17 September 2013

Dusun Bukul, 3 Tahun Pasca Bencana Longsor





Pada hari Jumat sore (13 Sept 2013), Tim Karina Surabaya bersama Tim Karina Posko Madiun, mengadakan monitoring ke Dusun Bukul, Desa Wates, Kecamatan Slahung, Kabupaten Ponorogo. Dusun itu pada bulan Mei 2010 lalu mengalami bencana longsor. Di lokasi yang sama, sejak bulan September 2012 lalu Karina memberikan pendampingan warga, yang didukung oleh jejaring Caritas.

Kejadian 3 tahun lalu, sebagaimana cerita Mbok Siyat, ibu dari Bp. Muhantoro, hujan deras menguyur Dusun Bukul selama beberapa hari. Tanpa diduga, sore itu tanah dan rumah yang sekian lama ditempati mendadak bergerak. Sekejap atap rumah berjatuhan, dinding rumah dari kayu patah, pondasi yang menopang rumah amblas di bagian belakang dan perabot rumah tangga berjatuhan. Saat itu keluarga Bp. Hantoro, demikian ia biasa dipanggil, segera menyelamatkan diri ke rumah tetangga untuk sementara.

Data kajian Tim Karina Posko Madiun pada 22 Mei 2010 menyebutkan, keretakan tanah di pekarangan depan rumah Bp. Hantoro selebar 5 centimeter, dengan kedalaman tak terukur. Ia sekeluarga terancam jika hujan deras menggusur 2 rumah di bagian atas, yaitu milik Bp. Boiman dan Bp. Jomin. Rumah Bp. Hantoro akan terkena dampak langsung. Data kerugian saat itu berupa 1 petak sawah terkubur longsoran dan 1 petak sawah mengalami retakan tanah. Di petak sawah terdapat aset 3 pohon yang tumbang, ialah 2 pohon jati dan 1 pohon trembesi. Sebagaimana diketahui, kayu dari pohon merupakan bahan bakar untuk keperluan memasak. Bp. Hantoro tidak sendirian, ada 31 warga yang tinggal di lokasi sekitar yang mengalami kerusakan tempat tinggal maupun area persawahan. Syukurlah dari hasil kajian, telah ada kepastian dari Bp. Hantoro bahwa kerabat menawarkan tanah untuk merelokasi rumah.

Ketika bencana terjadi, jalan makadam (berbatu) yang menghubungkan rumah Bp. Hantoro ke lokasi aman di bawah, telah bergeser 2-5 meter. Jalan satu-satunya akses terdekat ke jalur Ponorogo-Pacitan, tak bisa dilewati. Hujan memperburuk jalan menjadi sangat becek dan liat. Tidak hanya itu, berbagai tanaman di sekitar jalan, seperti pohon kelapa, bambu dan berbagai jenis tanaman, turut bergeser seiring pergerakan tanah ke arah bawah. Sementara, longsoran tanah dari bagian atas telah menimbun jalan berbatu. Tanah menimbun dari lokasi atas ke bawah. Serumpun pohon bambu yang semula berada di pinggir jalan, merosot ke arah bawah sekitar 50 meter dari jalan berbatu. Kini, serumpun bambu menjadi penanda, betapa dahsyatnya tanah longsor, hingga memindahkan pohon di tepi jalan, ke lokasi yang cukup jauh.

Setelah 3 tahun berlalu, lokasi bekas tempat tinggal Bp. Hantoro menyisakan puing. Jika memandang ke atas, tampak rumah Bp. Boiman di lokasi paling atas, tinggal separuh saja. Pondasi rumah amblas ke bawah, sekitar 3 meter. Rumah itu kini tidak ditempati. Bp. Boiman telah berpindah rumah di sekitar Desa Slahung. Sementara di bawahnya, rumah Bp. Jomin telah roboh. Menurut kabar, Bp. Jomin kini pindah ke Sulawesi Tengah, mengikuti program transmigrasi yang ditawarkan Pemkab Ponorogo.

Di lokasi bekas rumah Bp. Hantoro, masih ada sisa genting, batu bata yang pecah serta pondasi dari pasangan batu yang terperosok ke belakang. Ada pula beberapa perabot seperti tempat tidur, bekas peralatan dapur dan perlengkapan elektronik yang rusak. Di situ, beberapa tanaman dan pohon berdiri miring, karena dampak gerakan tanah. Tiang listrik yang miring menjadi penanda bahwa di situ dulu jalan masuk menuju pintu rumah. Kini tanah kosong itu ditumbuhi semak belukar dan bagian yang kosong ditanami ketela pohon.

Di pohon depan, tergantung sebuah kenthongan bercat merah. Alat itu menjadi sarana peringatan dini, jika terjadi tanah longsor. Sejak Januari 2012 lalu, warga yang tergabung dalam komunitas siaga bencana Karya Mandiri memiliki kesepakatan bersama menggunakannya, sebagai sarana peringatan dini. Siapapun yang melihat kejadian tanah longsor, diharapkan memukul alat tersebut sebanyak 3 x, secara terus-menerus.

Jalan yang dulu rusak, bergeser dan tertimbun longsor, kini telah bisa dilewati. Menurut Mbok Siyat, warga mengadakan perbaikan jalan secara swadaya, dengan mengumpulkan batu dan menata sehingga bisa dilewati. Jika tidak, mereka yang tinggal di situ harus memutar lebih jauh. Sebagai pengaman, telah dibangun dam yang berfungsi menahan deras arus air dari bagian atas jalan. Karena, aliran air yang deras, sesuai kajian dan diskusi bersama warga, diduga turut menggerus tanah yang telah menyebabkan longsor. Dengan dibangunnya dam tersebut, diharapkan laju air dari bagian atas tertahan. Sementara di bagian bawah, dibangun dam untuk memperlancar aliran air. Dam dari bahan pasangan semen dan batu tersebut dibuat secara bergotong-royong oleh warga.

Kini Bp. Hantoro telah menempati rumah, di lokasi baru. Rumah yang dibangun dari dana bantuan, ditempati bersama ibu, istri dan anak perempuannya. Rumah tersebut berada di lokasi ring 1 rawan longsor, menurut peta kajian yang dibuat warga. Karena hanya berjarak sekitar 100 meter dari lokasi longsor.

Memang, tidak mudah hidup di lokasi rawan bencana dengan segala keterbatasan yang ada. Namun, sebanyak 37 kepala keluarga di Dusun Bukul, kini memahami bahwa mereka tinggal di lokasi rawan bencana. Setidaknya, bencana 3 tahun telah menumbuhkan kesadaran untuk tahu dan selalu waspada.

Selama 1 tahun ini, warga telah membentuk komunitas siaga bencana Karya Mandiri dipimpin Bp. L. Kamsari. Mereka mengikuti serangkaian pendampingan seperti, pelatihan pertolongan pertama gawat darurat, kajian tanggap darurat, penggunaan peralatan tanggap darurat, peringatan dini, pengaturan logistik dan lokasi pengungsian. Juga pengenalan mitigasi bencana, seperti peta rawan bencana, pemahaman jalur evakuasi serta sistem peringatan dini. Selain itu upaya inisiasi kewirausahaan dan keuangan mikro sebagai penyiapan dana cadangan bencana. Berbagai penguatan kapasitas dan perbaikan sarana, diharapkan memantapkan komunitas agar memiliki ketahanan hidup atau menjadi resilient community, di lokasi rawan bencana. (ALW).