16 Maret 2013

Sharing Dua Perintis CU

 
Komisi PSE Keuskupan Surabaya mengadakan konsolidasi gerakan CU pada tanggal 11-12 Maret 2013. Sebagaimana amanat prioritas program selama 10 tahun ini, Komisi PSE memberikan animasi memberdayakan Lembaga Keuangan Mikro atau Credit Union (CU). Peserta animasi kali ini ialah beberapa paroki yang belum memiliki kegiatan pemberdayaan CU. Peserta yang terdiri dari Seksi Sosial Paroki dan unsur DPP Bidang Kerasulan Umum mendapatkan sharing dari 2 perintis CU di Stasi Dorok, Pare dan Paroki Redemptor Mundi, Surabaya, ialah Rm. Placidus Kusnugroho dan Bp. Boediono.

Romo Placidus Kusnugroho menceritakan perintisan CU yang pernah dilakukan merupakan perjalanan sebuah hati. Ia mengatakan CU sebaiknya dibuat dari bawah, dirintis dari kelompok kecil. Sejauh pengalaman selama ini, situasi pedesaan lebih mudah mendirikan CU. Karena masih ada semangat kebersamaan sebagai satu suara. Sementara di kota yang paling sulit ialah membangun kepercayaan. Kebanyakan orang kurang bisa melihat sisi baik dari CU.

Dari perjalanan menemani CU Dwi Jasa di Stasi Dorok, Pare, Romo yang akrab dipanggil  Rm. Nunung mengatakan perlu ada orang-orang yang mau merintis dan sungguh-sungguh memiliki waktu. Ia menyebutkan ibaratnya dibutuhkan “wong edan” (orang gila). Selain itu, Romo paroki perlu dilibatkan untuk memberi dukungan dan menyediakan waktu. Jika ada yang mengalami kesulitan, perlu mengusulkan atau menyampaikan bahwa CU itu membutuhkan dukungan, karena alasan yang masuk akal.

Prioritas program Komisi PSE tentang pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro atau CU, sepertinya memang dari atas ke bawah. Namun hal itu amanat dalam Musyawarah pastoral tahun 2009. Rm Nunung mengajak para peserta menganggap Prioritas program itu sebagai panggilan. Kuskupan dalam hal ini mengingatkan apa yang sebaiknya dilakukan oleh Paroki.

Dalam mengelola CU sebaiknya mekanisme CU yang benar harus dilaksanakan. Misalnya pelaksanaan RAT, hal itu merupakan wujud pertanggungjawaban pengurus. Dalam RAT bisa muncul keputusan baru. Semua itu harus dilakukan dalam semangat kebersamaan. Maka sebaiknya dibuat keputusan tertulis sehingga dipahami oleh semua pihak. Termasuk jika ada pertanyaan dari anggota, sebaiknya pengurus menjelaskan dengan baik. Anggota perlu mendapat penjelasan keuangan karena jika tanpa penjelasan, maka kecurigaan akan semakin meluas.

Sekarang sudah ada sistem komputerisasi untuk pengelolaan CU. Sistem perlu didukung dengan sumber daya manusia, pengelola atau manajemen sebaiknya tidak merangkap jabatan. Misalnya, ketua tidak bisa merangkap sebagai bendahara. Atau lokasi kantor tidak boleh di rumah pengurus. Hal seperti itu bisa menjawab keraguan anggota atau umat. Untuk pengembangan kapasitas pengurus, pengawas atau karyawan tersedia banyak pelatihan yang diberikan secara gratis. Misalnya pelatihan yang diberikan oleh Puskopdit atau CU Bintang Timur.

Rm Nunung memberi contoh, di salah satu Paroki yang pernah memiliki CU, lalu berakhir dengan kegagalan. Penyebabnya, CU kesulitan menyalurkan dana. Lalu dana dipinjamkan ke luar anggota. Akibatnya dana yang dipinjamkan tidak jelas dan mengakibatkan CU gulung tikar. Dalam situasi seperti itu, sulit untuk mendirikan CU. Karena orang akan menanyakan kejelasan dana yang dulu. Di CU Gotong-Royong Paroki St. Maria, Jombang mereka tidak hanya memberikan kredit, tetapi mengajak anggota untuk rajin menabung, bahkan ada petugas yang menagih supaya anggota rajin menabung. Di Paroki St. Vincentius, Kediri telah ada CU yang memiliki anggota sebanyak 1.400 orang, dengan total aset sebesar 14 milyar rupiah.

Romo asli dari Ponorogo itu mengatakan bahwa perkembangan CU yang ada sekarang tidak bisa dilepaskan dari usaha yang dimulai dengan kerja keras, pengorbanan, bahkan sakit untuk mencapai keberhasilan. Saat awal merintis CU di Stasi Dorok, ia terus mendorong agar CU mendirikan kantor sendiri. Saat awal pendirian, ketika mengundang anggota, yang datang hanya 12 orang, padahal saat itu baru ada 20 orang anggota. 
 
Bp. Boediono dari CU Swadaya Sejahtera Paroki Redemptor Mundi, Surabaya mengisahkan pembentukan CU di Paroki ketika ia menjadi Ketua Seksi Sosial. Romo Budi Hermanto memberikan dukungan penuh. Tantangan yang ia rasakan ketika ada pertanyaan mengelitik, apakah warga paroki sudah menghayati arti Redemptor Mundi dengan menjadi Penebus Dunia ? Waktu itu pengurus Seksi Sosial hanya kalangan ibu dan ia sendiri yang laki-laki. Padahal ia tidak memiliki latar belakang ekonomi, karena lulusan teknik sipil. Ia tidak memahami neraca keuangan atau laba rugi.

Karena "ditanting" (ditawari) oleh Romo Paroki, maka ia memulai melibatkan kalangan ibu, mengadakan kunjungan ke CU Santi di Pasuruan dan belajar di sana. Romo juga memberikan pinjaman modal untuk merintis CU. Ketika itu Seksi Sosial memulai dengan menjual nasi murah seharga Rp. 1.000. Dana pembelian itu, sebesar Rp. 500 dikembalikan ke kas Seksi Sosial dan Rp. 500 dimasukkan ke dalam tabungan. Saat itu hanya tabungan dan belum ada CU. Pencatatan keuangan dilakukan secara manual, belum menggunakan komputer. Meskipun demikian mereka yang memiliki tabungan dari membeli nasi murah bisa mendapat bunga. Setiap kali menjelang lebaran, Komunitas Warung Projo, demikian kelompok itu disebut, memberikan semacam bunga tabungan.

CU yang diberi nama CU Swadaya Sejahtera mengupayakan agar memiliki semangat kerja profesional. Perlahan-lahan ada upaya untuk memiliki kantor, ada jam kerja pada hari Senin sampai Sabtu, memiliki staf, manager, pengurus dan pengawas yang kompeten. Pengurus dan pengawas tidak terlibat setiap hari.

Pada awalnya, CU sempat mengalami ketidakpercayaan. Karena pernah ada pengalaman Koperasi milik orang Katolik yang mengalami kekacauan keuangan. Umat berpikiram buruk tentang pengelolaan keuangan oleh warga Gereja. CU Swadaya Sejahtera memerlukan waktu selama 2 tahun untuk mengembalikan kepercayaan kepada umat. Mereka disadarkan bahwa CU berbeda dengan koperasi yang dulu pernah ada. Lewat pemberian informasi, sosialisasi dan gethok tular (informasi dari mulut ke mulut), maka CU mulai dikenal baik dan dipercaya.

Memang, CU belum memiliki badan hukum. Sampai sekarang pun CU Swadaya Sejahtera sedang mengupayakan badan hukum. Pengalaman yang meneguhkan ialah cerita dari Rm Willy, CDD perintis CU Sawiran. Mereka pada awalnya belum berbadan hukum. Saat itu jaminannya hanya komitmen pengurus bahwa mereka bisa dipercaya. Ketika ada pemeriksaan, mereka mengaku terus terang kepada Dinas Koperasi bahwa CU Sawiran belum berbadan hukum. Namun pengelolaan keuangan, laporan serta keamanan dana sangat transparan, akuntabel dan dapat dipercaya, sehingga Dinas Koperasi tidak berani membubarkan CU. Kepercayaan memang bisa didapat karena ada badan hukum, namun yang terutama ialah komitmen pengurus dan anggota. Karena itu, CU Swadaya Sejahtera ibarat bayi, lahir dan berjalan dulu, baru kemudian mengusahakan surat pengakuan atau badan hukum.

Jika CU mengalami over likuid dana, pengurus bisa menginformasikan kepada jaringan. Misalnya jaringan di Puskopdit Jatimtim dapat membantu menyalurkan dana. Sebaliknya jika dana kurang, bisa meminjam ke jaringan Puskopdit. Ini merupakan hal yang menguntungkan, karena CU berjejaring dengan primer CU lain sehingga saling membantu.

Setelah melewati waktu sekian lama, CU tetap mengadakan pendidikan kepada pengurus maupun anggota. Tiga pilar CU ialah semangat swadaya, pendidikan dan kemandirian sangat ditekankan dalam pendidikan. Di tahun 2008, ketika mengadakan Rapat Anggota Tahunan I (RAT), CU belum mampu membagikan Sisa Hasil Usaha (SHU). Saat itu para pengurus sempat mengalami kekhawatiran. Pada RAT II, CU bersyukur telah bisa membagikan SHU, sampai saat ini.

Kepada peserta dari Seksi Sosial Paroki yang tergabung dalam Kluster IV, Bp. Boediono mengingatkan agar tidak mendirikan CU jika belum terbakar oleh roh atau semangat dasar CU. Karena, merintis CU membutuhkan kekuatan. Perintis dan penggerak CU harus memiliki jiwa besar, sederhana dan tangguh menghadapi kritikan. Mereka sebaiknya pribadi yang setia pada tujuan mendirikan CU, memegang komitmen untuk mengawal CU dan integritas pribadi yang mantap.

Mengutip pendapat Rm. Nunung, Bp. Boediono mengingatkan pengurus CU harus setengah gila, kalau tidak mau repot mengelola CU, mengapa harus menyusahkan diri sendiri ? Ia juga menegaskan apa yang dikatakan oleh Bp. Boyni, jika ada simpanan, anggota dianjurkan ada yang meminjam. Justru dengan menyimpan dan meminjam CU bisa berkembang. Selain itu, perkembangan CU hendaknya didukung sistem kontrol yang kuat. Tak kalah penting, CU perlu didukung dengan pendidikan terus-menerus berdasarkan tingkatan, entah difasilitasi Puskopdit atau sumber daya lain.
 
Sebagai kata penutup sharing, Bp. Boediono mengatakan, "Jika saya menghadap Tuhan, saya membawa 2 koper. 1 koper itu relasi dengan Tuhan dan 1 koper yang lain itu relasi dengan teman-teman. Sekarang usia saya 61 tahun, saya mulai berpikir bagaimana agar sisa hidup saya ini bisa berguna bagi orang lain". (BUD/EML)