23 November 2007

Teologi Ramah Lingkungan

Indonesia mendapat kehormatan menjadi tuan rumah Konferensi Ke-13 Para Pihak atau COP-13 dalam Konvensi Kerangka PBB tentang Perubahan Iklim. Sekaligus itu juga tantangan sejauh mana bangsa yang mengklaim diri religius mampu memberi kontribusi positif dari kekayaan tradisi keagamaannya.

Klaim agama-agama monoteis, dunia milik Tuhan, tidak serta-merta membuat teologi lingkungan berkembang. Malah, model iman yang berkembang tidak peduli lingkungan. Umat lebih sibuk membela kelurusan ajaran agama (ortodoksi) dan berpretensi sebagai pembela Tuhan, tetapi lambat merespons krisis lingkungan yang belakangan kian mengkhawatirkan.

Meluruskan pemahaman

Penekanan berlebihan tentang kemahakuasaan Tuhan dalam monoteisme tanpa disadari telah melegitimasi eksploitasi alam. Lynn White Jr, sejarawan abad pertengahan, menuduh agama Kristiani di Barat sebagai agama yang paling antroposentris dalam memosisikan manusia berhadapan dengan alam (The Historical Roots of Our Ecologic Crisis, 1967).

Dalam cara pandang Kristani abad pertengahan tentang manusia dan alam, manusia bukan bagian alam, tetapi penguasanya. Demi mandat budaya dari Tuhan, alam harus ditaklukkan dan dikuasai. Dalam dualisme alam-manusia, alam ada hanya untuk manusia. Teknologisme di Barat mendorong perkembangan teknologi sebagai sarana eksploitasi alam. Maka, teknologi berkembang menjadi begitu rumit dan mendominasi dunia ketiga.

Semasa abad pertengahan, kemenangan agama Kristiani atas paganisme dirayakan berlebihan. Manusia tradisional memercayai hutan, gunung, dan alam ada penunggunya. Oleh karena itu, manusia tidak boleh sembarangan mengusik alam. Agama Kristiani menafikan kepercayaan kepada roh-roh seperti itu. Alam hanya ciptaan lebih rendah karena itu boleh dieksploitasi oleh ciptaan yang lebih tinggi.

Dua tahun sebelum White, Harvey Cox teolog dari Harvard, juga menuduh tradisi Kristiani dengan teologi penciptaannya memisahkan alam dari Tuhan dan memisahkan manusia dari alam (The Secular City: Secularization and Urbanization in Theological Perspective, 19-21). Pemisahan tajam itu membuat manusia kehilangan rasa hormat kepada alam. Alam hanya untuk melayani kepentingan manusia dan obyek eksploitasi belaka.

Namun, wacana Kristiani belakangan menyadari ketimpangan cara pandang lama itu. Tuhan tidak hanya dilihat dalam kemahakuasaan dan universalitas-Nya, tetapi juga Tuhan yang peduli lingkungan (Tuhan yang ekouniversal). Mandat budaya untuk menguasai alam tidak dipahami dalam koridor manusia sebagai penakluk, tetapi sebagai dititipi kewajiban untuk memeliharanya.

Gambaran awal narasi penciptaan dalam Kitab Kejadian adalah penciptaan sebagai penguasaan chaos. Daripada meniadakan chaos, penciptaan mengontrolnya agar tidak menyengsarakan. Jika manusia salah menggunakan kebebasannya, aneka kekuatan chaos akan lepas tak terkendali. Sebagai wakil Allah di Bumi, manusia bertanggung jawab untuk mengontrol aneka kekuatan chaos.

Perspektif lingkungan dalam Kitab Kejadian sering dibaca berat sebelah dengan menekankan penguasaan manusia atas alam. Padahal, nuansa kekuatan dalam verba "menaklukkan" dan "menguasai" lebih berarti agar manusia menyelidiki alam, memelajari hukum-hukumnya, mengeksplorasinya. Semua itu bukan pekerjaan ringan. Maka, tiada korelasi antara mandat untuk menaklukkan alam dan tuduhan bahwa Alkitab tak peduli lingkungan. Justru sebaliknya.

Setelah diciptakan, manusia ditempatkan di Taman Eden untuk memeliharanya. Itulah bentuk nyata penguasaan atas alam. Manusia adalah person dalam relasi dengan Tuhan dan secara hierarkis lebih tinggi dari alam. Namun, manusia juga sekelompok dengan alam dalam relasi keterbatasan dan kefanaan. ’adam berasal dari ’adama (tanah). Sebagai bagian alam, nasib manusia mengikuti nasib lingkungan. Kehancuran lingkungan juga kehancuran manusia.

Tanggung jawab ekologis

Maka, teologi penciptaan menegaskan tanggung jawab ekologis manusia. Maksud manusia menguasai Bumi adalah agar alam dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia dan anak cucunya. Pada gilirannya karunia alam mendorong puji syukur kepada Allah yang mahabaik. Alam bukan untuk memenuhi kerakusan manusia. Penguasaan atas alam terkait dengan kesejahteraan yang berkelanjutan.

Penguasaan atas alam dibatasi tujuan penguasaan itu sendiri, yakni demi kesejahteraan bersama. Maka, wujud penguasaan manusia atas alam bukan menggunduli hutan, mengeruk pasir yang menimbulkan abrasi, atau membuang sampah sembarangan. Memelihara Bumi dan tidak merusak ekosistem adalah bukti penguasaan diri manusia. Dunia adalah tempat tinggal bersama yang sesama penghuninya hidup bergantung.

Wujud kuasa manusia atas alam terlihat dalam batasan mandat untuk memeliharanya. Perilaku ramah lingkungan adalah bagian iman, salah satu ujian iman yang membumi. Maka, bencana alam yang sedang mendera kita bukan hanya fenomena alam, tetapi karena kelalaian kita sebagai pemangku tanggung jawab ekologis.

Semula bukan hanya langit dan Bumi diciptakan Tuhan, tetapi manusia dan taman. Manusia ditakdirkan hidup dalam taman, dalam suatu ketergantungan. Taman bagi lurah adalah wilayah kelurahan, kecamatan bagi camat, kabupaten bagi bupati, kota bagi wali kota, provinsi bagi gubernur, dan negeri bagi presiden.

Pejabat yang dengan enteng meyakinkan rakyat bahwa bencana adalah fenomena alam sedang lari dari tanggung jawab publiknya. Kita masing-masing mempunyai taman yang perlu dipelihara. Rumah dan lingkungan sekitar, kantor, jalan yang kita lalui. Di mana kita berada, lingkungan adalah taman yang harus dipelihara. (Yonky Karman, Rohaniwan)