14 Oktober 2014

Kunjungan IRD ke FPRB Propinsi Jawa Timur

Pada hari Senin, 13 Oktober 2014, Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Propinsi Jawa Timur mendapat kunjungan dari lembaga International Relief  and Development (IRD). IRD merupakan organisasi kemanusiaan yang berpusat di Amerika. Lembaga ini telah berkarya, terutama di kawasan Timur Indonesia selama lebih dari 10 tahun. Mereka giat melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat yang terkenal dengan kegiatan Serasi. Selama ini mereka belum pernah berkarya di Jawa Timur dan akan memulai dengan research program terlebih dahulu. Karena itu mereka melakukan dengar pendapat dengan lembaga maupun insan kemanusiaan yang ada di Jawa Timur.
 
Pertemuan dihadiri oleh 2 perwakilan IRD, Ms. Sohrini Sarkar dan Ibu Imelda Sihombing bersama 12 orang dari berbagai lembaga kemanusiaan pemerintah dan LSM. Pertemuan dipimpin dan dimoderatori oleh Sekertaris Jendral FPRB Jawa Timur, Bp. Saiful  Arifin berlangsung sejak pukul 11.00-15.00.
 
Diskusi diawali dengan mengumpulkan kapasitas dan sumber daya yang baik yang sudah ada di Propinsi Jawa Timur dalam merespon bencana. Ibu Hikmah Bafaqih dari Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU) Malang, menyebutkan telah ada regulasi pemerintah dalam hal kebencanaan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang. Sejak saat itu muncul lembaga kemanusiaan dan kebencanaan. Selain itu, pemerintah memiliki cadangan dana on call dan sumber daya manusia yang bisa digerakkan jika terjadi bencana.
 
Bp. Suparno, Sekertaris Desa Pandansari yang juga anggota Jangkar Kelud wilayah Malang mengatakan, memang pemerintah memiliki sumber daya manusia, tetapi kapasitas dan koordinasi kinerja di lapangan saat respon bencana masih kalang kabut. Peristiwa letusan Gunung Kelud pada 13 Februari 2014 lalu menjadi bukti bahwa masyarakat terpaksa melakukan evakuasi mandiri. Dukungan kendaraan evakuasi dari pemerintah terlambat dan hal ini tidak diantisipasi. Ketika warga sampai di pengungsian di kawasan Ngantang, tenda yang disiapkan rusak. Warga berbondong-bondong menuju kearah Pujon. Ada sekitar 4.000 pengungsi yang mengakibatkan pengungsian di Pujon tidak cukup. Warga terpaksa mengungsi ke Kota Batu. Pemerintah pernah menginisiasi jejaring kebencanaan di masyarakat, tetapi setelah pembentukan tidak ada kegiatan lanjutan, termasuk kegiatan pra bencana sebelum Gunung Kelud meletus.
 
Sementara itu Bp. Suhartoyo dari Dinas Sosial yang juga aktivis Tim Taruna Siaga Bencana (Tagana) di Jawa Timur mengatakan bahwa relawan yang terlibat telah dibekali dengan aturan dan tupoksi yang jelas. Para relawan berasal dari berbagai Kabupaten / Kota. Mereka yang turun ialah mereka yang telah menempuh pendidikan dan latihan selama 2 minggu. Mereka kemudian dibagi dalam tugas khusus sesuai dengan kemampuan, di bagian pengungsian, kajian, dapur umum, pendampingan psikologi atau rescue sehingga memudahkan aksi ketika bencana. Relawan Tagana berkoordinasi dengan TNI. Tingkat responsif pemerintah Jawa Timur pada umumnya sudah baik, tetapi tidak semua Kabupaten memiliki Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) seperti Kabupaten Kediri, Malang, Mojokerto dan Surabaya. Hal ini mempengaruhi respon bencana karena pembentukan BPBD sangat bergantung kepala daerah masing-masing.
 
Ibu Hikmah menggarisbawahi bahwa sebenarnya pemerintah Propinsi Jawa Timur memiliki banyak sumber daya, baik dari segi dana, lembaga, relawan, aparat keamanan, kapasitas, dunia usaha, organisasi kemasyarakatan dan lain-lain. Tetapi ada ego sektoral. Setiap SKPD sebaiknya berkoordinasi dan bersinergi sehingga sumber daya yang terbatas itu, jika disatukan akan memberi dampak yang baik. Karena itu perlu sinergi menggabungkan aneka sumber daya.
 
Pada bagian berikut, diskusi fokus pada hal peringatan dini (early warning system), berkenaan dengan keberadaan alat peringatan dini dan fungsi peringatan dini yang ada di masyarakat atau komunitas. Bp. Suparno menyebutkan masyarakat mendapatkan informasi yang disampaikan lewat pengeras suara di masjid, komunikasi melelaui Handy Talkie (HT) serta radio komunitas yang dimiliki jejaring Jangkar Kelud atau radio komersil seperti Smart FM, Panda FM, Kelud FM yang menjangkau kawasan sekitar Kecamatan Ngantang dan Pujon. Namun, alat komunikasi itu terbatas karena informasi dari pos pantau di Kecamatan Ngancar, Kediri terhalang oleh gunung sehingga tidak sampai ke kawasan Kecamatan Ngantang, Pujon maupun Kandangan. Selain itu, sarana komunikasi berupa repeater yang selama ini menjangkau kawasan di sekitar Gunung Kelud, Kawi, Batok dan Sedawun, kini rusak dan tidak berfungsi terdampak material letusan.
 
Ibu Hikmah menyebutkan, di Malang ada jaringan komunikasi yang bersifat preventif dan komunikatif. Misalnya di dusun tertentu tiba-tiba jumlah penderita diare meningkat, situasi itu segera dikabarkan lewat sms ke dusun lain, sehingga mewaspadai penyebabnya, entah karean air yang dikonsumsi atau wabah tertentu. Dengan informasi tersebut kewaspadaan meningkat dan korban dapat diantisipasi. Pola yang dipakai ialah percobaan di salah satu Puskesmas di Kecamatan Kepanjen menggunakan integrated sms yang akan direplikasi ke tempat lain.
 
Di Kabupaten Lamongan, seperti di Kecamatan Babat, Laren, Maduran dan sekitarnya, menurut Mahfud dari LPBI NU Lamongan, ketika dilanda kekeringan sekarang ini tidak ada sarana peringatan dini. Masyarakat tidak mendapatkan informasi seputar iklim atau kondisi cuaca yang sebenarnya diperlukan. Meskipun demikian pemerintah yang mendapat kabar telah mengirim air. Padahal PDAM kekurangan karena debit air Sungai Bengawan Solo menurun, sehingga air sungai tidak dapat disedot untuk diolah. Ada situasi menarik, jika terjadi bencana di suatu desa, meskipun dampaknya tidak besar tetapi jika aparat dusun atau desa yang meminta bantuan maka segera direspon. Pernah terjadi suatu saat tanggul Bengawan Solo jebol dan mengakibatkan banjir di sebelah Barat Lamongan, tetapi karena yang melaporkan peristiwa itu relawan, tidak mendapatkan tanggapan. Memang ada kondisi di tempat tertentu masyarakat terkesan manja. Hal ini karena oknum aparat di desa yang merasa senang ketika bencana banyak bantuan datang. 
 
Berkenaan dengan persiapan yang dilakukan Tagana, Bp. Suhartoyo menyebutkan Dinas Sosial sejak 2010 telah melakukan mapping dan sosialisasi kepada masyarakat di kawasan rawan bencana. Warga bahkan meminta pelatihan tanggap bencana dari Tagana. Komunitas yang mendapat pelatihan didorong untuk mendirikan lumbung logistik yang diisi sesuai dengan kesepakatan dan dimanfaatkan saat terjadi bencana. Di antara warga bahkan memiliki HT dan terbentuk jejaring informasi.
 
Pada bagian usulan untuk perbaikan, Ibu Hikmah menekankan perlunya mempromosikan peringatan dini atau pembelajaran tentang bencana di sekolah-sekolah di kawasan rawan bencana. Menurutnya melakukan pembelajaran kepada anak-anak lebih mudah. Tak kalah penting untuk memperhatikan bencana kecil yang justru kerap terjadi. Penyebabnya ialah perubahan perilaku masyarakat terhadap alam dan lingkungan. Misalnya tanah longsor, penurunan kualitas air minum, berkurangnya pohon tegakan dan lahan hijau yang semakin sempit.
 
Ahmad Doni dari Forum Penanggulangan Bencana Indonesia (FPBI), Surabaya, menekankan pentingnya pendekatan Pengurangan Risiko kepada masyarakat, pelatihan kajian (assessment) tidak hanyak kajian dampak tetapi kajian kapasitas dan mensosialisasikan parenting disaster sampai ke tingkat keluarga. Sementara dengan aneka ragam kapasitas yang ada di Jawa Timur, perlu ada Incident Commander System sehingga ada respon sinergis. Di Kabupaten Lamongan sebagaimana penuturan Maqhfur dari LPBI NU telah ada Tim Respon Cepat (TRC) yang menjadi garda depan Tim SAR, ada BPBD dan TNI, semua telah diatur, tetapi kembali kepada kebijakan saat terjadi bencana.

Menurut pengalaman Karina, Rm. A. Luluk Widyawan menjelaskan bahwa pelaksanaan kegiatan Pengurangan Risiko Bencana untuk warga yang pernah mengalami bencana lebih dirasakan berguna oleh masyarakat, dibanding yang belum. Yang terpenting ialah persiapan pembentukan komunitas sebelum pelaksanaan PRB, penguatan dan perawatan komunitas sesudah PRB. Termasuk upaya replikasi menghubungkan komunitas di kawasan rawan bencana dengan pemerintah setempat. (EML/ALW)