16 Desember 2007

Pelajaran Berharga Dari Grameen Bank

Berbarengan dengan kelahirannya, tanggal 17 Agustus 1945, negara ini telah digelayuti masalah laten yang hingga kini masih lengket seolah tak tertanggalkan, yakni kegagalan menempatkan desa sebagai primadona dalam kebijakan pembangunan beserta program-programnya. Padahal, secara idiil (tersirat baik dalam Pembukaan UUD, UUD, maupun kebijakan pembangunan nasionalnya) negara ini seharusnya memprioritaskan pembangunan desa sebagai basis bagi tahap-tahap proses perkembangan dan kemajuan bangsa. Kenyataannya, dalam sejarah kehidupan negara ini dari era Orla, Orba, hingga kini (Reformasi) desa masih tetap ditempatkan di pinggiran dan acap menjadi korban pembangunan. Gagasan atau upaya untuk menempatkan desa sebagai basis kemajuan bangsa sebenarnya telah lama ada. Bahkan sebelum era kemerdekaan upaya semacam itu telah menjadi bagian dari perjuangan bangsa ini. Sutardjo Kartohadikoesoemo, misalnya, telah memperjuangkan status otonomi desa jauh sebelum upaya-upaya semacam itu marak dilakukan pada era kemerdekaan.

Pada awal-awal masa kemerdekaan Bung Karno telah melihat masyarakat desa sebagai raksasa yang sedang tidur (sleeping giant), dan oleh karena itu akan menjadi kekuatan progresif-revolusioner yang menggelindingkan kemajuan bangsa ini bila berhasil dibangunkan. Namun sayang, karena kedekatannya dengan gerakan komunisme yang sama-sama menjadikan desa sebagai basis masanya, upaya itu terperosok ke dalam tragedi nasional yang mengerikan (peristiwa 30 S / PKI). Maka, gerakan revolusioner yang bersifat politis ini justru menjadi kontraproduktif bagi perkembangan dan kemajuan masyarakat desa. Setelah itu, masyarakat desa menjadi traumatik, menjadi “kapok” untuk bergerak dan digerakkan demi perbaikan nasib mereka. Terkesan, di sisi lain para petinggi negara juga ikut-ikutan alergis terhadap gerakan-gerakan yang muncul dan berkembang di desa. Momentum sosial-psikologis ini memudahkan Orba bagi keberhasilan kebijakan dan kepentingan politisnya. Lewat program-program Repelita-nya masyarakat desa dijadikan obyek bagi suksesnya swadaya pangan yang berfungsi untuk menjaga dan mempertahankan stabilitas negara.

Pada era Reformasi, sekalipun paradigma pembangunannya telah dicanangkan menjadi people-oriented seperti tergambar dalam pendekatan-pendekatan learning process, namun dalam tataran praksisnya masih belum terjadi perubahan yang signifikan. Impor beras yang tetap dilakukan pemerintah di tengah hujan protes para petani, adalah merupakan indikator tentang masih ditempatkannya masyarakat desa di pingggiran dengan kenyataan pahit yang semakin menjadi ikon masyarakat desa: kemiskinan. Kalaulah pembangunan desa dengan sektor pertaniannya telah dilakukan oleh negara ini sejak dini dengan sungguh-sungguh berdasar prinsip people-oriented, setidaknya seperti yang dilakukan India, maka negara ini tidak akan mengalami kerawanan pangan yang berujung pada keterpaksaan impor beras seperti saat ini.

Pertanyaan besar berkait dengan kecenderungan ini adalah: mengapa sejauh ini negara (cq pemerintah) selalu gagal menjadikan desa sebagai “anak kandung” dalam program-program pembangunan nasionalnya ? Jawabannya tentu tidak sederhana karena permasalahannya memang sangat kompleks dan multi dimensional. Namun, dapat dipastikan bahwa salah satu sebabnya adalah bahwa hakekatnya pemerintah belum menemukan cara atau pendekatan yang “tepat dan praktis” untuk menjadikan masyarakat desa sebagai subyek dalam pembangunan. Di sisi lain mungkin negeri tercinta ini belum benar-benar menyadari arti penting desa sebagai basis strategi pembangunan bangsa di tengah kejam dan rakusnya globalisasi neoliberal saat ini.

Kejamya Globalisasi Neoliberal

Sejauh mana arti penting desa hingga harus diperhitungkan urgensinya dalam strategi pembangunan bangsa akan nampak bila kita menilik karakter yang terlekat (inherent) pada globalisasi neoliberal saat ini. Lewat “penglihatan” sejumlah pakar dapat diketahui bagaimana kejam dan rakusnya doktrin neoliberal dan corporate capitalism yang menjadi roh globalisasi saat ini. Adalah kenyataan yang tak terbantahkan bahwa corporate capitalism dalam kiprahnya telah melahirkan fenomena korporatokrasi (corporatocracy). Menurut John Perkins (2004) korporatokrasi adalah suatu sistem tatanan yang dikendalikan oleh korporasi-korporasi besar, bank-bank internasional, dan pemerintah. Tujuan akhirnya adalah melanggengkan tatanan global yang pro akumulasi modal.

David Korten (1995) menggambarkan kerakusan korporat yang mengekploitasi sumber daya bumi yang terbatas sebagai cowboys in a spaceship. Joel Bakan (2004) menggambarkan korporasi sebagai lembaga psikopat yang selalu haus akan keuntungan dan kekuasaan (Hendrawan Supratikno dalam Kompas, 11-12-2006). Menurut Susan George (2006) ”rather than encompassing everyone in a collective march toward a better life, globalization is a process that allows the world market economy to take the best and leave the rest”. (dalam Kompas, 15-2-2007). Sesuai dengan aliran pemikiran evolusionernya Darwin yang dalam ungkapan Herbert Spencer dikenal survival of the fittest, maka dalam konteks pemahaman ini kaum the rest memang harus tersingkir atau disingkirkan. Mereka itu adalah pecundang (the looser) yang tak mampu beradaptasi dengan sistem yang ada.

Tanpa harus disebutkan secara eksplisit, telah jelas siapa termasuk “the best” dan siapa “the rest” sebagaimana dimaksud Susan George. Bagaimana perbandingan antara “the best” dan “the rest” terdapat gambaran yang benar-benar mengenaskan. Menurut Laporan Tahunan UNDP 2006, 40% populasi penduduk termiskin di dunia –2,5 miliar manusia hidup di bawah dua dolar AS per hari- setara dengan 5% pendapatan global, sementara 10% populasi terkaya memiliki aset sekitar 54% pendapatan global. Tidak kurang dari presiden Susilo Bambang Yudoyono sendiri dalam pidatonya di KTT non blok di Havana, Kuba, menyatakan bahwa kini 80% manusia di bumi dikuasai oleh 2% pemegang kekayaan.

Gambaran-gambaran di atas bukan sekedar menunjukkan betapa kejam dan rakusnya kapitalisme neoliberal serta ketimpangan global yang diciptakannya, tetapi sekaligus juga menggambarkan betapa kecilnya kemungkinan dunia ketiga untuk menjadi negara industri. Globalisasi neoliberal adalah suatu tatanan yang sarat dengan hiperkompetisi langsung. Siapa yang kuat dialah yang menang. Dalam hal ini pusat (kapitalis) dengan korporat-korporatnya adalah jago-jago laga ekonomi global yang sulit dilawan. Maka menghadapi konstelasi global semacam ini tidak ada pilihan yang lebih pas dan strategis bagi dunia ketiga kecuali dengan memantapkan pembangunan desa dan pertaniaannya. Sebab, kekuatan utama mereka pada dasarnya terletak di sana.

Grameen Bank

Apabila benar bahwa kegagalan pemerintah menempatkan desa sebagai faktor yang urgen dalam strategi pembangunan bangsa (selama ini) terutama disebabkan karena belum diketemukannya cara yang tepat dan praktis, maka Grameen Bank merupakan pilihan yang sangat pantas untuk direkomendasikan. Dinobatkannya Muhammad Yunus ( penemu Grameen Bank) sebagai pemenang Nobel Perdamaian belum lama berselang merupakan bukti ampuhnya Grameen Bank yang sangat mungkin memiliki kapasitas besar untuk memecahkan masalah laten bangsa ini.

Berawal dari sebuah proyek yang dilaksanakan di Chittagong, Bangladesh, pada tahun 1976, tujuh tahun kemudian yakni tahun 1983 proyek itu telah berkembang menjadi bank mandiri bernama Grameen Bank.
Grameen dalam bahasa Bengali berarti desa (village), maka Grameen Bank berarti Bank Desa. Disebut demikian karena Grameen Bank ditumbuh-kembangkan di desa tempat tinggal para peminjam dengan Centre (Pusat) sebagai basis markasnya. Tiap minggu diselenggarakan pertemuan (meeting) antara para peminjam.

Centre adalah kumpulan Group di tingkat desa yang beranggotakan 5 orang. Sebuah Centre yang lengkap terdiri atas 6 – 8 grup yang total beranggotakan 30 – 40 peminjam. Tujuan yang ingin dijangkau Grameen Bank tidak terlepas dari karakter dasarnya sebagai bank desa, yakni : (1) perluasan fasilitas perbankan ke tengah-tengah kelompok masyarakat miskin (petani gurem), baik perempuan maupun laki-laki; (2) melepaskan si miskin dari cengkeraman lintah darat, dan menciptakan lapangan kerja bagi para penganggur ataupun setengah pengangguran (unutilised and under-utilised manpower resources); (3) melibat si miskin ke dalam kegiatan yang bersifat organisasional. Bukan organisasi yang terlalu formal melainkan jenis yang mereka mengerti dan bisa bekerja di dalamnya, dan lewat saling dukung antara sesamanya bisa menemukan kekuatan sospolek (sosial-ekonomi-politik); (4) mengubah lingkaran setan yang sudah menahun, yakni low-income – low-saving – low-investment – low-income menjadi low-income – credit – investment – more-income – more-credit – more-investment – more-income.

Tujuan terakhir ini bila tercapai merupakan jawaban yang tepat terhadap upaya pengentasan kemiskinan yang melanda kehidupan bangsa ini. Setidaknya secara teoritis model pendekatan Grameen Bank ini merupakan gambaran dari proses perkembangan masyarakat yang tumbuh dari bawah dan menghasilkan perkembangan mandiri yang berkesinambungan (self-propelling growth). Pada gilirannya dapat menjadi basis yang kuat bagi perkembangan yang lebih luas di tingkat nasional sambil menjawab tantangan global berupa kemampuan bersinergi dengan sistem global.

Gambaran sepintas tentang Grameen Bank ini belum merupakan gambaran dari keseluruhan sistem dan pendekatannya. Dalam tulisan yang singkat ini juga belum mengungkapkan kiat-kiat serta strategi untuk menyukseskan kiprah Grameen Bank sehingga menjadikan orang-orang desa yang buta bank menjadi bankable dan siap memasuki sistem ekonomi global.

Penutup

The Kian Wie (1981) seorang ekonom yang menghitung-hitung kemajuan bangsa Asia berdasar atas prestasi ekonominya menyimpulkan bahwa dua negara Asia yang kuat saat ini, yakni China dan India, basis kekuatannya adalah masa rakyat (desa). China menggerakkan rakyat dengan sistem komunismenya, sedangkan India kekuatan penggeraknya adalah Gandhiisme dengan paham plain living high thinking-nya. Sekalipun India tidak mengalami booming seperti China namun memiliki ketangguhan ekonomi yang cukup mantap, paling tidak untuk tidak diombang-ambingkan kekuatan global. Mengambil contoh dua negara besar ini saja kiranya telah lebih dari cukup untuk memahami betapa penting arti desa sebagai basis strategi pembangunan nasional. Sementara itu, baru-baru ini Mohammad Yunus, setelah sukses dengan Grameen Bank-nya, telah membangun partai politik untuk mengimbangi kiprah dua partai elite yang korup dan membuat perkembangan Bangladesh stagnan. Dengan demikian Mohammad Yunus memang bertekad tidak hanya memberdayakan wong cilik secara ekonomik semata, melainkan juga secara politis, yang pada gilirannya tentu akan meningkatkan martabat mereka untuk tidak selalu menjadi korban peminggiran dan kesia-siaan. Pengalaman ini merupakan pelajaran yang berharga untuk menjadi rujukan strategi pembangunan. (
Drs. Rahardjo, Msc, Dosen UGM)