02 Desember 2012

Krisis Air di Blora


 
Bulan September-November, merupakan bulan yang menyulitkan bagi masyarakat di beberapa wilayah desa dan dukuh di Kabupaten Blora, Jawa Tengah.  Kekeringan yang ditandai dengan sulitnya warga mendapatkan air bersih terus bertambah. Kepala Bidang Penanggulangan Bencana (BPBD), Kabupaten Blora, Ary Soesanto mengatakan, tahun lalu jumlah desa yang mengalami kekeringan dan kekurangan air sebanyak 124 desa. Tahun ini bertambah menjadi 134 desa. Jumlah desa yang mengalami bencana tersebar di 15 dari 16 Kecamatan dan angka tersebut bertambah jika musim kemarau berlangsung lama.

Perkara kesulitan air memang sudah dirasakan dan dialami warga selama puluhan tahun. Sebuah cerita rakyat mengisahkan bahwa nama Blora berasal dari kata belor yang berarti lumpur. Nama itu kemudian berkembang menjadi mbeloran. Sampai akhirnya di masa sekarang lebih dikenal dengan nama Blora. Secara etimologi, nama Blora berasal dari kata wai dan lorah. Wai berarti air, dan Lorah berarti jurang atau tanah rendah. Seiring dengan perkembangan zaman kata Wailorah berubah menjadi Bailorah. Lalu menjadi Balora, sampai akhirnya menjadi Blora. Jadi nama Blora dapat diartikan sebagai  tanah rendah berair, ini dekat sekali dengan pengertian tanah berlumpur.

Wilayah Kabupaten Blora terdiri atas dataran rendah dan perbukitan dengan ketinggian 20-280 meter dpl. Bagian utara merupakan kawasan perbukitan, bagian Pegunungan Kapur Utara. Bagian selatan juga berupa perbukitan kapur bagian dari Pegunungan Kendeng. Ibukota kabupaten Blora terletak di cekungan Pegunungan Kapur Utara. Sebagian besar wilayah Kabupaten Blora merupakan daerah krisis air (baik untuk air minum maupun untuk irigasi) pada musim kemarau. Sementara pada musim penghujan, rawan banjir longsor. Satu-satunya sungai terbesar di Kabupaten Blora ialah Sungai Lusi yang bermata air di Pegunungan Kapur Utara (Rembang). Aliran sungai itu mengalir ke arah barat melintasi kota Purwodadi yang akhirnya bergabung dengan Kali Serang.

Kondisi geografis seperti itulah yang menyebabkan beberapa wilayah desa dan dukuh di Kabupaten Blora mengalami kesulitan air bersih atau irigasi. Beberapa dukuh itu ialah Dukuh Punggur, Belik, Waru, Sukorejo, Ngrowong, Jambangan, Desa Jepang Rejo I, II, III dan IV, Dukuh Jlubang, Temon, Kaliweden, Belik, Sukorejo, Kajangan, Ngetrep, Tutup, Dukuh Temon, Belik, Tegalan, Sukorejo, Dukuh Temon, Desa Kauman, Dukuh Ngrowong dan Belik.

Keadaan itu menggerakkan Seksi Sosial Paroki St. Pius X, Blora turut memberikan bantuan air. Mereka mengusahakan air bersih dengan menyewa truk tanki dan membeli air dari PDAM. Hampir selama 5 tahun kegiatan tersebut rutin dilakukan.

Ibu Budi Rahayu selaku Seksi Sosial Paroki mengatakan bahwa kegiatan pembagian air tersebut didukung oleh Romo dan DPP, umat serta Komisi PSE. Bp. FX Ristyanto, Ketua DPP Bidang Kerasulan Umum mengatakan bahwa kegiatan pembagian air kepada masyarakat pada saat kemarau panjang merupakan kegiatan rutin setiap tahun.

Pihak pemerintah memberikan bantuan air bersih. Selain BPBD dan Palang Merah Indonesia (PMI) Kabupaten Blora, juga ada sejumlah perusahaan. Pada musim kemarau tahun ini, sebanyak 82.009 warga di 134 desa pada 15 kecamatan membutuhkan bantuan air. Selain itu, Pemkab Blora telah mengajukan permintaan dana ke Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Dana akan digunakan membuat sumber air permanen dan sistem instalasi di 8  desa pada 6 kecamatan. Sumber air permanen diharapkan membantu masyarakat yang mengalami kekeringan setiap tahun. (BUD).