aktif setiap 5 tahun sekali. Ancaman pertama adalah ancaman primer yaitu awan panas dan ancaman sekunder yaitu abu dan lahar dingin. Bina Swadaya berusaha untuk memfasilitasi masyarakat melalui proses identifikasi ancaman bencana, pembuatan peta ancaman untuk desa, menggali sejarah ancaman bencana desa, membuat peta interaksi pemangku kepentingan (stakeholder), serta menganalisa rencana pengurangan resiko bencana. Hingga kelompok PRB yang didukung oleh pemerintah desa dan para pemangku kepantingan mendapat mandat untuk berkoordinasi dengan penduduk desa, pemerintah lokal, kepala desa dan organisasi lokal yang ada. Bentuknya berupa fasilitasi pemetaan ancaman bencana dan peningkatan kapasitas mulai dari usia anak-anak hingga orang dewasa. Dalam rangka sosialisasi PRB, beberapa hal yang mendapatkan perhatian ialah, deteksi dini, caraka, P3K, SAR, tandu, perintis (pioneer), evakuasi, dapur umum, keamanan dari kebakaran dan pengamanan warga.
Di kalangan anak-anak, kelompok PRB melakukan simulasi evakuasi dan P3K di sekolah-sekolah. Tidak hanya itu kampanye dilakukan dengan memasang spanduk, poster dan foto serta ajakan kepada warga untuk menyisihkan sebagian tanah bagi konservasi hutan lindung dengan mengadakan program penanaman sejuta pohon. Kelompok PRB telah berhasil memfasilitasi pembuatan standard operation procedure (SOP) pengurangan resiko bencana di tingkat kecamatan. Kelompok PRB juga senantiasa memperbaharui data desa dan rumah tangga, meningkatkan jejaring serta pelatihan peningkatan ekonomi rumah tangga.
Dengan adanya pendampingan dan pelatihan dari fasilitator, sekarang ini masyarakat desa Ngargomulyo telah memiliki tabungan khusus untuk pengurangan resiko bencana. Tidak hanya itu, masyarakat setempat telah berhasil melibatkan pemerintah, baik dalam hal pendanaan maupun prosedur tetap dalam rangka pengurangan resiko bencana. Masyarakat desa Ngargomulyo, saat ini sedang mengusahakan dibangunnya jalur evakuasi yang menghubungkan beberapa desa. Adanya kelompok tanggap bencana menumbuhkan rasa solidaritas yang tinggi antar sesama warga. Hal positif lain yang didapat dengan adanya kelompok ini ialah memudahkan fasilitator mengkoordinir warga dalam setiap pertemuan rutin untuk meningkatkan pengetahuan warga seputar tanggap darurat dan pengurangan resiko bencana.
Meskipun demikian, tantangan yang dihadapi dalam kelompok ini antara lain upaya integrasi PRB dalam kegiatan program yang sedang berjalan. Khususnya, mengintegrasikan PRB dengan program respon tanggap darurat, yang sinergi dengan kelompok, masyarakat dan pemerintah lokal, investasi modal metrial dan modal sosial untuk keberlanjutan program PRB, serta mengintegrasikan program PRB dalam kurikulum Sekolah Dasar setempat. Semoga. (Dyah Ayu Setyorini, unit Pengurangan Resiko Bencana)